Opini

Izza Umamah: Menakar Nalar Sosial dalam Kasus Anak Gugat Ibu Kandung di Aceh Tengah

biem.co — Baru-baru ini, publik digegerkan oleh tindakan seorang anak perempuan yang menggugat ibu kandungnya berkenaan dengan harta warisan berupa sebuah rumah mewah tiga lantai di atas tanah seluas 894 meter persegi. Rumah tersebut terletak di Jalan Yos Sudarso, Kampung Belang kolak II, Kecamatan Bebesen, Kabupaten Aceh Tengah. Kasus ini menjadi perhatian publik ketika momen kedatangan penggugat ke rumah mewah keluarga tersebut direkam oleh salah satu adiknya yang menyebut penggugat dengan sebutan “anak durhaka”.

Mengutip dari berita iNews.id, sebelum kasus viral, Pengadilan Negeri Aceh tengah melakukan upaya mediasi sebanyak dua kali, tapi upaya tersebut tidak menghasilkan jalan keluar. Asmaul Husna bersikukuh mengklaim bahwa rumah mewah yang ditempati ibu dan adik-adiknya adalah miliknya. Tidak hanya itu, perempuan berusia 49 tahun itu juga menuntut ganti rugi sebesar Rp200 juta sebagai kompensasi atas penempatan rumah mewah tersebut selama dua tahun.

Gugatan yang dilayangkan Asmaul Husna terdaftar dengan nomor 9/Pdt.G/2021/PN tanggal 19 Juli 2021. Di dalam gugatan tersebut ada lima nama yang didaftarkan sebagai pihak tergugat. Ada lima orang yang digugat, yakni Ibu Kausar dan keempat adiknya. Dilihat dari latar penggugat, Asmaul Husna merupakan seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang menjabat sebagai Kepala Bagian di Setda Aceh Tenggah. Dengan kata lain, penggugat merupakan orang dari kalangan terdidik, yang seyogyanya memahami aspek-aspek hukum waris, baik dalam perspektif Islam maupun dalam perspektif konstitusi negara, terlebih yang bersangkutan merupakan aparatur negara, sudah semestinya memiliki mentalitas yang baik.

Fakta latar belakang Asmaul Husna dengan tindakan yang diambil olehnya menjadi satu catatan tersendiri. Kita tahu, di satu sisi, dalam wacana pendidikan Indonesia, akhlak selalu dikedepankan sebagai modal dan model penting bagi keberlangsungan proses pendidikan dan dalam menjalani hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Di sisi lain, aparatur pemerintah yang disumpah menjadi abdi negara semestinya memahami bagaimana cara menjadi abdi negara, bukan hanya saat bertugas sebagai abdi negara, melainkan tingkah laku keseharian juga menjadi cerminan atas mentalitas abdi negara tersebut. Ini benar-benar memantik saya untuk melihat bagaimana sesungguhnya “nalar sosial” mutakhir yang berkembang. Namun sebelumnya, terlebih dahulu saya hadirkan fakta yang dikutip dari beberapa sumber berikut ini.

Ibu yang digugat kini sudah berusia 71 tahun. Ia adalah ibu dari 11 anak. Rumah yang ditempati bersama anak-anaknya adalah warisan almarhum suaminya. Asmaul Husna, anak kedua. Anak pertama meninggal. Dengan begitu, Asmaul Husna menjadi anak tertua. Oleh sebab itu ia merasa memiliki hak atas rumah peninggalan ayahnya, terlebih yang bersangkutan mengklaim sebagai anak kesayangan ayahnya. Tergugat mengaku telah menguasai objek sengketa dari tahun 2019. Kronologi penguasaan objek sengketa dimulai saat Asmaul Husna meminta sertifikat tanah kepada ibunya. Tanpa rasa curiga, sertifkat diberikan. Atas dasar itu Asmaul Husna menyatakan hak kepemilikan.

Cara mengklaim kepemilikan objek sengketa yang dilakukan oleh Asmaul Husna bukan kali pertama terjadi di Indonesia. Di berbagai kesempatan, baik kasus yang terangkat di media maupun kasus yang sekadar menjadi desas-desus di suatu kampung, kerap terjadi. Tanpa ragu, hal tersebut dalam pandangan agama merupakan tindak kejahatan, terutama ketika dihadapkan pada hukum mawaris (hukum yang mengatur tentang harta warisan). Tetapi dalam kesempatan ini saya ingin mengarah pada nalar sosial.

Istilah kata “sosial” berasal dari bahasa inggris, society, asal kata socius: kawan. Maksud umum dari “sosial” adalah segala sesuatu mengenai masyarakat dan kemasyarakatan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), sosial adalah hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat atau sifat-sifat kemasyarakatan yang memperhatikan kepentingan umum. Di dalamnya ada yang dinamai “kelompok sosial” dengan berbagai karakteristiknya.  Keluarga adalah kelompok sosial terkecil dalam masyarakat sebagai unit terkecil dalam masyarakat (Gunarsa, 2002). Berkenaan dengan itu, nalar di dalam kamus Bahasa Indonesia bermakna: pertimbangan tentang baik buruk, akal budi.

Ditarik dari kedua pengertian istilah tersebut, “nalar sosial” dapat dimaknai sebagai kemampuan mempertimbangkan baik dan buruk, mendayagunakan akal budi untuk dapat menempatkan diri sebagai individu sosial dalam hal-hal yang berkenaan dengan masyarakat dan kamasyarakatan. Berkenaan dengan kasus sengketa rumah mewah di atas, dapat dipersempit pada kemampuan mempertimbangkan baik dan buruk, mendayagunakan akal budi untuk dapat menempatkan diri sebagai individu sosial di dalam keluarga.

Keluarga dalam tatanan masyarakat Indonesia menjadi primadona, karena keluarga ditempatkan sebagai sumber energi terbesar bagi anggota keluarga untuk dapat menghadapi tantangan hidup di luar keluarga. Masalah-masalah yang ada di luar rumah dapat diterima dan dihadapi dengan baik selama di dalam rumah semua anggota keluarga saling menguatkan, menenteramkan, memberi semangat hidup, dan keberanian untuk menghadapi masalah dengan tenang. Itulah keluarga berkualitas, sebagaimana pandangan Albrecht & Sarason dalam Widiastuti & Widjaja, (2004) yang menyatakan bahwa kualitas hubungan adalah suatu hubungan yang baik dan tidak baik antara seseorang dengan orang lain dilihat dari seberapa dekat anggota yang terlibat dalam melakukan hubungan tersebut. Hubungan tersebut menumbuhkan sikap saling tergantung satu sama lain dan bertahan dalam periode waktu yang lama.

Menimbang-nimbang berbagai pandangan tersebut, bagaimanakah cara menalar nalar dari Asmaul Husna sehingga ia dapat melakukan sesuatu yang “bagi orang timur” bahkan bagi orang-orang jahiliyah di zaman sebelum Islam dianggap sebagai tindakan yang tidak bermoral dan memalukan? Jawabannya ada pada nalar ekonomi. Ekonomi berasal dari bahasa Yunani, Oikomonia, berasal dari kata Oikos dan Nomos. Oikos berarti rumah tangga dan nomos berarti tata laksana atau pengaturan. Ekonomi berarti pengaturan tata laksana rumah tangga, pekataan ekonomi mengandung arti tentang hubungan manusia dalam usahanya dalam memenuhi kebutuhannya. Pemenuhan kebutuhan ini yang tampak sangat dominan menjadi pendorong nalar Asmaul Husna dalam memahami hubungan dengan Ibu dan adik-adiknya.

Argumennya sederhana, sebagaimana yang dikatakan Soerjono Soekanto (2009) yang menyatakan bahwa, ukuran yang biasa dipakai untuk menggolong-golongkan anggota-anggota masyarakat ke dalam suatu lapisan sosial adalah ukuran kekayaan yang menempatkan orang kaya di lapisan atas, ukuran kekuasaan, yang memiliki kekuasaan atau yang mempunyai wewenang terbesar, ukuran kehormatan yang ditopang oleh ukuran kekayaan dan kekuasaan.

Pada tatanan masyarakat luas, ukuran-ukuran dangkal semacam itu tidak secara langsung melahirkan pertentangan. Prosesnya terurai dalam berbagai jalan, di antaranya adalah jalan ekonomi, jalan politik, dan sebagainya. Tetapi ketika ketiganya diletakkan di dalam rumah, akibatnya sangat fatal. Posisi keluarga yang semestinya diletakkan sebagai rumah untuk mengurai kepenatan yang timbul dari aktivitas sehari-hari di luar rumah, berubah menjadi “neraka”. Tetapi “neraka” itu sendiri tidak terlihat buruk bagi individu yang terjebak dalam penalaran “ekonimi” sempit sebagaimana yang saya katakan di atas.

Individu-individu menukar hal-hal termahal di dalam lingkungan keluarga yang tidak akan didapatkan di lingkungan luar dengan pandangan untuk mendapatkan sejumlah harta dalam perspektif ekonomi sempit, yakni sekadar memenuhi kebutuhan dan ukuran kehormatan yang dangkal, adalah individu-individu yang terlalu berani. Terlalu berani menghadapi ketidaktenangan hidup, kekisruhan antarkeluarga yang mungkin diwariskan hingga anak cucu. Ianya bahkan dapat melanggar larangan memutus silaturahmi, bukan hanya pada masa kini, melainkan pada masa-masa yang akan datang, yang menimpa turunan-turunannya sendiri.

Lebih masuk ke dalam peribadi invidu, hilangnya rasa saling menjaga, saling mendengar, dan saling berbagi kasih sayang di dalam keluarga dapat mengakibatkan gangguan mental serius. Misal, selfis, megalomania, dan penyakit-penyakit lainnya. Kekayaan atau sebut saja, “kehormatan” yang diraih atas pemenuhan kekayaan dan kekuasaan lebih pada “prasangka” peribadi, bukan apresiasi publik yang terbentuk secara bertahap, kuat, dan dapat diandalkan.

Prasangka-prasangka itu sendiri dalam pandangan psikologi merupakan penyakit: Antisocial personality disorder, yakni mengabaikan perasaan dan kebutuhan orang lain, memanipulasi orang lain untuk keuntungan diri sendiri, sulit mempertahankan hubungan, tidak merasa bersalah atas tindakan kurang menyenangkan yang dilakukan, serta merasa mudah bosan atau agresif.

Gugatan seorang anak kepada ibu kandungnya atas rumah mewah peninggalan ayahnya di Aceh bagaimana pun mengusik rasa kemanusiaan kita, tapi publik juga harus jujur untuk mengatakan, di tengah masyarakat kita, hal tersebut bukan barang baru. Persoalannya ada pada bagaimana setiap individu di dalam keluarga sebagai anggota keluarga bernalar.

Di dalam keluarga, pemenuhan kebutuhan untuk meraup kekayaan dan menunjukkan kekuasaan demi kehormatan-kehormatan tidak diperlukan. Di dalam keluarga, yang dibutuhkan adalah ketenteraman. Rasa saling percaya, berbagi kasih sayang, dan saling memberi keyakinan bahwa hidup akan baik-baik saja, walau di luar keluarga begitu banyak ancaman. Jika di lingkungan keluarga saja hidup terasa mengancam, tidak dapat dibayangkan bagaimana seorang manusia dapat menjalani kehidupan dengan baik, selamat dan bahagia. Jika bukan kehidupan yang selamat dan bahagia, apa yang diinginkan manusia di dunia?

Tentang Penulis

Izza Umamah, merupakan mahasiswi UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten, Fakultas Dakwah, Jurusan Bimbingan Konseling Islam.

 

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

2 Komentar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button