InspirasiOpini

Djoni Gunanto: Mengembalikan Martabat Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

Oleh Djoni Gunanto

biem.co – Dari 190 negara yang memiliki lembaga perwakilan, 75 diantaranya memilih lembaga perwakilan dua kamar (Bicameral). Lembaga perwakilan dua kamar kebanyakan diterapkan negara yang memiliki penduduk di atas 50 juta orang. Demikian dilaporkan Greg Power dan Rebecca A. Shoot, di Global Parliamentary, Report,The Changing of Parliamentary Representation. Termasuk negara Indonesia, sejak tahun 2004.

Secara umum, peran kamar kedua dalam lembaga perwakilan dua kamar adalah untuk mengawasi (checks) dan mengimbangi (balances) kamar pertama. Model dua kamar ini untuk menguatkan fungsi legislasi demi terbentuknya undang-undang yang bermutu. C. F Strong mencatat dalam bukunya Konstitusi-Konstitusi Politik Modern, kekuasaan legislatif di negara konstitusi modern dijalankan oleh lembaga perwakilan yang terdiri dari dua kamar, yang salah satu atau kedua kamar tersebut merupakan pilihan langsung dari rakyat.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Di Amerika Serikat, contoh ideal negara yang menerapkan parlemen dua kamar, adanya kamar kedua- disebut dengan Senate, yang berisi orang independen, didesain untuk mengoreksi kesalahan yang dilakukan oleh kamar pertama (Representative), yang berisi orang dari kelompok partai politik. Peran kamar kedua juga untuk mengawasi cabang kekuasaan eksekutif.

Akan tetapi di Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD-RI) yang memerankan kamar kedua dalam lembaga perwakilan Indonesia, sering kali tidak dapat menjalankan perannya sebagai kamar kedua dengan ideal, layaknya Senat di AS. Peran DPD-RI dibatasi oleh konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 (UUD RI 1945), atau bahkan peraturan perundangan dibawah UUD RI 1945.

Amandemen I-IV konstitusi UUD RI 1945 yang terjadi dalam kurun waktu 1999-2002 semestinya memberikan harapan baru dalam menata sistem ketatanegaraan Indonesia. Dahlan Thaib, menulis dalam bukunya, Ketatanegaraan Indonesia, bahwa terbentuknya DPD-RI dalam konsep ketatanegaraan Indonesia digagas guna meningkatkan keterwakilan daerah dalam proses pengambilan keputusan politik penyelenggaraan dengan harapan agar tercipta integrasi bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

DPD-RI IDEAL

Sejatinya kekuasaan yang dimiliki DPD-RI sebagaimana diatur dalam UUD RI 1945 terdiri dari 5 macam, yakni; kekuasaan legislasi, kekuasaan administrasi, kekuasaan peyusunan APBN, kekuasaan dalam pengawasan keuangan negara, dan kekuasaan pengawasan pelaksanaan undang-undang. Namun UUD RI 1945 tersebut tidak menyebut secara eksplisit fungsi dan kekuasaan DPD-RI. Hanya dimunculkan ‘setengah- setengah’ pada pasal 22C dan 22D (hasil amandemen ketiga UUD RI 1945), yang menunjukkan fungsi dan kekuasaan DPD-RI, terutama fungsi legislasi, tidak penuh.

Sangat berbeda dengan penegasan dan pencatuman fungsi dan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) pada Pasal 20. DPR-RI adalah lembawa yang memerankan kamar pertama di lembaga perwakilan Indonesia. DPR-RI dalam melaksanakan kewenangannya itu diberikan pula kewenangan yang secara tegas dan jelas tercantum pada pasal 20A berupa hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.

Idealnya dalam hal legislasi, Presiden tidak lagi diberikan wewenang pembentukan undang-undang. Kekuasaan membentuk undang-undang diserahkan kepada DPR-RI dan DPD-RI sebagai kekuasaan legislatif. Jimly Asshidiqie dalam bukunya berjudul Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, bahwa pembentukan DPD-RI dimaksudkan untuk menyelenggarakan proses legislasi berdasarkan sistem double-check, yang memungkinkan representasi kepentingan seluruh rakyat bisa disalurkan dengan basis sosial yang lebih luas.

Tidak hanya dalam fungsi legislasi, kekuasaan administratif DPD-RI juga sangat kecil dibandingkan kekuasaan administratif DPR-RI. Paling kentara dalam hal pemilihan calon untuk mengisi jabatan publik lembaga negara yang diajukan Presiden. DPD-RI hampir tidak pernah diberikan wewenang menyetujui, atau pun setidaknya sekadar memberikan pertimbangan. Contohnya pergantian Kapolri yang gaduh beberapa bulan lalu, dan juga yang terbaru pengisian Panglima TNI dan Kepala Badan Intelijen Negara.

Semestinya peran DPR-RI dan DPD-RI dalam hal rekrutmen pejabat publik dibuat proporsional. Janganlah semua konfirmasi terhadap pengisian dilaksanakan di DPR-RI. Beberapa ahli tata negara dan lembaga independen mengusulkan untuk pengisian jabatan publik yang kental dengan muatan politik dan hukum, konfirmasinya diberikan kepada DPD-RI, misalnya dalam pemilihan anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan Komisi Yudisial (KY). Sedangkan DPR-RI diberikan wewenang konfirmasi pengisian jabatan publik di sektor yang tidak kental muatan politik dan hukumnya, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Dewan Pers, dan sebagainya.

Dalam pelaksanaan kekuasaan mengawasi eksekutif (Presiden). Mengawas dan menjaga keadaan negara, misalnya. DPR-RI diberikan kewenangan untuk menyatakan perang, membuat perjanjian damai dan perjanjian internasional (Pasal 11) dan (Pasal 12); pengangkatan Duta Besar, maupun penerimaan Duta Besar negara lain (Pasal 13). Juga pemberian pertimbangan amnesti dan abolisi terhadap pelaku kejahatan (Pasal 14). Sedangkan DPD-RI sama sekali tidak diberikan kewenangan, atau sekadar pertimbangan mengenai pembuatan kebijakan-kebijakan strategis tersebut.

Peran DPD-RI terkesan sengaja dipinggirkan. Padahal jika dilihat dari latar belakangnya, DPD-RI lebih independen dalam mengawasi Presiden, karena seluruh anggotanya tidak berasal dari entitas politik. Dengan begitu, pengawasan DPD-RI dimungkinkan lebih objektif karena tekanan terhadap anggotanya lebih dapat diminimalkan. Bandingkan dengan anggota DPR-RI yang kecenderungan sering ditekan oleh kebijakan parpol.

Untuk menjamin pelaksanaan kekuasaan DPD-RI sesuai dengan cita-cita negara hukum, dan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat ke depan, dan DPD-RI dapat menjalankan perannya dengan maksimal, setidaknya ada dua upaya konstitusional yang dapat dilakukan. Pertama, mengandemen UUD RI 1945, dan kemudian memasukkan dan menjamin peran DPD-RI sebagai kamar kedua yang kuat.

Kedua, jika belum dapat mengamandemen UUD RI 1945, peran ideal DPD-RI harus menyesuaikan dengan isi ketentuan yang tercantum dalam konstitusi UUD RI 1945. Selain itu rancangan peraturan perundang-undangan dibawah UUD RI 1945 yang akan memperlemah dan meminimalkan peran DPD-RI, sebaiknya dicegah.

Dari sisi internal, DPD-RI sendiri harus menguatkan perannya dengan menjaga dan menjamin integritas anggota dan kelembagaannya, serta terus membangun jejaring dengan entitas lain. Nilai kelembagaan DPD-RI dapat diukur dari moralitas perannya yang kemudian dapat memberikan pengaruh lebih luas. Moral politik yang baik tersebut diupayakan, dijaga, dan ditunjukkan dengan cara konsisten mensosialisasikan pandangan, pendapat, dan pertimbangan DPD-RI ke masyarakat luas. 


Djoni Gunanto, adalah Dosen Ilmu Politik di FISIP Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Peneliti Lab. Politik FISIP UMJ serta menjabat sebagai Sekjend Forum Keluarga Alumni  Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (FOKAL IMM) DKI Jakarta Periode 2017-2021.


Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.


Berita Terkait :

Ketua DPD IMM Banten: Kota Serang Tak Layak sebagai Ibukota Provinsi Banten
Fakhrur Khafidzi: Labirin Negeri Kita
Rumah Hutan, Tempat Wisata Alam yang Unik nan Indah di Kota Serang, Yuk, Piknik!

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button