biem.co – Antara politik, kekuasaan, dan jamban yang menjadi judul tulisan ini, tampaknya hanya politik dan kekuasaan yang memiliki keterkaitan baik secara teori maupun praksis. Jamban sama sekali tidak dikenal dalam terminologi ilmu politik, karena jamban/WC biasa kita kenal sebagai tempat pembuangan—maaf—kotoran manusia. Tetapi saya mencoba memaksakan agar ketiga hal tersebut mempunyai keterkaitan. Ya, meskipun tidak ada teorinya.
Apa jawaban kita ketika ditanya apa itu politik? Mungkin saja, kita secara spontan akan menjawab bahwa politik adalah kekuasaan, suap atau politik adalah sesuatu yang kejam seperti lagu Iwan Fals. Atau bisa juga makna politik seperti seloroh orang Sunda, yaitu poho kanu leutik (lupa pada yang “kecil”). Spontanitas jawaban tersebut merupakan image yang melekat dalam pikiran manusia tentang politik. Mengapa? Karena politik (khususnya di Indonesia) hanya dihiasi dengan pertempuran kekuasaan, saling sikut, saling bunuh, dan tentu saja korupsi. Politik kita adalah politik yang berdarah-darah dan perang. Asumsi tersebut sejalan dengan pendapat seorang Jerman, Jenderal Clausewitz dalam On War yang menyatakan bahwa war is the continuation of politics. Politik kotor inilah kemudian yang terinternalisasi dalam pikiran masyarakat kita, sehingga wajar saja jika politik menjadi bahan caci-maki.
Apakah politik seperti asumsi di atas? Jawabannya bisa ya atau tidak. Ya, karena realitas politik menunjukkan hal itu. Tetapi bisa juga tidak, karena politik tidak melulu bicara perebutan kekuasaan, perang, dan yang kotor-kotor. Harold Lasswell mendefinisikan politik sebagai who gets what, when and how. Definisi tersebut tidak bicara kekuasaan, tetapi apa yang didapatkan oleh seseorang. Pertanyaan “apa yang didapatkan” inilah yang kemudian diinterpretasikan lebih lanjut, bisa sebagai power, uang, kedudukan, popularitas, atau dalam bahasa yang lebih halus, Soccrates menyebutnya sebagai kebaikan bersama yang berdimensi positif seperti keadilan, kebenaran, dan lain-lain. How dalam definisi politik menunjukkan perlunya sebuah strategi untuk mencapai tujuan bersama. Sehingga jika ada pelajar yang punya tujuan lulus UN, maka dia sedang berpolitik. Hanya caranya (how) yang berbeda: belajar dengan tekun, ikut bimbel, atau mungkin menggunakan joki, membeli lembar jawaban, atau menyuap. Tahapan strategi inilah yang membuat dan menentukan politik dapat menjadi bersih atau menjadi kotor.
Salah satu tujuan politik adalah mendapatkan kekuasaan. Kekuasaan memberikan (hampir) semua yang diinginkan oleh manusia baik materi, status sosial, pengaruh, ataupun rupa-rupa kesenangan dunia. Ketika mempunyai kekuasaan, hidup seolah berada di puncak Everest dan semua terlihat kecil dan mudah. Bagaimana tidak enak, pergi selalu dikawal, terhindar dari kemacetan, bisa menerobos lampu merah, bahkan ketika salat di masjid selalu mendapat shaf paling depan meskipun tidak datang paling awal. Kekuasaan itu memabukan seperti ungkapan Al-Ghazali. Kekuasaan begitu menyenangkan sehingga orang larut di dalam pesta pora sampai mabuk dan tak sadarkan diri. Jika sudah demikian, orang hanya akan berpikir bagaimana kekuasaan ini dapat dinikmati selama-lamanya dan tidak sampai jatuh atau direbut oleh orang lain, bagaimanapun caranya!
Masih tentang kekuasaan, kali ini mengutip pendapat Lord Acton, seorang guru besar sejarah modern di Universitas Cambridge, Inggris, yang hidup pada abad ke-19. Adagiumnya yang terkenal yaitu: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”. Kira-kira artinya kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang absolut cenderung korup secara absolut. Siapa pun yang berkuasa maka dia mempunyai peluang yang sangat besar untuk menggunakan keuasaannya secara salah. Kekuasaan dan korupsi (penyimpangan) merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Adagium Lord Action rupanya mendapat fakta pembenaran, sebab di Indonesia banyak yang berkuasa dan terlibat kasus korupsi. Anggota legislatif, hakim, polisi, jaksa, pengacara, gubernur, bupati, wali kota, camat, lurah, kepala desa, serta pejabat-pejabat kelas low manager, telah banyak yang dipenjara gara-gara korupsi. Bahkan kampus sebagai kawah candradimuka-nya calon pemimpin, juga terindikasi korupsi.
Ada baiknya kita menyimak kegelisahan Imam Al-Ghazali terhadap penyimpangan penguasa Buwyhids. Beliau berpesan: Sesungguhnya, kerusakan rakyat disebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan, dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allahlah tempat meminta segala hal. Ulama mempunyai kekuasaan untuk memberikan perubahan melalui ilmu-ilmu agama yang disampaikan sehingga mampu memengaruhi masyarakat. Tetapi saya sendiri miris jika melihat ulama/ustaz atau apa pun namanya, gemar tampil di acara gosip, menjadi bintang iklan, atau memamerkan mobil mewahnya dengan nomor polisi yang menyerupai nama si ustaz.
Politik dan kekuasaan menjadi sumber umpatan dan menjadi tempat yang sangat kotor di muka bumi ini. Anehnya, meskipun begitu, magnet politik dan kekuasaan selalu kuat hingga orang-orang berbondong-bondong berkompetisi untuk mendapatkan kekuasaan, bahkan diiklankan. Kaum muda yang dulunya “macan jalanan” dan sering mengutuk kekuasaan yang korup, berubah menjadi pelaku korupsi begitu berada di dalamnya. Di sinilah kiranya, antara politik dan kekuasaan mendapatkan keterkaitannya dengan jamban. Politik dan kekuasaan ibarat jamban kotor; dari luar kita akan merasa jijik hingga kita enggan untuk memasukinya. Tetapi, begitu kita masuk, memang semula terasa bau dan menjijikkan tetapi lama-kelamaan kita akan terbiasa dengan bau dan kotoran itu. Bahkan kita merasa nyaman berada di dalamnya dan yang lebih parah lagi kita menjadi bagian yang mengotori jamban itu. Politik, kekuasaan, dan jamban menjadi tempat yang sangat kotor tetapi banyak digemari dan dicari. [*]