OpiniReview

Spotlight

Oleh Media Sucahya

 

biem.co — Paruh Februari 2016 saya membeli DVD film Spotlight di Supermall Karawaci, Banten. Setelah saya tonton, kisahnya tentang wartawan The Boston Globe’s yang menginvestigasi pelecehan seksual oleh pendeta di Gereja Katolik, Boston. Film berdurasi sekitar 2 jam itu penuh dengan dialog, perdebatan para wartawan dengan pengacara, dan sesungguhnya amat membosankan. Tidak ada aksi heroik, kebut-kebutan, atau adegan romantis. Adegan demi adegan hanya menayangkan para wartawan melakukan reportase investigasi dari satu orang ke orang lain, dari satu gedung ke gedung lain, serta dari satu ruang kerja ke ruang lainnya. Dan saya tidak menduga, dua minggu setelah saya menonton atau pada 1 Maret 2016, Spotlight meraih Penghargaan Oscar sebagai film cerita terbaik. Film ini adalah kisah nyata tentang tim khusus investigasi bernama Spotlight di surat kabar The Boston Globe’s tahun 2013. Spotlight melengkapi kisah nyata dunia wartawan yang diangkat ke layar lebar. Sebelumnya, tahun 1976 film All The President’s Men mengisahkan Carl Bernstein dan Bob Woodward wartawan The Washington Post yang berhasil membongkar penyelewengan dana pemilu Partai Demokrat. Di mana laporan investigasi yang dilakukan hampir tujuh bulan, akhirnya berujung pengunduran diri Presiden Richard Nixon dan digantikan Gerald Ford pada 1974. Kedua wartawan tersebut mengilhami pendirikan klub editor investigasi bernama Investigative Reporter and Editor’s di Columbia, AS pada 1975.

 

Demi Perubahan

Spotlight adalah film yang mengisahkan bagaimana para wartawan Boston Globe’s melakukan reportase investigasi, yaitu teknik membongkar suatu isu atau masalah yang perlu diketahui publik dengan cara penyelidikan, penyamaran, dan pengintaian. Reportase investigasi memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, dibanding reportase straight news atau laporan mendalam. Reportase investigasi mencari berita dengan cara penelusuran, penyamaran, dan mempelajari dokumen-dokumen. Perlu dibentuk tim khusus lebih dari satu orang, bekerja selama 24 jam, memiliki nyali yang tinggi, masa kerja cukup lama, harus teliti, sabar, serta mau melakukan penyamaran. Risiko yang paling berat seperti ancaman pembunuhan juga harus siap ditanggung para wartawan. Karena itu, Paul N William (Investigative Reporting and Editing, 1982) perlu membuat 11 langkah untuk melakukan reportase investigasi, di antaranya isu harus menyangkut kepentingan publik, perlu feasibility study, harus mempunyai pijakan teori, riset data dan dokumen, wawancara mendalam, verifikasi data satu sama lain, serta final evaluasi.

 

Reportase investigasi bertujuan membongkar kasus penyelewengan, pemufakatan jahat, kejahatan terorganisasi, korupsi, serta aktivitas yang dianggap melawan hukum, norma, dan moral sehingga merugikan publik. Publik ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi pada kasus tersebut. Karena tujuannya untuk kepentingan publik, begitu diterbitkan, wartawan tidak meminta imbalan material kepada siapa pun. Karena sekali lagi, wartawan sebagai anjing penjaga (wacth dog) menjalankan praktik journalism (isme yang berpihak publik). Bukan sekadar menjalankan aktivitas jurnalistik. Bedanya, wartawan yang hanya sekadar menjalankan jurnalistik, tidak peduli apakah beritanya itu akan menciptakan perubahan atau tidak. Karena tujuan membuat berita investigasi untuk mendapatkan keuntungan material dari berbagai pihak.

 

Menguasai Substansi

Dalam film tersebut, wartawan The Boston Global’s melakukan wawancara dengan para narasumber lebih mirip seperti sedang melakukan diskusi. Mereka hanya mengandalkan pulpen dan kertas untuk mencatat. Tidak ada tape recorder atau telepon seluler untuk merekam. Termasuk pada saat mereka melakukan wawancara melalui telepon, tetap menggunakan alat tulis. Hasilnya, saat berita dicetak tidak ada satu pun narasumber yang komplain atas berita yang dimuatnya. Mereka tidak menggunakan alat perekam, bukan karena tidak ada. Namun hal itu menunjukkan bahwa seorang wartawan harus menguasai betul substansi masalah yang hendak diungkap. Di film itu digambarkan wartawan sibuk membuka dokumen, kliping berita, termasuk mencari berkas di kantor pengadilan. Selebihnya adalah mereka memiliki jejaring yang kuat, menguasai teknik wawancara, gigih, mampu memilah mana “daging” dan “tulang”. Dan yang terpenting pula, mampu meyakinkan para pihak-baik korban pelecehan maupun pendeta–untuk diwawancarai dan berbicara. Sehingga unsur cover both side (unsur dua sisi yang diberitakan), terpenuhi.

 

Kini, nasib The Boston Global sendiri tidak secemerlang kisahnya dalam Spotlight. Pada 1993 koran tertua di AS dijual ke The New York Time Co. senilai Rp10 triliun. Namun induk barunya itu juga hampir menyerah, akan melego The Boston Globe meski dengan harga Rp993 miliar pada 2013. Terlepas terus menurun kinerja keuangan, film Spotlight dan All The President Men tidak akan mati. Perjuangan para wartawan dalam membuka kebobrokan demi sebuah peradaban kehidupan yang lebih baik, akan menjadi inspirasi dan lentera bagi para pendorongan perubahan. Ini tentu harus kita apresiasi bersama.


Media Sucahya, dosen Universitas Serang Raya (Unsera)

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button