biem.co – Dalam konteks sejarah perkembangan kepolitikan mutakhir Indonesia, studi tentang literasi politik mendapatkan perhatian serius terutama sejak reformasi bergulir tahun 1998 yang telah mengubah tatakelola kekuasaan dari model demokrasi sentralistik ke demokrasi desentralistik, yang kemudian diikuti oleh keniscayaan diselenggarakannya perhelatan demokrasi elektoral di berbagai tingkatan. Merujuk pada pendekatan kelembagaan baru (new institusionalism) dalam kajian ilmu politik, nalar argumentasi penguatan kajian ini didasarkan pada pemikiran, bahwa untuk mengonsolidasikan demokrasi maka diperlukan pemilu yang berkualitas; sementara pemilu yang berkualitas membutuhkan prasyarat atau prakondisi para pemilih (voters) yang cerdas, kritis, rasional dan bertanggungjawab dengan pilihannya. Pemilih dengan –antara lain– karakteristik inilah yang kemudian lazim dikategorikan sebagai pemilih yang literate (melek) secara politik. Kosakata Literasi Pilkada penulis turunkan dari terma Literasi Politik ini.
Menurut Denver dan Hands (1990), literasi politik (political literacy) merupakan pengetahuan dan pemahaman tentang proses politik dan isu-isu politik, suatu pengetahuan dan pemahaman yang memungkinkan setiap warga negara dapat secara efektif melaksanakan perannya (berperan serta, partisipasi) sebagai warga negara. Pengetahuan dan pemahaman ini oleh Cassel dan Lo (1997) disebut sebagai political expertise dan political awareness, yang intinya merujuk pada maksud sejauhmana seorang individu warga negara memberi perhatian dan memahami isu-isu politik.
Rumusan yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Bernard Crick (2000), yang mendefinisikan literasi politik sebagai pemahaman praktis tentang konsep-konsep yang diambil dari kehidupan sehari-hari, dan bahasa merupakan upaya memahami seputar isu politik, keyakinan para kontestan, bagaimana kecenderungan mereka mempengaruhi diri sendiri dan orang lain. Ringkasnya, literasi politik pada dasarnya merupakan senyawa yang utuh dari pengetahuan (kognisi), keterampilan (psikomotor) dan sikap (afeksi). Sementara itu, dalam frasa yang simpel dan assertif, Westholm et al. (1990) menyatakan, bahwa literasi politik pada dasarnya adalah kompetensi warga negara, suatu kompetensi yang dibentuk agar seorang warga negara siap menjalankan perannya dalam kehidupan demokrasi.
Berbasis pemahaman tersebut di atas dan dengan mengadaptasi konsep literasi politik, maka literasi pilkada dengan demikian meniscayakan adanya elemen-elemen yang dapat diidentifikasi dan diukur. Dalam kaitan ini, Mudhok (2005) menawarkan setidaknya 4 (empat) elemen literasi politik yang juga berlaku bagi literasi pilkada. Yaitu : (1) kehirauan dan kesadaran pentingnya aktivitas dan institusi politik, kewenangan, dan perannya; (2) kemampuan untuk membuat opini dan otonomi posisi dalam proses politik dalam rangka menghasilkan suatu outcome politik; (3) pengetahuan mengenai kebijakan, perencanan dan anggaran pemerintah untuk pembangunan dan pelayanan publik; (4) partisipasi dalam kegiatan politik.
Mengapa Literasi Pilkada ?
Mengapa literasi pilkada penting diperkuat?; mengapa warga harus literate (melek) terhadap pilkada? Literate dalam pengertian sebagaimana dimaksud Mudhok, setidaknya ada 3 (tiga) argumentasi strategis yang harus dipahami dan disadari masyarakat.
Pertama, pilkada pada dasarnya merupakan ruang terbuka bagi warga untuk terlibat, bukan hanya pasif misalnya sekedar memberikan suara pada hari pencoblosan, melainkan juga pada level saktif, bahkan sangat aktif. Misalnya terlibat dalam mengikhtiarkan atau memperjuangkan figur-figur calon pemimpin yang diyakini dapat memenuhi kebutuhan ril daerahnya agar terpilih. Pada titik ini penulis percaya, bahwa pada dasarnya setiap warga yang sehat secara sosial-politik niscaya menghendaki figur terbaik yang harus menjadi pemimpin daerahnya. Dengan asumsi ini, orang-orang baik akan sama-sama memperjuangkan orang-orang baik, meski bisa saja mereka berhadapan di arena kontestasi. Namun itu artinya, siapapun yang kelak memenangi kontestasi tentu merupakan kandidat dari barisan orang-orang baik. Warga harus literate soal ini.
Kedua, dilihat dari aspek kepemerintahan keseharian (daily governing) atau kehidupan politik bernegara secara umum, pilkada merupakan sisi hulu kapan dan bagaimana proses ini berlangsung dalam kurun waktu yang panjang (sedikitnya 5 tahunan jika ukurannya adalah periode masa jabatan kepala daerah). Sisi hulu ini sangat strategis dan menentukan bagaimana sisi tengah (proses perencanaan dan perumusan kebijakan publik) dan sisi hilir (implementasi kebijakan publik; pelaksanaan program-program pembangunan; output yang dihasilkan dst) dioperasikan di kemudian hari. Salah mengambil keputusan di hulu akan berdampak buruk pada sisi tengah maupun hilir. Warga harus literate soal ini.
Ketiga, dalam tradisi demokrasi, proses elektoral (termasuk pilkada) sesungguhnya juga merupakan sarana sekaligus momentum untuk melakukan evaluasi kepemimpinan kekuasaan pemerintahan. Dalam konteks ini pilkada menjadi instrument politik rakyat untuk menilai, khususnya petahana yang maju lagi, apakah masih layak diberikan mandat atau sebaliknya, harus diakhiri karena jauh dari ekspetasi publik. Tegasnya pilkada bisa menjadi alat untuk “menghukum” secara politik para pemimpin yang tidak mampu memenuhi janji kampanye atau gagal menghadirkan perubahan daerahnya ke arah yang lebih baik. Warga harus literate soal ini.
Keempat, sebagai sebuah kontestasi pilkada diselenggarakan dengan seperangkat aturan main atau regulasi. Rule of Game ini penting untuk memastikan pilkada berlangsung tertib dan fair. Karena itu didalam regulasi pilkada diatur berbagai ketentuan hukum yang wajib ditegakkan oleh semua pihak. Tanpa disertai perangkat hukum dan penegakkannya di lapangan kontestasi, pilkada hanya akan menghasilkan keriuhan dan kegaduhan. Warga harus literate soal ini.
Lantas, di posisi manakah derajat literasi pilkada para pemilih dewasa ini? Untuk mengetahui jawaban pastinya tentu dibutuhkan riset, mungkin survei kuantitatif yang disertai eksplorasi dan analisis kualitatif yang mendalam. Namun demikian, sebagai pengantar permulaan, pemetaan pengandaian berikut ini dapat dijadikan parameter awal. Jika masih banyak warga yang apati; tak hirau dan masabodo dengan pilkada, ini merupakan indikasi awal bahwa derajat literasi pilkada masih rendah. Derajat yang sama juga nyata jika sebagian besar warga tidak memiliki kemampuan mengartikulasikan pilihan dan sikap politiknya secara otonom. Posisi literasi pilkada warga lebih rendah lagi derajatnya jika mayoritas tidak menyadari bahwa output sebuah proses elektoral bakal berimplikasi pada outcome politik di kemudian hari.
Jika pengandaian-pengandaian itu terkonfirmasi di lapangan, maka rerata literasi pilkada warga atau pemilih memang masih rendah. Lantas, tugas dan tanggungjawab siapa ikhtiar mengupgrade literasi pilkada ini? Secara khusus tentu saja hal ini merupakan tugas dan tanggungjawab para pihak (stakeholders) yang berkepentingan langsung terhadap pilkada sebagai hajat politik daerah, yakni Pemda, penyelenggara pemilu di daerah, dan peserta pilkada. Tetapi secara moral ikhtiar mendongkrak literasi pilkada masyarakat sejatinya juga merupakan tanggungjawab masyarakat sipil seperti perguruan tinggi, ormas, media massa, dan tokoh masyarakat. (red)
Penulis adalah Komisioner KPU Provinsi Banten.