InspirasiOpini

Voila, Sudahkah Negara (Hukum) Indonesia Membahagiakan Rakyatnya?

(Membaca Fenomena Seruan Kampus melalui Kacamata Prof Tjip)

biem.coSekira sembilan belas (19) tahun silam, Satjipto Rahardjo, seorang begawan hukum dari kampus Universitas Diponegoro (Undip) Semarang menuliskan kegelisahannya dalam memotret identitas negara hukum Indonesia yang telah berusia enam puluh (60) tahun, saat itu. Beliau memulai tulisan dengan melihat terlebih dahulu landasan konstitusi mengenai negara hukum (rechtsstaat). Tulisan ini terinspirasi dari buku beliau bertajuk “Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya”. Bagi mahasiswa hukum maupun alumni Undip pastinya tidak asing dengan tradisi mendiskusikan pemikiran Prof Tjip, panggilan kesayangan untuk Guru kami, bahkan menjadi gerakan intelektual dalam membedah, mendiskusikan untuk mencari jawaban persoalan kontekstual kekinian, membumikan pemikiran beliau oleh para murid dengan sebutan ‘Kaum Tjipian’.

Prof Tjip membaca Undang-Undang Dasar Negara Indonesia pada Amandemen Keempat sebagai keinginan bangsa Indonesia untuk lebih mempertegas identitas negaranya sebagai suatu negara hukum. Prof Tjip melihat hal ini tidak statis, justru memiliki dinamika. Dalam kacamata beliau, negara hukum merupakan antitesa dari tipe negara yang memerintah berdasarkan kemauan sang penguasa belaka, konsekuensinya semua harus tunduk kepada hukum, termasuk penguasa. Namun tipe negara hukum formil (formele rechtsstaat) ini kemudian lebih mengutamakan bentuk daripada isi, tidak memedulikan kandungan moral, penguasa justru menjadi bebas menentukan dan mengikuti politik yang dibuatnya. Lebih tegas Prof Tjip menyatakan, legalitas (hanya) menjadi prinsip dasar tidak perlu memperhatikan legitimasi.

Prof Tjip menggunakan istilah ‘negara hukum yang Indonesia’ untuk menegaskan pentingnya menyadari, negara hukum Indonesia tidak hanya sebuah merek, melainkan benar-benar dimaknai sebagai berproses menjadi Indonesia. Beliau membuat konstruksi negara hukum Republik Indonesia adalah suatu negara dengan nurani atau negara yang memiliki kepedulian (a state with conscience and compassion). Negara hukum Indonesia bukan negara yang hanya berhenti pada tugasnya menyelenggarakan berbagai fungsi publik, bukan negara “by job description”, melainkan negara yang ingin mewujudkan moral yang terkandung di dalamnya. Negara hukum Indonesia lebih merupakan negara “by moral design”.

Lewat pemikiran beliau ini dapat kita pahami bahwa tugas negara yang diamanatkan pada pemerintah, tidak hanya menyelenggarakan Pemilihan Presiden (Pilpres) belaka, yang mana merupakan salah satu job description yang kelak berujung pada terpilihan Presiden dan Wakil Presiden, melainkan moral design lebih tingginya adalah memberikan ruang bagi seluruh rakyat untuk mengekspresikan hak demokratisnya untuk memilih sendiri pemimpin yang dipercaya yang kelak dapat mewujudkan kesejahteraan sosial, membahagiakan rakyatnya sebagai pemberi mandat.

Dalam negara hukum Indonesia, Prof Tjip juga mengajukan sebuah paradigma “hukum untuk manusia” agar cara kita bernegara hukum didorong untuk tidak linier, melainkan progresif dan bermakna, demi mencapai tujuan kemanusiaan lebih tinggi, yaitu menjadikan negara hukum sebagai rumah yang membahagiakan bagi seluruh rakyat. Selain itu juga, Prof Tjip mengajukan konsep negara organik untuk memberi dasar teori agar seluruh komponen bangsa, khususnya pemangku jabatan publik, bergerak sebagai kesatuan, sebuah “Indonesia incorporated”, yang membahagiakan rakyatnya.

Mengamati fenomena ‘seru-seruan’ dari berbagai kampus seperti UI, UGM, UII, UMY, Untirta, Undip dan kampus lain yang terus mengikuti di kemudian hari, membuat kehidupan Indonesia, terutama di dunia maya menjadi hidup lebih seru!. Seruan yang digaungkan oleh Sivitas Akademika mulai dari Guru Besar, dosen, mahasiswa bahkan alumni berbagai kampus menjadi sebuah fenomena seru tersendiri dalam dinamika bernegara menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) yang akan dilangsungkan hanya dalam hitungan hari ke depan. Genderang demokrasi kembali bertalu dari lorong-lorong kampus yang dingin ditinggal mahasiswa yang tengah liburan panjang semester, membangunkan para agent of change yang boleh jadi sebagian besar terlena dalam pelukan hangat bunda di kampung halaman masing-masing, untuk bertarung di garis terdepan.

Melihat keprihatinan iklim demokrasi di Indonesia menjelang Pemilu, kampus Universitas Indonesia (UI), bahkan menurunkan para Dewan Guru Besarnya, lengkap dengan toga kebesaran khas kampus UI, menyampaikan Seruan Kebangsaan Guru Besar UI, pada tanggal 2 Februari 2024. Prof Dr Harkristuti Harkrisnowo, SH., MA, selaku Ketua Dewan Guru Besar UI mengawali seruan kampus perjuangan, kampus UI yang harus menjadi mata air berupa pengetahuan bermanfaat bagi masyarakat yang bukan hanya untuk kelompok elitis saja. Munculnya seruan UI dikarenakan melihat berbagai keprihatinan demokrasi yang terkoyak selama lima tahun terakhir terutama menjelang Pemilu 2024, menggambarkan negeri ini kehilangan kemudi akibat kecurangan dalam perebutan kuasa, nihil etika, menggerus keluhuran budaya serta kesejatian moral budaya. UI juga menilai keprihatinan atas hancurnya tatanan hukum dan demokrasi, hilangnya etika bernegara dan bermasyarakat. Diakhir Seruan UI, Prof Harkristuti mengajak kita semua untuk menjaga demokrasi dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai dan banggakan

Seruan yang disampaikan Prof Harkristuti ini mengingatkan Penulis akan sebuah lagu berjudul ‘Voila’ yang dinyanyikan oleh seorang gadis berumur lima belas tahun bernama Emma Kok dengan iringan Orkestra pimpinan Andre Rieu. Ditengah perjuangannya dalam menghadapi penyakit langka yang dideritanya, gadis ini penuh penghayatan dan semangat bergelora jiwa muda menyanyikan lagu dengan lirik berbahasa Perancis, bangsa yang kita kenal dengan sejarah pencerahannya, menentang kekuasaan absolut dinasti kerajaan menuju cita demokrasi.  Emma Kok dihadapan ribuan orang menyampaikan awarness lewat lagu dengan gemilang melantunkan:

Voilà, voilà, voilà, voilà qui je suis
Me voilà dans le bruit et dans la fureur aussi
Regardez moi enfin et mes yeux et mes mains
Tout c’que j’ai est ici, c’est ma gueule c’est mon cri
Me voilà, me voilà, me voilà

Kurang lebih artinya;
Inilah, inilah, inilah, inilah Aku sesungguhnya,
Di sinilah Aku dengan suara dan juga kemarahanku
Lihatlah Aku akhirnya dan mataku serta tanganku
Yang kumiliki hanyalah di sini, ini wajahku, ini tangisku
Inilah aku, inilah aku, inilah aku

Inilah kami kaum terpelajar yang akhirnya bersuara sebagai bentuk rasa cinta, perwakilan kekecewaan dan tangisan rakyat, berdiri dengan pandangan berurai air mata, tangan mengepal ke udara memberikan peringatan agar pemerintah untuk mendengarkan, memperhatikan, melakukan perbaikan atas kekacauan yang merusak cita demokrasi.

Kampus lain menyampaikan seruan diantaranya terpicu oleh praktek pelolosan salah satu kontestan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 dengan dalih melalui jalur konstitusional, yang jauh hari telah diprediksi oleh Prof Tjip sebagai kelemahan tipe negara hukum formil (formele rechtsstaat), lebih menekankan legalitas tanpa memperhatikan legitimasi, mengindahkan moral, dan bahayanya penguasa justru menjadi bebas menentukan dan mengikuti politik yang dibuatnya.

Presiden Joko Widodo (Jokowi), dinilai oleh sebagian politisi, tokoh masyarakat berupaya untuk melanggengkan kekuasaannya, mempertahankan dinasti keluarga melalui jalur-jalur konstitusional, terkesan tidak ada pelanggaran hukum. Sementara di sisi lain, Hakim Mahkamah Konstitusi dan Ketua Komisi Pemilihan Umum dikenai sanksi etik, terkait pelolosan putra Presiden dalam proses pencalonan. Masyarakat lain menilai, upaya Jokowi mempertahankan dinastinya adalah upaya penyelamatan keuangan negara, terutama dalam hal proyek-proyek nasional seperti pemindahan pusat pemerintahan menuju Ibu Kota Negara (IKN) dan food estate. Sepertinya Jokowi menilai diantara para calon Presiden dinilai tidak memiliki visi dan misi yang konkrit dalam melanjutkan proyek-proyek nasional tersebut, sehingga melakukan manuver politik yang menimbulkan respon yang beberapa hari ini kemudian terlihat, melalui seruan kampus.

Pemerintah harus mendengarkan seruan-seruan tersebut sebagai sebuah peringatan sebelum menjadi perlawanan, sebagaimana Wiji Thukul tuliskan dalam (potongan) sajaknya;

Bila rakyat tidak berani mengeluh
itu artinya sudah gawat
dan bila omongan penguasa
tidak boleh dibantah
kebenaran pasti terancam.

apabila usul ditolak tanpa ditimbang
suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
dituduh subversif dan mengganggu keamanan
maka hanya ada satu kata: lawan!

Fenomena lain muncul ke permukaan, di berbagai media sosial (medsos) beredar potongan video Mahfud MD, selaku salah satu kontestan Pilpres, membeberkan adanya intervensi terhadap kampus-kampus yang belum mengeluarkan seruan dan kritik, selain seruan kampus yang mengingatkan pemerintahan Jokowi untuk bersikap netral, kembali ke jalur demokrasi seharusnya, menjaga kedaulatan negara berdasarkan Pancasila. Di sisi lain, rupanya ada pihak-pihak tertentu yang mencoba intervensi kampus untuk memberikan seruan damai dan terkesan mendukung pemerintahan Jokowi. Sebagian masyarakat merespon geram, namun ada pula yang berpendapat seharusnya Mahfud MD tidak perlu mengungkapkan hal tersebut, mengingat beliau salah satu kontestan, dinilai kurang elok, terkesan sebagai negative campaign, sekalipun dalam praktek berdemokrasi hal ini tidak dipersoalkan, sepanjang pihak yang merasa dirugikan memiliki hak jawab untuk upaya counter issue.

Menarik untuk diperhatikan berbagai seruan dan peringatan dari kampus, memiliki kesamaan metafora, penggunakan diksi ‘air’ seperti Petisi Bulaksumur UGM yang mengingatkan Joko Widodo selaku Presiden sekaligus alumni UGM dengan mengutip Bung Karno ‘Gadjah Mada adalah mata airmu, Gadjah Mada adalah sumber airmu’, demikian juga kampus UI yang harus menjadi ‘mata air’, sementara Untirta menggunakan diksi ‘menara air’, filosofi air yang demikian luhur posisinya dalam keseharian, kebudayaan dan ritual keagamaan, digunakan beberapa kampus untuk memberikan seruan, peringatan kepada Pemerintahan Joko Widodo dalam mengelola negara dan merawat demokrasi.

Mengutip Fletcher, Prof Tjip mengambil contoh bernegara hukum ala Jepang, dalam Bahasa Jepang untuk hukum adalah ho yang berarti tapak yang berarti tapak (path), namun secara misterius ho juga berhubungan dengan air, ditafsirkan hukum memiliki makna jalan air, arus yang mengalir, suatu jalan yang dilalui bersama-sama oleh para anggota masyarakat dalam suasana harmonis. Inikah yang dimaksud oleh beberapa kampus yang menyerukan dan mengingatkan pemerintah dengan pemilihan diksi air? Agar pemerintah bersama rakyat, di dalamnya ada kalangan akademisi, teknokrat, pekerja, petani, pedagang, nelayan dan seluruh komponen untuk mengalir tenang bersama-sama dalam harmoni. Namun jika terbendung, dapat berubah menjadi air bah yang membawa wabah sosial.

Prof Tjip dalam bukunya yang lain mengajak kita untuk melakukan kontemplasi, refleksi dan menghimbau, biarkan hukum mengalir layaknya air, bergerak secara alamiahnya dalam perubahan sosial, menyadari bahwa hukum itu bukan hanya tatanan determinatif yang sengaja dibikin (rule making) tetapi dalam kehidupannya hukum mengalami benturan, kelokan dan terantuk-antuk, sehingga untuk mencapai tujuannya yang tertinggi perlu dilakukan terobosan-terobosan (rule breaking). Hakikatnya hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum, maka negara hakikatnya untuk rakyat, bukan sebaliknya. Memberikan penghidupan, kesejukan, kesejahteraan dalam berkehidupan bernegara, sehingga rakyat berbahagia di dalam negara (hukum) Indonesia.

Selain dari Negera Jepang, Kita pun dapat belajar hukum adat, hukum asli Indonesia, sebagaimana diketahui bahwa hukum tidak hanya berisi aturan tertulis dalam Undang-undang maupun Peraturan yang bersifat kaku, namun juga terdapat hukum tidak tertulis yang lebih fleksible, dinamis, sebagaimana telah dihidupkan oleh masyarakat hukum adat, diantara Masyarakat Adat Baduy yang memiliki nilai-nilai luhur dalam berhukum di wilayah ulayatnya. Terdapat petuah-petuah leluhur yang telah penulis teliti terkait dengan bagaimana cara Masyarakat Adat Baduy dalam berkehidupan (bernegara) hukum (adat) ala Baduy.

Nerapkeun hukum ulah kancra kancas
Ulah cuweut kanu hideung
Ulah monteng kanu koneng
Ulah ngilik kanu putih

Mun hukum kancra kancas
Matak romed carewed
Pasini euwueh sisian
Pasea euweuh hadean

Hukum aya kalana perlu ditegaskeun
Hukum aya kalana perlu ditindakeun
Hukum aya kalana perlu dibijaksanakeun

Petuah-petuah tersebut memiliki nilai luhur yang dapat diartikan secara sederhana memiliki makna bahwa dalam menerapkan hukum tidak boleh tebang pilih, tidak boleh memihak kepada warna (pihak) tertentu, hukum adat Baduy memberikan penjelas jika hal tersebut tidak diindahkan akan kacau balau, berselisih tanpa henti (Pasini euwueh sisian), berkonflik tanpa ada faedah (Pasea euweuh hadean). Dalam hal penerapannya hukum adat Baduy memberikan rambu-rambu bahwa hukum ada kalanya wajib untuk dipertegas, dilakukan penindakan (terhadap pelanggar), tetapi lebih tinggi dari itu hukum perlu untuk diterapkan secara bijaksana.

Indonesia Negara Hukum

Wassalamualaikum

Kampus Sindangsari, 7 Februari 2024

Aliyth Prakarsa, penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Untirta Serang Banten
Penerima Beasiswa Pendidikan Indonesia di Program Doktor Hukum Undip 2022.

Editor: admin

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button