OpiniReview

‘Voice’ Ade Ubaidil: Belajar Berteman dengan Perpustakaan

 

biem.co — Ketika seseorang sedang menyendiri, apa sekiranya isi pikirannya yang bisa kita tebak? Ya, barangkali ia sedang kesepian, begitu hal pertama yang pasti tebersit. Kesulitan mencari teman, atau bisa jadi tak ada yang mau berteman. Lantas ia menyendiri, menjauh dari keriuhan kota dan bertanya: mengapa orang-orang pergi dan menjauhiku?

 

Bila kita menempatkan karakter pada analogi tersebut dalam sebuah ruang dan tempat maka seseorang yang menyendiri itu adalah ‘perpustakaan’. Dalam sebuah wawancara, Aan Mansyur, pustakawan serta penyair yang puisi-puisinya dipinjam tokoh Rangga untuk film AADC? 2 itu, mengatakan bahwa di Indonesia, kita hidup di berbagai kota yang berisi banyak sekali mall ketimbang perpustakaannya. Orang-orang masih memandang bahwa perpustakaan hanya sebuah tempat yang tidak asyik dan ‘tidak-gaul-sekaligus-kurang-bergaya’ untuk dikunjungi. Buku-buku dibaca hanya ketika ada keperluan belaka, semisal tugas sekolah, sarana referensi, atau rujukan mahasiswa dan dosen guna pemenuhan penyelesaian tugas akhir. Lepas dari itu, buku seolah tak penting. Lantas, para pekerja kantor, buruh, pedagang kaki lima, tukang becak, pengemis, dan semua orang sisanya seolah tak perlu lagi bergumul dengan buku-buku, sebab sejauh ini dipercaya bahwa membaca buku tak bisa mendatangkan uang. Bekerja lebih baik ketimbang membuang-buang waktu dengan membaca buku. Berarti apa yang salah dan apa yang perlu diperbaiki dalam studi kasus semacam ini?

 

Menjadi teman baik

Hampir di semua linimasa, koran, radio, televisi, jejaring sosial, website, dan semacamnya mengungkapkan data terbaru soal minat baca warga Indonesia. Berdasarkan data yang dikeluarkan UNESCO, secara persentase, minat baca masyarakat kita diberi skala 1:1000. Hanya didapat satu persen orang pembaca serius dibanding seribu orang. Kita ketahui bersama, dengan membulatkan bilangan, Indonesia memiliki lebih 250 juta jiwa, itu berarti 0,001-nya sama dengan 250.000 jiwa. Dari sekian juta penduduk Indonesia, hanya ada 250.000 saja orang yang gemar membaca. Negara kita didaulat menduduki posisi ke-60 dari 61 negara yang memiliki minat baca dari yang tertinggi hingga yang terendah. Tentu saja di posisi ke-60 tak perlu lagi dijelaskan bahwa itu adalah prestasi yang memalukan.

 

Konon, Amerika Serikat masih menduduki posisi teratas lantaran budaya baca di negara itu memang masih sangat tinggi. Sebab, sewaktu zaman penjajahan dulu, Amerika sudah membiasakan membaca dan belum memperbolehkan media seperti televisi dan semacamnya masuk ke setiap rumah-rumah penduduk. Baru setelah dirasa membaca sudah menjadi bagian dari masyarakat itu sendiri, layaknya santapan pokok dan berpakaian, maka setelah disusupi media televisi, video game, smartphone, dan sebagainya tidak lekas memengaruhi mereka dan membuat minat baca (buku) menurun. Berbeda sekali dengan negara Indonesia. Ketika membaca belum benar-benar dijadikan sebuah kebutuhan, banyak sekali media semacam hal-hal yang disebutkan sebelumnya datang ‘menyerang’ sejak masih kecil. Karenanya, jangan heran bila menemukan anak kecil sekira usia 6 tahun saja sudah jago mengoperasikan smartphone, bermain game, gemar menonton televisi, padahal membaca saja belum lancar.

 

Oleh sebab itu, bila kita fokus pada satu tempat, sebut saja perpustakaan, di mana banyak sekali buku-buku sebab di sana adalah rumah buku-buku, maka anggaplah ‘perpustakaan’ sebagai murid baru di sebuah sekolah—kita kembali lagi ke analogi sebelumnya. Tentu di awal kedatangan ia malu-malu dan sulit untuk berinteraksi dengan murid lainnya. Jadi kita, sebagai murid yang sudah lama berada di sekolah, datangilah ‘perpustakaan’ lebih dahulu. Sapa ia se-ramah mungkin. Bila perlu, saat ada tugas kelompok cobalah berkunjung ke rumahnya. Mengenali setiap koleksi-koleksi bukunya. Mula-mula mungkin kamu akan membaca buku alakadarnya. Akan tetapi, lambat laun, bila kita terus-menerus membiasakan diri berkunjung ke rumah ‘si perpustakaan’, barangkali buku-buku koleksi ‘perpustakaan’ akan menjadi kawan baik kita. Maka hal berikutnya adalah ajak kawan-kawan lainnya untuk pula merasakan betapa serunya membaca buku di rumah ‘perpustakaan’. Lantas bergantian, tugas selanjutnya berada pada ‘si perpustakaan’, bagaimana cara ia membuat kawan-kawannya bertahan dengan buku-buku koleksi di rumahnya? Ya, tentu saja, yang diperlukan adalah kenyamanan. Bila sudah begitu, tentu saja anak-anak hingga orang dewasa akan menjadi teman baik ‘si perpustakaan’.

 

Berpenampilan menarik

Beberapa waktu lalu, saya menyempatkan bermain ke Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Cilegon (KPAD) yang bertempat di Jl. Pangeran Jayakarta No. 1A, Masigit, Kota Cilegon, bersama teman-teman. Sengaja memang, karena saya ingin tahu keadaan perpustakaan di daerah saya tinggal. Hasilnya sungguh mengejutkan. Jumlah pengunjungnya bisa terhitung jari, tak jauh berbeda dengan pengunjung Rumah Baca Garuda yang saya kelola di samping rumah, tetapi jelas sekali jumlah buku dan tempat sangat jauh berbeda. Saya sangat mengharapkan bahwa segala fasilitas yang tersedia bisa membuat para pengunjung tertarik. Sayangnya tidak.

 

Baca tulisan-tulisan Ade Ubaidil lainnya:

 

Bila diperhatikan, perpustakaan ini sungguh memprihatinkan. Menurut hemat saya, penampilannya sudah terlalu jadul dan kurang memiliki daya tarik. Sejak pertama masuk, kita disambut dengan tumpukan loker yang sebagiannya sudah rusak dan kurang terawat. Belum lagi tampilan rak-rak yang “kaku” dan ditata tidak begitu memikat hati. Barangkali satu-dua kali perlu mengadakan acara di perpustakaan tersebut, juga tentu saja di daerah-daerah lainnya, khususnya Provinsi Banten. Buat orang-orang tertarik datang berkunjung ke perpustakaan, Taman Bacaan Masyarakat (TBM), atau perpustakaan-perpustakaan yang tersebar dan didirikan oleh para penggiat literasi dengan biaya swadaya itu. Bahkan, saya bisa mengatakan kalau hal terakhir yang saya sebutkan bisa lebih ramai pengunjung tinimbang perpustakaan daerah-daerah khususnya di Banten. Memang benar, bacaan tidak selalu ada di perpustakaan, banyak tempat atau media yang bisa kita jumpai untuk mendapatkan bahan bacaan, lebih-lebih di zaman serba cepat ini, adanya teknologi digital dan internet, tetapi segala sesuatu harus berawal dari hal yang paling mendasar. Jadi bagaimana minat baca masyarakat akan meningkat bila tempat yang jelas-jelas sudah memfasilitasinya saja masih sepi pengunjung?

 

Untuk membuat sesuatu menarik tentu dengan cara memberikan sentuhan-sentuhan kreativitas. Bisa dengan cara membuat ruangan asyik untuk membaca, semisal membuat mural di dinding, rak-rak buku yang unik, promo perpustakaan ke desa-desa (semacam menjemput bola, istilahnya), dan banyak hal lainnya. Bisa pula melihat referensi-referensi perpustakaan yang menarik pengunjung untuk merasa nyaman datang ke perpustakaan melalui internet. Banyak sekali contohnya bila kita melihat perpustakaan di luar negeri, tak melulu soal fasilitas yang serba mahal. Justru yang mahal adalah ide untuk menciptakan sebuah kreativitas. Sesuai pesan dari Maman Suherman—aktivis sosial, pengelola perpustakaan sekaligus penulis— beliau mengatakan, “Jangan jadikan perpustakaan sebagai tempat paling sunyi kedua setelah pekuburan”. Ironi sekali, dan pemerintah harus lebih serius soal ini, karena kewarasan harus tetap dijaga, sebab berita hari ini kian menyedihkan dan mengkhawatirkan; orang-orang yang terlewat intelek memberangus buku-buku hanya karena takut pada sebuah kata, “kiri”. Pantaskah yang seperti itu ditemani?

 

Cilegon, 13 Mei 2016


Ade Ubaidil

Ade Ubaidil, pencerita dan pengelola Rumah Baca Garuda di Cibeber, Cilegon. Buku terbarunya yang telah terbit kumpulan cerpen Mbah Sjukur (2016). Ia senang berbisik, “Jangan lupa bahagia, Kawan!”

 

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button