OpiniReview

Ade Ubaidil: Membuat Kebencian Tersenyum

biem.co – Barangkali, ini adalah tahun yang sangat luar biasa bagi saya. Bukan bermaksud mengurangi kadar syukur saya di tahun-tahun sebelumnya, hanya saja, selama berproses itulah hasilnya satu per satu bisa saya tuai di tahun ini.

Hal yang menjadi refleksi adalah bahwa kita tak bisa lepas dari yang namanya ‘proses’. Sering kali kita temui banyak orang selalu ingin instan dalam meraih segala sesuatu. Sekadar menyebutkan, salah satunya adalah kekuasaan. Banyak orang tergila-gila dengan kekuasaan. Kita boleh saja bercita-cita meraih segala sesuatu yang kita ingin capai dalam hidup ini. Namun, yang sering terlupa adalah perjalanan atau jarak tempuh yang harus kita lalui. Sayangnya, kita selalu mencari jalan yang ringkas atau biasa disebut ‘jalan pintas’; jalan pintas, dianggap pantas—begitu slogan salah satu iklan rokok.

Sebelum saya bicara Banten dan harapan-harapan tentangnya di tahun 2017 mendatang, saya cenderung bercermin diri. Apa saja yang belum, sedang, dan sudah saya raih. Dan apa saja manfaat, maslahat, kebaikan yang bisa saya beri dari hasil ‘peraihan’ tersebut? Hidup sejatinya adalah ajang untuk saling berbagi. Bahkan, menurut sabda Rasulullah SAW, ketika kau tak memiliki apa pun, “Senyum manismu di hadapan saudaramu dan orang lain adalah sedekah.” (HR. At-Tirmizi no.2685).

Begitulah, untuk melakukan suatu kebajikan, kita tidak melulu mesti beralasan tak punya uang, materi dan segala macam, sebab senyum pun sudah bernilai ibadah dan sama dengan bersedekah. Sekarang saya menyadari bahwa melalui menulis, saya bisa berbagi banyak hal; baik pengetahuan, pengalaman, pemikiran, perasaan, kekuatan serta segala macam. Dan lagi, ketika kita menulis, itu berarti kita mengajak orang untuk (gemar) membaca, karena setiap tulisan harus dibaca. Terlepas dari berapa minat pembacanya, setidaknya kita sudah berusaha menunjukkan tulisan-tulisan kita. Dengan membaca, berarti ada satu poin mengarah kepadanya untuk mendapatkan ilmu baru. Dengan ilmu, kita tidak perlu takut menghadapi dan menjalani kehidupan ini. seperti yang sudah pernah saya dengar dari seorang kawan, ia mengulang pernyataan Syekh Nawawi Al-Bantani terkait soal keilmuan, bahwa “Orang berilmu tidak akan merasa asing di manapun ia berada. Sedangkan orang yang tiada berilmu akan merasa asing di manapun ia berada.” Barangkali bisa sama-sama menjadi bahan renungan kita; terlebih di zaman yang segalanya tinggal klik ini.

 

Bicara Banten

Di tahun 2017 nanti, hal menarik yang akan menjadi bahan diskusi dan perbincangan publik di provinsi ini barangkali adalah pelaksanaan Pemilihan Kepada Daerah (Pilkada) atau Pemilihan Gubernur (Pilgub) Provinsi Banten. Sebenarnya, Pilkada bukan hanya akan dilaksanakan di provinsi kita saja, melainkan pada tanggal 15 Februari nanti pelaksanaannya akan berjalan serentak di seluruh Indonesia. Kekisruhannya tentu sudah bisa kita temui sejak tiga bulan terakhir atau lebih. Dan uniknya, peminatnya lebih ramai di dunia maya (media sosial) tinimbang di dunia nyata.

Sebagai pemuda, saya mengajak secara persuasif kepada kawan-kawan semua untuk turut andil dan turun mengambil barisan sebagai pemuda demokrasi. Namun sebelum pelaksanaan, ada baiknya kita kembali melihat rekam jejak dari masing-masing pasangan calon gubernur tersebut. Barangkali, berikut ini bisa jadi acuan dan bahan pertimbangan kita untuk memantapkan diri siapa yang bakal kita pilih di Februari mendatang. Saya mendapatkan berita dari Ketua KPU Kota Serang, Ali Faisal, soal jadwal debat kandidat Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Banten yang akan ditayangkan secara live di 3 televisi nasional:

1. 27/12/2016 : Metro TV

2. 25/01/2017 : TV One

3. 09/02/2017 : TVRI

Ketiganya berlangsung pada pukul 19.30 WIB. Silakan sama-sama dicatat, lebih-lebih kalau meniatkan diri untuk hadir secara langsung ke studio. Memang ketika berdebat atau menyampaikan visi misi dan gagasan melalui tatap muka akan berbeda ketika menyiapkan naskah pidato. Sebab akan ada pertanyaan-pertanyaan tak terduga, sekalipun sudah disiapkan oleh masing-masing kandidat. Akan tetapi, seperti yang sudah saya bahas soal keilmuan tadi, di manapun kita berada, kalau sudah memiliki ilmu yang cukup dan baik secara pengamalannya, tentu diri kita akan siap sekalipun dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan dadakan nantinya. Dan sejak itulah kita tahu siapa yang tepat dan baik saat menjawab, dan siapa yang gagu dan tergeragap hingga hilang wibawa saat menyampaikan buah pikirnya.

 

Resolusi Banten

Setelah tahu dan mantap dengan pilihan kita soal pemimpin gubernur mendatang, barulah kita menyusun resolusi-resolusi untuk provinsi tercinta ini. Kita bisa memulai dengan menyentuh daerah atau lapisan paling rendah soal tingkat pendidikan. Bisa sama-sama bergerak soal berbagi pengetahuan, mengajak untuk gemar membaca, berani bersuara di depan umum sembari mengeluarkan pendapatnya soal isu sehari-hari, dan tidak takut untuk berdiskusi soal apa pun. Yang ditekankan bukan bicara soal benar dan salah, tetapi lebih kepada siap atau tidak untuk bertanggung jawab dengan apa yang sudah kita lakukan dan katakan.

Dewasa ini, yang biasa ditakutkan adalah mengakui kesalahan dan meminta maaf. Orang Banten, khususnya pribadi saya sendiri, sering kali terjebak pada keengganan untuk mengalahkan ego sendiri ketika melakukan kekeliruan. Untuk mengatakan, “Ya, saya bersalah”, terkadang itu berat sekali mencuat dari mulut. Lidah seolah terasa kelu. Hal berikutnya yang terjadi adalah pemakluman diri sendiri dan mencari pembenaran semisal, “Ah, bukan saya doang, kok. Yang lain juga sering begitu, woles ajalah.” Dan hal serupa dianggap lumrah dan membudaya. Kita tidak bisa mengendalikan semua orang tentu saja, tetapi bila kita sudah sadar dan mau mengakui kesalahan ketika khilaf, itu akan menjadi cermin untuk orang lain. Budaya permisif akan hal-hal buruk seharusnya sudah lenyap. Sebab, resolusi untuk Banten berikutnya adalah warga yang berbudaya, penduduk yang saling toleransi, dan pribumi yang ramah serta saling tolong-menolong. Bukan lagi hidup masing-masing, lebih-lebih sampai acuh tak acuh dan apatis akan lingkungan ia tinggal.

Padahal menurut pepatah lawas, “Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Sudah bukan saatnya berkutat dan bertarung dengan diri sendiri. Banten harus ke luar dari kediriannya (meredam ego), Banten harus bergerak. Agar kita sama-sama belajar kalau kita itu kecil. Kita itu ibarat hanya rempahan gorengan yang sering kali diabaikan. Andai kita mau menjelajah, melompat dari kertas koran atau plastik wadah gorengan itu, kita akan tahu dunia luar, kita akan belajar banyak hal. Kita akan tahu bagaimana seharusnya menjalani hidup ini. Dengan ke luar dari kehidupan dan lingkungan kita sementara, kita akan tahu betapa berartinya menjadi warga Banten. Kita akan lebih besar menghargai betapa bermaknanya arti sebuah persaudaraan. Yang paling penting, dengan ke luar dari zona nyaman kita, kita akan tahu kapan harus kembali, kapan harus berbagi, kapan harus membuat resolusi, kapan saatnya mengabdi.

Untuk merengkuh itu semua, kita harus melalui proses penempaan yang luar biasa; baik melalui kritik, cacian, makian, hinaan, penyepelean dan segala jenis merendahkan diri orang lain. Sebab dengan begitu, kalau kita mau berubah, kita tahu harus memulai dari mana. Bila sudah berilmu, kita akan tahu harus berkata apa, harus bertindak seperti apa, dan tahu caranya menghadapi orang, mencari teman, merangkul lawan. Kebencian hari-hari ini seperti mamang tahu bulat atau pemburu ‘om telolet om’. Selalu saja mudah kita temui. Untuk meredamnya, bukan dengan menjauhi, tetapi mendekatinya dan berkata sebaik mungkin. Jadikan perbedaan bagian dari kebersamaan. Atau sesekali, atau di penghujung tahun ini, berbisiklah pada kebencian, “Kuylah move on!”. Semoga setelah itu, kebencian mampu membagikan senyumannya. [*]

 

Cilegon, 25 Desember 2016


Ade Ubaildil

Ade Ubaidilpemuda yang sedang bertempur menaklukkan skripsinya.

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button