OpiniReview

Ade Ubaidil: Pemuda, Golput, dan Pilkada

biem.co — Beberapa bulan lalu, di kota kelahiran saya berlangsung sebuah Pemilihan Umum (Pemilu) Walikota. Sebagian besar warga bersemangat dan antusias menyambutnya, sebagian kecil warga lainnya menganggap pesta rakyat semacam itu biasa saja, dan di sebagian sisanya merasa tak ingin terlibat, jenuh, muak, bahkan tak peduli dan ingin lekas pesta lima tahunan tersebut enyah sedemikian cepat; dan klimaksnya tidak datang ke TPS saat pemilihan umum berlangsung. Sialnya, saya termasuk ke dalam arus yang disebutkan paling akhir tersebut, saat itu. Keapatisan saya dalam menanggapi Pemilu Walikota lumayan keras—atas dasar melihat para kandidatnya. Saya berpendapat bahwa sia-sia belaka turut andil memeriahkan Pemilu, toh dampak positifnya yang diperoleh tak lebih baik ketimbang penghasilan pengemis di perempatan lampu merah; yang bisa berbagi kepada keluarganya. Ya, minimal, di kota kelahiran saya ini dibuatkanlah alun-alun kota, agar kadar iri dengan kota-kota lain di provinsi Banten bisa sedikitnya surut—dan ternyata harapan saya ini sudah terwujud!

15 Februari 2017 mendatang, akan berlangsung Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak di beberapa daerah di Indonesia. Di Banten sendiri, yang bakal ramai, menurut prediksi kilat saya, tak lain adalah pemilihan Gubernur yang baru. Keriuhannya bisa sama-sama kita saksikan dan rasakan sejak tiga bulan terakhir, hingga hari ini. Kehingar-bingarannya terus mengusik kesunyian orang-orang di luar “ring atau stadion” yang hanya ingin menjadi penonton belaka; tanpa ingin membeli tiket masuk, berseragam salah satu “pemain” yang beradu-tanding, atau berhati-hati dan tidak ingin terlibat kalau-kalau terjadi perseteruan antar pendukung. Akan tetapi, pertanyaannya kemudian adalah: sampai kapan kita hanya ingin menjadi penonton gratisan macam itu? sedangkan yang tengah dijadikan “pertaruhan atau kado pertarungan” tak lain adalah daerah yang kita tinggali atau bahkan tempat kita dilahirkan. Ketidakikutsertaan kita dalam meramaikan Pilkada mendatang berbanding lurus dengan ketidakcintaan dan ketidakpedulian kita pada tanah kelahiran. Pada akhirnya, saya berpikir ulang—meski tak sungguh-sungguh menyesali saat Golput di pemilihan Walikota dulu—soal menyia-nyiakan hak suara yang dimiliki masing-masing dari kita sebagai pribumi atau ber-KTP provinsi Banten. Sebab, mau bagaimanapun, ketika di hari depan orang-orang yang tidak kita pilih tersebut mau tidak mau menjadi pemimpin kita, kita hanya bisa angkat tangan—dan tak bisa mengelak.

Sekarang mari berandai-andai. Bayangkan, tak jauh-jauh, di Pilkada Gubernur Banten mendatang ada enam juta pemuda pemegang hak pilih (suara)—atau setengahnya dari penduduk di Provinsi Banten—yang apatis dan tidak ingin terlibat dalam pemilihan, itu berarti, jelas akan ada suara yang kosong—dan itu justru lebih mengkhawatirkan, sebab bisa dipermainkan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Tentu itu sangat mengerikan. Sebagai pemuda yang menghormati demokrasi kita patut sama-sama berpikir untuk kemajuan Banten. Sudah saatnya pembenahan-pembenahan dimulai sejak detik ini. Dan syukur, perlahan-lahan pemuda-pemuda Banten lainnya sudah ada yang mulai bergerak; baik itu berbenah dalam bidang pendidikan, kebudayaan, perfilman, bahkan kewirausahaan. Pemuda hari ini adalah pemimpin di masa depan, saya sepakat dengan aksioma tersebut tanpa peduli siapa yang belakangan menggaungkannya kembali. Yang jelas, kalau hanya satu dua orang saja yang bergerak, tentu untuk mendorong sebuah kapal laut tak akan terjadi.

Banten ibarat sebuah kapal yang terdampar di tengah laut dan mengalami kerusakan mesin. Kalau para penumpangnya terus saja menonton dari atas geladak kapal, tanpa berbuat apa pun, maka kapal itu tak akan melaju. Dibutuhkan orang-orang yang ahli dalam bidang permesinan, pandai membaca arah mata angin, cermat mengatur strategi, berwawasan luas dan mengenali wilayah-wilayah yang tumbuh di sekitarnya, dan satu hal terpenting, memiliki cara berpikir yang visioner. Ia tahu ke mana harus mengarahkan laju kapal agar selamat sampai tujuan. Dan begitulah pemuda sejatinya.

Untuk mencapai itu semua, segalanya dimulai dari hal yang terlihat sepele. Yakni bilik suara. Di sanalah demokrasi akan berlangsung. Ruang yang boleh dibilang sangat steril; dari bisikan busuk, intervensi, pengarahan opini, dan segala macam. Waktumu yang hanya sekian menit menjadi penentu dan turut andil untuk lima tahun mendatang. Berpikirlah visioner. Dan untuk bisa memiliki pemikiran maju, tentu tak begitu saja setiap orang bisa mendapatkan. Harus ada cara-cara yang ditempuh. Dan cara termudahnya tak lain adalah mengenali siapa kandidat calon pemimpinnya. Itu bisa dilakukan sejak hari ini juga, selagi masih ada waktu luang sebelum Pilkada berlangsung.

Orang-orang awam, adalah warga yang pemikirannya paling mudah dikendalikan. Ketika mendapati sebuah opini, tanpa membandingkan dengan opini lain dari sudut pandang lain, ia langsung begitu saja memercayainnya—dan inilah yang paling rawan dan berbahaya. Kita sebagai pemuda tentu tak boleh berlaku demikian. Keawaman kita soal dunia perpolitikan di Provinsi Banten khususnya harus lekas di-upgrade. Hidup pada zaman yang segalanya bisa dicari dengan sekali ketik dan klik—kecuali cari jodoh—tentu mudah saja dilakukan. Semisal ada kandidat calon bernama: Lidiabu Eda. Cobalah telusuri track record-nya dalam menjadi pemimpin di institusi atau jabatan-jabatan sebelumnya. Atau cobalah kenali dahulu kehidupan sehari-harinya; bagaimana cara ia berinteraksi dengan orang sekitar, berbagi ilmu dan wawasan, cara ia berpolitik; pandang pula dari sudut lingkungan ia tinggal dan berkawan dengan siapa saja, sebab itu berpengaruh pula baginya dalam mengambil tindakan dan keputusan. Kemudian, bandingkan dengan kandidat-kandidat lainnya. Setelah itu tentu saja akan sama-sama kita dapatkan kesimpulan, berdasarkan data dan fakta lapangan tadi, siapa yang layak dan ideal menjadi pemimpin di Provinsi Banten tercinta ini—pada suasana provinsi sekarang tentu saja.

Yang jelas dan utama, mari kita sepakati bahwa menentukan pilihan adalah hak masing-masing, tetapi memberikan suaranya pada Pilkada mendatang adalah wajib hukumnya, ya sebagai bukti kepedulian kita akan Provinsi Banten ke depannya yang lebih sejahtera. Sebab, sebagai pemuda hari ini, kita sudah seharusnya tahu kapan saatnya peduli pada sesuatu hal, serta kapan tidak peduli sama sekali pada apa pun. Dewasalah, jangan sampai seperti cerita yang sudah-sudah. Pemilihan pemimpin macam ini menyisakan benci dan dengki yang berkepanjangan, sampai memutus tali persaudaraan. Pilpres dan Pilkada jangan sampai seperti pilek; efek sampingnya kurang baik dan dapat membuat orang-orang di sekitar kita terganggu. Ambil bagian pada Pilkada mendatang tentunya termasuk dalam hal yang disebutkan paling pertama; pemuda hari ini, sepakat Golput bukan solusi!

Cilegon, 08 September 2016


Ade Ubaidil, pemuda yang lahir dan besar di Provinsi Banten. Ia Mahasiswa akhir di Universitas Serang Raya (UNSERA) jurusan Sistem Komputer.

Editor: Andri Firmansyah

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button