Opini

Mengenal Nafsu Manusia dan Kaitannya dengan Puasa

biem.co — Nafsu telah diserap dalam bahasa dengan arti hasrat atau desire. Padahal nafsu itu artinya diri. Tapi bukan urusan kita membahas salah kaprah dalam serap-menyerap istilah ini.

Nafsu, sebagai suatu hasrat, ada dua. Pertama, nafsu yang bersifat melekat dalam penciptaan kita. Atau kodrati. Atau naluri. Nafsu ini, berporos pada hasrat untuk mempertahankan diri, melangsungkan keturunan, dan mewariskan jejak dan tanda.

Seperti misalnya, nafsu untuk makan, minum, berhubungan seksual, memiliki anak, dan nafsu untuk mengetahui. Dapat diringkas menjadi: nafsu bersumber pada dorongan alat pencernaan; alat reproduksi (kelamin); naluri untuk melangsungkan kehidupan; dan naluri untuk mengembangkan kehidupan.

Itulah nafsu bersifat kodrati yang dianugerahkan pada manusia. Selain itu, merupakan nafsu yang dibentuk oleh lingkungan sosial manusia. Atau nafsu bentukan yang bersifat relatif dan mu’allaq. Cirinya, jika sendiri, hasrat ke arah tersebut, tidak manifes dalam batin dan perilaku.

Nafsu bentukan sosial ini, misalnya, ingin diakui, dipuji dan ingin berkuasa. Nafsu bentukan sosial inilah yang menjulur menjadi tamak, serakah, kejam, pelit, sombong, licik, angkuh, keras kepala, khianat, egois, dan sebangsanya. Pantulan nafsu ingin berkuasa dan dipuji oleh masyarakat manusia itulah yang membiakkan sifat-sifat buruk di atas. Sekiranya nafsunya hanya sekedar memenuhi nafsu kodrati, maka yang bersangkutan hanya akan berakhir rasa cukup dan kenyang sewajarnya (qana’ah). Tetapi manakala sudah meningkat untuk menguasai, ingin diakui dan dipuji oleh manusia lainnya, maka secara riil yang bersangkutan menempatkan manusia lain sebagai saingan, kalau bukan ancaman atau musuh baginya dalam mempertahankan eksistensinya.

Sikap semacam ini, menimbulkan reaksi yang sama pula pada manusia lainnya sampai kemudian masyarakat manusia terjatuh pada lingkaran persaingan dan pertarungan antar satu dengan lainnya. Maka siapa yang kuat dia yang aman. Yang kuat menentukan hukum untuk memastikan keamanan untuk diri dan kepentingannya. Lama kelamaan, muncullah rasa terancam akibat lingkaran persaingan dan permusuhan antar manusia ini. Timbullah perasaan dan dorongan untuk mengamankan diri dan memperkuat diri guna melepaskan diri dari keterancaman agresi. Demikian masing-masing manusia mempersepsikan dirinya dan orang lain, hingga mengendap dalam kesadaran dan konstruksi kebudayaannya.

Adapun pihak yang lemah dan kalah dalam persaingan dan pertarungan hidup antar manusia, terkerangkeng dalam tekanan dan belenggu hukum. Lalu jika dia kuat, dia dapat membalikkan keadaan: yang tadinya pihak yang mengkerangkeng dirinya dengan hukum, ditempatkan sebagai pihak yang terkerangkeng. Yang tadinya berada sebagai pihak yang berkuasa, diubah oleh kekuatan yang menang sebagai pihak yang terkuasai.

Kenyataan hidup manusia tersebut, bermula dan berasal dari perkara nafsu. Bilamana nafsu dapat dikendurkan dan dikendalikan, persaingan yang kejam, dapat dikendurkan.

Bulan puasa bagi manusia sebenarnya refleksi dan pengenduran terhadap intensifnya aktivitas nafsu. Dan nafsu yang dilatih itu, langsung menargetkan nafsu kodrati, yaitu nafsu biologis. Sebab asal dari nafsu bentukan sosial, berpangkal pada nafsu kodrati.

Selama sebulan manusia berlatih merem dan menekan nafsu agar tidak terlalu sengit dan binal mempengaruhi jiwa dan tabiat manusia. Supaya terjangkau suatu kesadaran bahwa tidak semestinya jiwa dapat merdeka sedikit dan tidak melulu distir oleh nafsu atau hasrat hewaniah.

Al-Qur’an mendefinisikan hasil akhir dari kegiatan sebulan disiplin tubuh, nafsu dan jiwa seorang beriman, adalah TAQWA. Seorang ulama mendefinisikan dengan tepat arti huruf yang menyusun kata taqwa, TQWY, itu ialah (Ta) tawaadlu’ atau rendah hati, (Q) qana’ah atau merasa cukup, (W) wara’ atau lakon disiplin diri untuk menghindari hal yang syubhat hingga haram, dan (Y) yakin atau percaya sepenuhnya pada ketentuan dan amar Allah pada dirinya. (Lihat kembali QS Al-Baqarah: 183).


Tentang Penulis: Syahrul Efendi Dasopang, Sekjen Ikatan Sarjana al-Qur’an Indonesia.

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button