InspirasiOpini

Esai Niduparas Erlang: Tertawa

 

biem.co – Beberapa tahun lalu, sebagai seorang remaja, saya menaksir seorang perempuan. Biasa saja, tentu. Namun, sialnya, perempuan yang saya gandrungi itu tidak menyukai saya. Ini juga biasa saja, tentu. Yang ganjil adalah bahwa perempuan itu tidak menyukai saya lantaran saya sering tertawa. Nah, mungkin di sini mulai tak biasa. Katanya, yang sering tertawa itu antagonis, penjahat, semacam iblis. Padahal, kala itu rasanya saya telah menempatkan “tertawa” itu pada situasi dan kondisi yang memang mendukung untuk tertawa. Ada hal yang jenaka, tak lazim, satir, ironi, yang memicu saya untuk tertawa. Dan entah mengapa, sampai hari ini, kadang-kadang saya memikirkan soal tertawa itu—walaupun tidak lagi memikirkan perempuan yang saya gandrungi dulu itu sebab perjalanan hidup telah banyak berubah. Akan tetapi, naga-naganya “tertawa” itu sendiri tak pernah berubah.

 

Dalam banyak kesempatan, misalnya, kita kerap menemukan frasa “tertawa itu sehat”, atau “tertawa itu universal”. Dalam ungkapan “tertawa itu sehat” secara tidak langsung tersirat bahwa “tertawa itu juga tidak-sehat” sekaligus “tertawa itu tidak selalu tidak-sehat; dan dalam ungkapan “tertawa itu universal” tersirat hal serupa bahwa “tertawa itu tidak selalu universal” sekaligus  “tertawa itu tidak selalu tidak-universal”.

 

Barangkali, melalui ungkapan “tertawa itu sehat” kita percaya bahwa dengan tertawa, kita dapat menghindarkan diri dari stres pekerjaan yang menumpuk atau kemelut masalah yang berlarut-larut. Namun, dapat kita bayangkan, bagaimana jadinya jika selama 24 jam penuh kita tak mampu berhenti tertawa, terus-menerus tertawa. Agaknya bukan lagi “sehat” yang bakal didapat, melainkan kelelahan, kejemuan, kejengkelan, yang luar biasa penat. Sementara melalui ungkapan “tertawa itu universal”, barangkali kita percaya bahwa tertawa dapat memupus batas-batas strata sosial, politik, ekonomi, kebudayaan. Dalam tertawa yang terakhir ini kita semua sama, tak peduli apakah seorang presiden, kiai, pengusaha sukses, politikus, hakim agung, anak jembel, atau penganggur berijazah. Namun, tidak segala hal dapat memicu tawa bagi orang yang berlainan, yang berbeda sudut pandang. Maka, “tertawa itu tidak selalu universal”; bukankah sesuatu yang memicu kita tertawa belum tentu dapat meninggalkan efek yang sama pada orang lain?

 

Saya bercuriga, jangan-jangan perempuan yang saya gandrungi dulu itu terlampau berkhidmat kepada epos Mahabarata. Kita tahu, bahwa dalam epos itu, tokoh Supala kerap menertawakan Krishna secara jumawa, lepas kendali, dan berulang kali di hadapan khalayak. Dan akibatnya, Krishna yang merasa dilecehkan itu memelintir kepala Supala hingga tewas. Aih, mungkin itulah salah satu efek tak terduga dari suatu laku tertawa yang berujung pada kematian si penertawa. Selain itu, masih dalam epos yang sama, kita tahu bahwa pihak yang paling banyak dan paling sering tertawa terbahak-bahak adalah kaum Kurawa, raksasa, dedemit. Sementara para Pandawa, ksatria, dewa, lebih banyak bersikap mengendalikan diri agar tidak terlalu banyak tertawa—tampak cool kata anak muda.

 

Dan konon, Tuhan pun tidak begitu menyukai manusia yang tertawa tergelak-gelak. Maka, ditegurnya Sarah, istri Ibrahim, yang tertawa terpingkal-pingkal ketika menerima wahyu bahwa Sarah akan hamil sementara ia telah tua dan berhenti menstruasi. Dalam hal ini, mungkin, tertawanya seorang Sarah dimaknai sebagai “celaan” atas ketidakmungkinan—sekalipun kita tahu bahwa tak ada yang tak mungkin bagi Tuhan. Padahal, menurut Milan Kundera, ketika mendapati manusia tengah berpikir, Tuhan malah tertawa. Entahlah.

 

Selain itu, dari jajaran para filsuf, konon, seorang Plato cenderung memandang tertawa sebagai sesuatu yang buruk, destruktif, merendahkan, merusak seni, agama, moral, dan budaya. Bagi Plato, tertawa hanya pantas bagi orang-orang biadab, dan sudah sepatutnya dihindari orang-orang beradab. Padahal kita tahu bahwa Socrates, guru Plato itu, salah seorang yang gemar tertawa. Sementara Aristoteles, murid Plato, memiliki pendapat yang tak jauh dari gurunya, bahwa sumber tertawa itu berada di antara yang keliru, yang buruk, dan yang cacat. Kemudian Rene Descartes pun latah, dan memandang bahwa di balik tertawa itu tersimpan unsur kebencian dan kejahatan yang teramat keji. Aih, betapa para filsuf awal itu ternyata tak gemar tertawa. Adakah durja mereka lebih sering tertekuk-berkerut?

 

Di sisi lain, Sigmund Freud menganggap bahwa tertawa adalah gejala sosial dan kejiwaan yang dapat dinikmati dan dimiliki bersama. Katanya, dalam tertawa itu mengandung kebersamaan untuk melepaskan agresi sekaligus dalam upaya melepaskan segresi.

 

Nah, sampai di sini, saya jadi berkerut kening. Sembari terus saja menduga-duga, bercuriga, jangan-jangan para filsuf awal dan tokoh psikoanalisis itu serupa para buta yang hanya mengenali seekor gajah dari sepotong ekor, secuil telinga, atau sebentuk kaki belaka; tanpa pernah mampu memandang keseluruh-utuh-penuhan gajah itu—keseluruhan tertawa itu. Namun, lamat-lamat saya teringat Caligula dalam suatu jamuan makan besar. Dalam suasana makan bersama itu, secara mendadak Caligula tertawa terbahak-bahak. Tentu saja para tamu itu bengong-melompong, dan ketika mereka bertanya mengapa Caligula tiba-tiba tertawa begitu rupa, ia menjawab: “Saya tertawa karena dalam sekejap saya bisa memberi perintah agar kepala kalian semua dipenggal!”.

 

Dan dari pada membayangkan pemenggalan kepala itu, rasanya lebih baik saya membaca puisi “Tawamu” gubahan Palbo Neruda saja. Dan, kepada perempuan dari masa lampau itu, saya ingin mengutip bagian ini, sebab diam-diam ternyata saya menyukai caranya tertawa.

 

…. //Tertawa sepanjang malam,/ sepanjang siang, sepanjang purnama,/ tertawa sepanjang kelokan/ jalan-jalan di pulau ini,/ menertawakan kecanggungan/ bocah lelaki yang mencintaimu,/ namun ketika kubuka/ dan kupejam mataku,/ ketika langkahku pergi,/ ketika langkahku kembali,/ cegahlah aku mendapat roti, udara,/ cahaya, musim semi,/ namun jangan pernah ambil tawamu/ atau aku akan mati.

 

Begitulah. Dan perihal “tertawa” ini, tawaku, tawamu, tawa kalian, barangkali tak perlu kita tempatkan dalam posisi yang bertentangan dengan “tangis” atau “menangis”. Sekalipun keduanya memang boleh saja beroposisi secara tegang. Misalnya, tertawa dapat menjadi simbol atas kesenangan, kegembiraan, sumringah, suka cita, tapi juga sekaligus dapat menjadi simbol untuk melecehkan, merendahkan, mengintimidasi, gila, dan sebagainya. Sementara menangis sekalipun dapat menjadi simbol rasa haru dan bangga, pada umumnya kita maknai sebagai kedukaan atau kemalangan.

 

Ah, adakah sedari lahir kita memang lebih terbiasa berduka sebab setiap bayi yang lahir melulu menangis dan bukan tertawa? [*]


Niduparas Erlang lahir tahun 1986 di Serang, Banten. Produktif menulis prosa dan telah memenangi beberapa lomba penulisan cerita pendek dan esai tingkat nasional. Bukunya, La Rangku mendapat penghargaan sebagai kumpulan cerita pendek terbaik di Festival Seni Surabaya 2011. Sementara kumpulan cerpen keduanya berjudul Penanggung Tiga Butir Lada Hitam di Dalam Pusar direncanakan terbit tahun ini.

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button