InspirasiOpiniTerkini

Romantisme Mudik Lebaran

Oleh : Eko Supriatno

biem.coHari Raya Idul Fitri merupakan salah satu momen yang paling ditunggu, khususnya oleh umat muslim di seluruh dunia. Di Indonesia, persiapan dalam menyambut Hari Raya Idul Fitri itu dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan melakukan mudik lebaran atau pulang kampung bagi mereka yang merantau.

Dalam bahasa Jawa, mudik merupakan singkatan dari kata ‘Mulih Diluk’ atau ‘Mulih Disik’ yang mengandung arti pulang ke kampung halaman sebentar. Dalam bahasa Betawi, Mudik merupakan singkatan dari ‘Menuju Udik’ yang memiliki arti pulang kampung.

Mudik lebaran tidak lagi sekadar pulang kampung, melainkan juga sudah jadi prosesi ritual yang melambangkan suatu sikap dan keterikatan hidup manusia atas asal usul, komunitas, dan sejarahnya.

Mudik lebaran sudah menjadi gejala unik dan menarik.

Setelah berpuasa selama sebulan di bulan Ramadhan (Hijriyah), ada hadiah besar untuk setiap orang Muslim.

Lebaran atau Idul Fitri adalah hadiah yang besar dan suci, hari di mana semua orang Muslim saling memaafkan kesalahan-kesalahan satu dengan yang lainnya.

Membelikan pakaian baru untuk anak istri ataupun saudara, membuat banyak makanan dan kue untuk momen Hari Raya, serta pernak-pernik lainnya, termasuk untuk kepentingan mudik ke kampung halaman.

Mudik lebaran berawal dari pemikiran kebersamaan, kekeluargaan, silaturahmi dan solidaritas serta rutinitas ‘‘kewajiban‘‘ yang terbudayakan.

Berkumpul bersama bukan saja saling memaafkan, lebih dari itu, semua juga diperagakan dalam wujud usaha membuat senang para tamu, yang tak lain adalah sanak saudara, teman, kerabat, juga tetangga dekat.

Karena itu, bisa dikatakan bahwa tiada hari yang paling indah pada hari lebaran kecuali merayakannya di kampung halaman.

Diantara romantisme mudik lebaran yang membuat begitu menarik budaya mudik lebaran adalah:

Pertama, mudik lebaran lebih cenderung ada pada ranah peringatan kebudayaan dibanding sebuah perayaan agama. Selain sebagai perayaan hari besar agama, Lebaran juga sebagai perayaan kebudayaan. Selain itu, Lebaran di Indonesia merupakan simbolisasi kebersamaan yang sudah terpatri sebagai satu warisan budaya leluhur negeri. Mudik lebaran selain bermakna religus, juga mengandung semacam “prosesi kultural” yang senantiasa terpatri. Dalam prosesi mudik, seseorang akan mengenali kembali latar belakang sosial-budaya dan asal-muasalnya. Dapat dilihat pada terpeliharanya kekuatan ikatan batin antara pemudik dengan sanak keluarga di kampung. Di dalamnya tersirat suatu kehendak untuk membebaskan diri dari rutinitas kehidupan di kota-kota besar yang begitu rumit, yang kemungkinan menindas dan menderanya.

Kedua, mudik lebaran bukan lagi sekadar tradisi, tapi sudah menjadi nostalgia dan obsesi. Tak jarang orang harus hutang dulu untuk kebutuhan mudik. Tak jarang orang harus menyewa mobil untuk kepentingan mudik. Pendapatan selama bekerja seakan-akan hanya dihabiskan untuk membiayai kepulangan dan berhari raya bersama keluarga. Setelah itu mereka kembali lagi bekerja. Sebuah lingkaran yang perlu diretas agar nasib mereka beranjak dari pemenuhan kebutuhan dasar semata-mata. Mudik adalah aktualisasi diri. Pemudik biasanya cenderung ingin memberitahu kepada keluarga dan tetangga bahwa mereka sukses mengadu nasib di kota. Salah satunya dengan cara pulang dan membawa kendaraan pribadi ataupun simbol yang memperlihatkan kesuksesan mereka.

Ketiga, mudik lebaran adalah cerminan ketaatan pada aturan hukum, karena dengan ketaatan itulah ciri kemanusiaan dan fitrah akan hadir. Mudik yang mencerminkan fitrah kemanusiaan, bukanlah perjalanan ugal-ugalan. Kewajiban membangun kembali persaudaraan yang saat ini sedang dilanda kemerosotan, dapat dipulihkan di hari Idul Fitri. Gerbang kebajikan terbuka sebagai titik kulminasi pencarian jati diri terhadap sifat-sifat kemanusiaan sejati, kemudian dijadikan gerbang menuju kehidupan bermasyarakat yang beretika dan penuh santun.

Keempat, mudik lebaran adalah silaturahmi, dalam mudik lebih diikat oleh konsep spiritualitas dan budaya. Agama dan budaya bergabung menjadi satu, sehingga mudik lebaran adalah menjadi tradisi yang bersifat custom atau adat, bukan hanya sekadar kebiasaan. Tak hanya untuk mempererat tali silaturahmi, bahwa mudik juga berfungsi untuk merekatkan kembali hubungan emosional antar individu. Dalam sosiologi, hal ini penting karena terjalinnya hubungan antar individu dapat mempererat solidaritas. Solidaritas di masyarakat secara umum terbagi menjadi dua yaitu mekanis dan organis. Masyarakat kota itu tergolong bersolidaritas organis. Interaksi yang dibangun dalam keseharian cenderung karena kebutuhan. Sementara itu, masyarakat desa golong bersolidaritas mekanis. Interaksi dari solidaritas ini adalah keseharian yang cenderung kekeluargaan. Namun, saat ini mulai banyak masyarakat kota yang ingin menerapkan konsep kekeluargaan dalam setiap interaksinya. Oleh karenanya, mudik dapat memperkuat konsep tersebut.

Kelima, mudik lebaran adalah perayaan wujud rasa syukur kepada Sang Pencipta, karena telah mampu melewati masa ujian sebulan penuh berpuasa. Mudik lebaran tidak hanya dimaknai sekadar saling memberi maaf, tetapi juga memberikan pesan moral untuk cinta kasih. Lebaran di kampung harus memancarkan cinta kasih (mahabbah) sebagai landasan pemuliaan kemanusiaan. Cinta kasih dalam bingkai Aqidah Islam yang juga merupakan dasar pengembangan tradisi mudik Lebaran, paling tidak akan lebih memperkuat persaudaraan antarmanusia.

Mudik lebaran adalah ‘pulang’, dan pulang adalah cara manusia untuk menemukan jati diri.

Ada pijar-pijar nostalgia, binar-binar kerinduan, dan gebyar hasrat temu kangen dengan ayah ibu, keluarga, dan kerabat di kampung halaman.

Mereka akan saling lepas rindu, bersilaturahmi, dan berlebaran di kampung halaman tercinta.

Pengucapan selamat hari raya mohon maaf lahir dan batin, yang biasanya diiringi kata minal minal aidin wal faizin.

Kata keramat ini berhamburan memenuhi udara. Ia meluncur begitu saja, tanpa kita bisa mengurai makna yang paling dalam dari kata ini. Kata majemuk ini hadir untuk melengkapi pertemuan di hari kemenangan.

Sekali lagi, mudik lebaran itu tak melulu fisik dan lahiriah, tetapi batin, mungkin tak arif memisahkan keduanya.

Selamat hari raya Idul Fitri 1444 H

Minal minal aidin wal faizin, mohon maaf lahir dan batin

***

Eko Supriatno, penulis adalah Intelektual Entrepreneur, Penulis, dan Dosen.

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button