Fikri HabibiKolom

Kolom Fikri Habibi: Kotak Hitam dan Kambing Hitam

 

biem.co – Masih ingat tragedi pesawat Air Asia QZ 8501? Sekadar mengenang, pesawat Air Asia sedang dalam perjalanan terbangnya dari Surabaya menuju Singapura, jatuh di Selat Karimata. Di dalam pesawat tersebut terdapat 156 penumpang dan 7 awak, dipastikan semuanya meninggal. Ada korban yang sudah ditemukan dan teridentifikasi, sisanya wallahu’alam.

 

Saat itu, pemberitaan pesawat Air Asia QZ 8501 menjadi berita utama hampir di semua media—cetak, elektronik, online, dan lainnya. Tidak hanya di dalam negeri, pemberitaan tersebut juga mendapatkan perhatian yang luar biasa di luar negeri. Tidak hanya karena jumlah korban tetapi tragedi tersebut menjadi kecelakaan pesawat yang kesekian kalinya di Indonesia. Lagi, wajah buruk keamanan penerbangan di Indonesia kembali menjadi sorotan.

 

Polemik bermunculan. Sangat mengejutkan, saat itu tiba-tiba ada pernyataan bahwa penerbangan Air Asia QZ 8501 tidak mempunyai izin alias ilegal. Pilotnya tidak ikut briefing cuaca sehingga dinilai “lalai” membaca cuaca, masalah ATC, mesin pesawat, awan cumolonimbus dan lainnya, dicari sebagai penyebab. Kesalahan manusiakah atau disebabkan oleh faktor–faktor teknis lainnya? Sebagai pihak yang paling tersudutkan, pilot pun tidak tinggal diam. Sardjono, pilot senior melakukan klarifikasi melalui surat terbuka, bahkan ada serangan balik termasuk kepada pemerintah. Hal yang sama juga dilakukan oleh pihak-pihak yang merasa dirinya dipersalahkan, ramai-ramai melakukan pembelaan. Saling serang di tengah pencarian korban seharusnya menjadi keadaan yang tidak wajar, tetapi menjadi wajar pada akhirnya.

 

Situasi lain, TNI, Basarnas dan masyarakat sedang berupaya keras mencari dan menemukan kotak hitam di dasar laut.  Kotak yang berwarna oranye itu merupakan pintu masuk untuk mencari apa yang sebenarnya terjadi atas tragedi tersebut. Sebelum kotak hitam ditemukan dan dianalisis, semuanya belum komprehensif dan masih spekulatif meskipun beberapa persoalan mampu di rekonstruksi. Dibutuhkan waktu berbulan-bulan untuk melakukan analisis terhadap transkrip kotak hitam hingga rampung, kita tunggu hasilnya. Kegagahan TNI yang berhasil menemukan kotak hitam dengan  menyelam dalam arus yang deras mendapatkan pujian. Kerja keras TNI dan Basarnas di dasar laut seolah tidak mempedulikan apa yang terjadi di darat. Tugasnya, mencari kotak hitam, dan sukses mendapatkannya di dasar laut.

 

Sementara di darat masih sibuk dengan urusan kambing hitam. Mencari siapa kambing hitam gampang-gampang susah, tinggal tunjuk hidung. Jika pihak yang disudutkan memiliki kekuatan politik yang lemah, maka mudah untuk menjadikannya kambing hitam. Tetapi, bila sama-sama kuat, akan sulit menemukannya bahkan terus saling serang hingga hilang dengan sendirinya. Masalahnya siapa yang mau jadi kambing hitam, tidak ada yang mau salah apalagi disalah-salahkan. Berbeda situasinya kalau jadi pahlawan, banyak orang menginginkannya. Merasa paling berjasa, paling tegas, paling eksis dan ujungnya paling-paling mencari pujian untuk pencitraan. Membela diri sekaligus menyalahkan pihak lain secara terbuka menjadi jurus pamungkas yang bisa dilakukan. Jikapun terdapat salah satu pihak yang harus bertanggung jawab, dia tidak akan mau menanggungnya sendirian. Padahal kita semua menyadari bahwa tragedi ini menimbulkan dampak dan kerugian yang sangat besar. Korban, keluarga korban, materil, psikologis, dan citra penerbangan kita yang sangat buruk. Kita tidak membutuhkan pertengkaran.

 

Mungkin ada baiknya juga saling buka-bukaan kesalahan, setidaknya kita mengerti apa yang menjadi  letak kesalahan, kekurangan dan mismanajemen transportasi udara kita. Masyarakat perlahan mendapatkan gambaran yang semakin membuktikan tentang carut-marut penerbangan negara kita.

 

Semuanya harus terungkap dengan jelas, yang salah harus bertanggung jawab sekecil apapun kesalahannya, lakukan evaluasi yang komprehensif. Hanya saja, tidak semua pihak menyukai evaluasi dan akan menghadapi berbagai macam kendala, baik yang bersifat psikologis maupun politis. Terutama jika evaluasi dilakukan pada program, kebijakan atau apapun yang mengalami kegagalan. Padahal, evaluasi dimaksudkan untuk mencari sebab, bukan diniatkan untuk menuduh atau menyalahkan pihak lain, sekalipun dalam pelaksanaannya dimungkinkan juga terjadi demikian.

 

ACT atau ARSIP

Setelah kita mendapatkan kesimpulan, menemukan kekurangan, dan membuat rekomendasi atas permasalahan tersebut maka pekerjaan selanjutnya adalah, act. Begitulah Edwards Deming memberikan sebuah siklus/metode pengendalian kualitas dengan nama PDCA, "Plan, Do, Check, Act".

 

Act adalah tindak lanjut dari hasil evaluasi yang sudah dirumuskan. Tujuannya tidak lain yaitu melakukan upaya-upaya perbaikan sehingga kita tidak melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari. Semua pihak harus melaksanakannya secara konsisten agar penerbangan di Indonesia menjadi baik, aman dan zero accident. Namun seringkali kita mengabaikannya dan tidak melakukan apa yang sudah menjadi catatan-catatan koreksi. Lambat laun kita tidak lagi mendengar perdebatan soal boleh tidaknya self briefing cuaca yang dilakukan oleh para pilot atau soal-soal lainnya yang dulu menjadi polemik. Ke mana hasilnya, apa saja yang sudah dilakukan, dan apa kemajuan yang telah dicapai. Perlu dibuka agar masyarakat mengetahuinya sehingga kenyamanan dan keamanan ketika menggunakan trasnoprtasi udara dapat diwujudkan. Jangan-jangan semuanya hanya menjadi dokumen yang disimpan di dalam lemari arsip. Tidak adakah perubahan atau kemajuan sebagai hasil dari apa yang kita ributkan sebelumnya?

 

Jika demikian, kita tinggal menunggu kecelakaan pesawat selanjutnya lalu membuka kembali dokumen, file dan arsip lama. Kejadian yang sama akan terulang, bertengkar, saling menyalahkan dan berupaya menjadikan pihak lain sebagai kambing hitam. Kita semua tidak ada yang menginginkan kondisi demikian.

 

Baik kotak hitam maupun kambing hitam mengingatkan semua bahwa menyelesaikan permasalahan bukan dengan cara buru-buru mencari pihak yang harus disalahkan. Akan tetapi berdasarkan informasi yang benar dan valid agar keputusan yang dibuat memiliki kualitas yang baik. Tragedi Air Asia adalah pembelajaran yang berharga, ada buku TNI dan Air Asia QZ 8501, dan pembangunan monumen keselamatan penerbangan. Semua dibuat bukan untuk mengenang kejadiannya saja, lebih dari itu mengingatkan kita semua untuk mencegah tragedi serupa melalui tindakan perbaikan.

 

Soal rekomendasi yang menjadi arsip, seringkali terjadi pada berbagai aspek terutama di dalam organisasi. Semua menguap begitu saja dan kembali berjalan seperti semula tanpa ada perbaikan. Ada situasi yang lebih parah yaitu lompatan dalam siklus Deming dari perencanaan langsung menjadi arsip. 


Fikri Habibi, pengajar di Universitas Serang Raya (Unsera).

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button