Opini

Suwaib Amiruddin: Keresahan Mata Pencaharian Masyarakat di Desaku

biem.co – Kata dan kalimat untuk tema tulisan ini, berasal dari ucapan murid saya yang kini sudah menyelesaikan studinya di Program Pascasarjana di salah perguruan tinggi negeri ternama di negeri ini. Beliau sampaikan pada saat saya dalam perjalanan satu mobil dengannya. Saya bertanya kembali, mengapa anda membuat pernyataan yang begitu sangat mendalam tentang nelayan di desamu?. Jawabannya ternyata sangat panjang, karena menceritakan perbandingan kondisi nelayan di desanya pada masa masih berada di kampung halamannya.

Setelah menamatkan pendidikan di sekolah menengah atas, hijrah ke kota karena menuntut pendidikan lebih tinggi dan hingga saat ini sudah menyelesaikan studi Magister dalam bidang Ilmu sosial. Beliau menceritakan bahwa beberapa hari yang lalu tepatnya akhir Januari 2021, beliau kembali berkunjung ke kampung halamannya dan melakukan bincang-bincang dengan koleganya, pamannya dan keluarganya yang lain kondisi nasib nelayan di desanya. Salah satu tema diskusinya terkait kondisi nelayan dan industri yang terbangun di kampung halamannya.

Selain itu, penduduk yang ada disekitar kampung halamannya sudah pindah ke kota lain, karena alasan ekonomi sudah mulai sulit di akses di kampung halamannya. Akses ekonomi bagi masyarakat di kampungnya adalah pertanian (kebun) dan hasil laut. Posisi kampungnya ada pada kawasan pinggir pantai, sehingga masyarakat di sana banyak juga yang memilih untuk mencari penghidupan di laut dan berprofesi sebagai nelayan.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Menurut beliau, nelayan disana juga terbagi beberapa kelompok. Ada kelompok pemilik modal dan sekaligus pemilik perahu namun tidak ikut melaut. Ada pula pemilik modal dan pemilik perahu dan sekaligus juga sebagai profesi nelayan. Ada juga tidak memiliki modal dan tidak memiliki perahu namun memilih menjadi pekerja sebagai nelayan. Kondisi itu sama juga di kampung halaman saya di Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan ada juga kelompok-kelompok  nelayan seperti di kampung halaman murid saya itu.

Murid saya lebih lanjut lagi bahwa di kawasan kampung halamannya, komunitas nelayan sudah mulai berkurang penghasilannya akibat masuknya pembangunan industri. Keberadaan industri telah menggeser kawasan nelayan, yang dulunya dapat mengakses kawasan penangkapan ikan tidak terlalu jauh, namun saat ini kawasan itu digeser oleh lalu-lintas kapal-kapal suplay hasil-hasil industri. Menurut beliau dari hasil obrolannya dengan nelayan, terungkap bahwa kawasan terumbu karang pun sudah mulai rusak dan kawasan tempat tinggal biota laut semakin berkurang.

Kondisi yang dialami oleh nelayan itu pun sudah disampaikan pada pihak berwenang, namun tidak ada solusi mendasar karena kondisi itu diakibatkan oleh pembangunan kawasan industri. Karena tidak ada solusi maka nelayan pun melakukan aksi protes, namun tidak menemukan solusi alternatif apa yang dapat dilakukan untuk mengatasi arus pembangunan kawasan industri. Menurut nelayan bahwa sejak pembangunan kawasan industri, nelayan sudah mulai resah atas akses pekerjaan dan pemenuhan ekonomi pun semakin berkurang.

Sebagai nelayan tradisonal yang hanya dapat menjangkau jarak antara 1- 3 mill laut, tentu sangat terganggu dengan keberadaan kawasan pembangunan industri yang berada di sekitar pesisir pantai. Kondisi nelayan, hanya dibuat menjadi orang yang pasrah menerima kenyataan bahwa pembangunan sudah dilakukan. Murid saya hanya bisa ikut merasakan keresahan yang dialami oleh nelayan di desanya, bila dibandingkan saat beliau masih duduk dibangku sekolah menengah di desanya. Penghasilan nelayan saat itu, sangat melimpah karena akses ke laut masih lancar dan terumbu karang masih sangat asri sebagai kawasan berkumpulnya biota laut.

Rumah murid saya itu sangat dekat dengan pesisir pantai. Menurutnya sebelah kiri jalan posisi rumahnya dan posisi kanan adalah pesisir pantai. Ibarat kata, kalau inigin mandi di pantai maka hanya beberapa langkah sudah bisa sampai di pantai. Berarti sangat dekat posisi perkampungan dengan pantai. Hubungan masyarakat dengan pantai sudah menyatu, dan di ibaratkan pantai merupakan pelataran rumahnya. Karena dekat dengan pantai, maka saudara dan keluarganya ada berprofesi sebagai nelayan, dan hingga saat ini tetap menjadi nelayan.

Solusi Alternatif

Kalau kita menyimak apa yang menjadi keresahan murid saya, maka ada beberapa point solusi alternatif yang bisa saya tawarkan yaitu pertama pembangunan kawasan industri yang berada pada kawasan pesisir pantai, seharusnya perlu menentukan area jalur lalu lintas yang tidak merusak habitat kawasan nelayan tradisional. Misalnya lalu lintas kapal suplay industri seharunya melintas pada titik tertentu sehingga tidak merusak kawasan wilayah penangkapan nelayan tradisional. Kedua pihak pemerintah baik pusat maupun daerah dan pimpinan kawasan industri perlu ada koordinasi yang baik untuk memikirkan nasib nelayan yang ada disekitar kawasan industri, agar akses ekonomi masyarakat nelayan di desa tetap mendapatkan penghasilan. Perlunya hal itu dilakukan agar dapat memastikan bahwa mata rantai penghidupan nelayan tidak terputus karena akibat masuknya industri. Ketiga nelayan di desa secara lokalitas merupakan keahlian yang dimiliki secara turun temurun, sehingga jangan sampai kehadiran industri menghilangkan keahlian dan profesi masyarakat setempat. Artinya industri perlu menata agar semua berada pada zona nyaman dan aman dalam menjalankan kegiatan.

Solusi tiga hal itulah sebenarnya harus diterjemahkan secara operasional agar pihak nelayan dapat berjalan aktivitasnya dan industri juga dapat menjalankan programnya tanpa mencabut akar lokalitas masyarakat nelayan di desa. Kesulitan ekonomi bagi masyarakat nelayan akibat masuknya industri, maka sama saja industriu tidak memilki dampak perubahan masyarakat lokal. Seharunya didorong untuk tetap bersinergi, masyarakat lokal sudah lama hidup dan menetap dengan budayanya, pihak indutri masuk perlu memantau akibat industri, dan menata kembali hidup masyarakat lokal dengan habitatnya.

Jangan sampai industri lupa bahwa jauh sebelum masuk membangun kawasan, masyarakat sudah lama menetap dan hidup pada kawasan tersebut. “Menyingkirkan” masyarakat lokal dari akar budayanya serta akses ekonominya akan berdampak hilangnya mata pencaharian dan pada muaranya menghasilkan manusia yang miskin karena tidak ada akses pekerjaan dan berimbas pada akses ekonominya.

Menutup tulisan ini teringat kembali penyataan murin saya bahwa “saya resah” karena keluarga saya yang berprofesi sebagai nelayan sudah tidak memiliki penghasilan seperti sedia kala, ketika masa-masa saya masih ada di kampung halaman. Dan bahkan beliau membuat pernyataan bahwa “jangan-jangan pembangunan kawasan industri di negeri ini hanya akan melahirkan masyarakat yang miskin dan pemiskinan masyarakat”.

Saya pun berpendapat demikian kalau menganalisis dari data hasil oboralnya dengan keluarganya yang ada dikampung halamannya. Sebagai teman diskusinya, saya juga pun ikut resah apabila tidak segera ditengahi oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Jangan sampai terjadi pembiaran terus dilakukan, sehingga negara dianggap tidak hadir ditengah-tengah keresahan nelayan, termasuk keresahan murid saya, dan bahkan juga keresahan saya berdasarkan kasus yang menimpa mata pencaharian keluarga murid saya di desanya. (*)


Penulis adalah dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa dan telah memperoleh penghargaan Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya. Selain akademisi beliau juga aktif sebagai penggiat sosial masyarakat desa. Saat ini menjabat sebagai Kepala Pusat Pengelolaan dan Pengembangan Kuliah Kerja Mahasiswa dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. 

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ragam Tulisan Lainnya
Close
Back to top button