InspirasiKolomOpiniRois Rinaldi

Muhammad Rois Rinaldi: Baku Hantam di Dunia Pendidikan Kita

Oleh Muhammad Rois Rinaldi

I/

“Seorang guru dianiaya muridnya hingga meninggal!”

Berita pada suatu pagi tiba. Orang-orang terkejut. Ada yang marah. Ada yang menangis. Ada yang tertawa. Ada yang mengejek. Ada yang sambil lalu, seperti tidak membaca apa-apa.

“Gila! Guru SDN XX Mencabuli 9 Muridnya!”

Berita pada pagi yang sama tiba. Orang-orang terkejut. Ada yang marah. Ada yang menangis. Ada yang tertawa. Ada yang mengejek. Ada yang sambil lalu, seperti tidak membaca apa-apa.

“Tidak terima anaknya dipukul dengan penggaris, orangtua laporkan guru ke polisi.”

Berita, masih pada pagi yang sama, tiba. Orang-orang terkejut. Ada yang marah. Ada yang menangis. Ada yang tertawa. Ada yang mengejek. Ada yang sambil lalu, seperti tidak membaca apa-apa.

Kita telah akrab dengan berita-berita semacam itu. Sebagian kita berusaha melarikan diri dan berkata: “Jangan mengabarkan berita kriminal setiap hari, karena secara tidak langsung kalian mengajari masyarakat untuk menjadi kriminal.”

Tetapi sebuah berita tetap ditulis karena pada kenyataannya, kejadian yang membuat kita terheran-heran hingga marah dan sedih berbaur jadi satu terus terjadi. Anehnya, kita terus membaca sesuatu yang tidak kita sukai. Termasuk ketika kita sama-sama berpikir untuk meningkatkan kualitas pendidikan, sama-sama kita diteror oleh kenyataan-kenyataan pedih yang terjadi di lingkungan pendidikan kita.

II/

Di sekolah yang paling berperan adalah pendidik dan peserta didik. Aktivitas sekolah tidak lain berkisar di dalam proses belajar dan mengajar, tanpa menafikan bagian lain, semisal bagian tata usaha, kebersihan, dan kepala sekolah, karena semuanya bertujuan menciptakan sistem dan suasana belajar yang sesuai dengan harapan.

 

Para peserta didik, dalam semesta pembicaraan ini, seyognyanya siap sedia menerima posisi sebagai orang yang dididik. Setiap tindak tanduk murid akan diawasi, diarahkan, diberi sangsi jika salah, dan diberi nilai dalam pengertian seluas-luasnya, jika melakukan hal-hal yang bersesuaian dengan tujuan pendidikan.

Dalam waktu yang bersamaan, para pendidik juga siap sedia mengemban amanah, yakni mendidik anak manusia untuk peradaban manusia. Dalam wacana ke-Indonesia-an, untuk peradaban Indonesia. Setiap guru telah berikrar untuk itu.

Posisi antara para pendidik dan mereka yang dididik sudah mapan. Semua orang mafhum akan posisi keduanya dan pada keduanya, semua orang menaruh harapan. Sayangnya antara konsep ideal dengan kenyataan semakin berjarak, kini. Seperti lagu dangdut, “surga yang diharapkan, neraka yang didapatkan”. Ada kekacauan. Sekolah yang “Kawah Candradimuka” ditandai oleh orangtua murid, seperti menandai “Sarang Penyamun”.

Itu adalah sebagian kenyataan yang mau tidak mau melahirkan kerenggangan antara orangtua murid dan semua orang yang ada di sekolah, wabil khusus para pendidik.

Memang penandaan itu tidak serta merta hadir. Tidak ada asap jika tidak ada api. Beberapa kasus mencengangkan terjadi di sekolah, di antaranya pungutan liar, sebagaimana hasil laporan dari beberapa posko Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) di 29 kabupaten/kota, yang menunjukkan sekolah kerap melancarkan aksi pungli terhadap para orangtua calon siswa dengan beragam modus (data: 2016) atau pencabulan sebagaimana yang dilakukan oleh kepala sekolah salah satu Sekolah Dasar di sebuah provinsi berinisial SP yang mencabuli muridnya yang duduk di kelas tiga.

Akibatnya, hal-hal yang masih pada batas wajar, dan menurut kebijakan para guru sebagai bagian dari pendidikan, digugat oleh orangtua. Misalnya, memukul telapak tangan dengan penggaris. Di mana guru, telah memperhitungkan, bahwa itu tidak akan benar-benar menyiksa. Hanya tekanan kecil.

Gugatan yang dilayangkan orangtua macam-macam bentuknya. Ada yang langsung melabrak ke sekolah dan ada yang langsung melapor ke kepolisan dengan tuduhan penganiayaan.

Masyarakat modern memang sangat mengerti peran dan fungsi hukum. Itu baik, karena masyarakat mengerti konsep-konsep dan konsekuensi-konsekuensi hukum yang berlaku. Tetapi, bila hukum yang rigit, terlebih Indonesia yang menganut hukum positif (walau saya ragu ihwal hukum positif dan progresif yang seakan tarik menarik di Indonesia), dijadikan alat pemuas kemarahan, menjadi lain persoalannya.

Para orangtua murid nyatanya tidak memiliki tolok ukur yang jelas ihwal batas-batas tindakan para pendidik kepada anak-anak mereka, mana yang boleh dan tidak boleh. Tetapi yang tidak termasuk dalam maksud peri bahasa  “untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak” ini, semacam takdir. Masing-masing kita tidak tahu dari mana mulanya dan bagaimana mengakhirnya. Pemerintah pula, sepertinya belum menemukan rumusan untuk mengendalikan keadaan.

Karenanyalah, saya kadang berpikir, baiknya hal-hal yang berkaitan dengan tindakan para pendidik yang melanggar etika dan hukum, tidak terlalu dibesarkan di media. Dengan catatan, penanganannya cepat dan tepat. Ini untuk mensterilkan ruang bawah sadar orangtua murid, karena terlalu sering membaca kasus kriminal di sekolah, yang menyimpan anggapan: di sekolah, anak mereka bisa jadi korban, sehingga sekecil apa pun gejala yang membahayakan harus disikapi.

Sebab suka atau tidak suka, para peserta didik yang mengetahui sikap orangtuanya, baik langsung maupun tidak, terpengaruh. Mereka berpikir sebagaimana pikiran orangtua mereka. Akibatnya, mereka tidak menaruh hormat kepada para pendidik. Di sini, kekacauan memuncak. Adab tidak lagi menjadi prioritas pendidikan. Adab seakan dipisahkan dari napas pendidikan. Para pendidik tidak berdaya karena dihantui oleh bayang-bayang orangtua murid yang kapan saja dapat melaporkan mereka ke polisi.

III/

Kekerasan, apapun alasannya, memang tidak dapat diterima, apalagi dilakukan oleh pendidik yang ghalibnya mendidik. Beberapa kasus menunjukkan fakta kesalahan dari pihak guru atau sekolah memang ada, tapi ianya cukup ditandai sebagai oknum, bukan wajah keseluruhan pendidik dan sekolah.

Sayangnya, kebiasaan menggebyah-uyah terjadi di mana-mana. Akibatnya, di kalangan para pendidik pun lahir perlawanan. Misalkan mulai bertebaran spanduk di sekolah yang bertuliskan: “Jika anak Anda tidak boleh dimarahi ketika mereka melakukan kesalahan, silakan bawa pulang anak Anda. Buat sekolah sendiri. Cetak ijazah sendiri.”

Kita pada akhirnya kembali bersedih, baik karena mendengar orangtua yang melaporkan para pendidik ke kepolisan maupun karena spanduk itu. Sebab keduanya menunjukkan perang terbuka. Sebuah perang yang, dahulu tidak pernah terbayangkan oleh kita, ternyata terjadi. Kemudian muncul pertanyaan di kepala kita: “Kita yang sepakat bahwa baik buruknya pendidikan adalah penentu baik buruknya sebuah bangsa, apakah akan membiarkan baku hantam di dunia pendidikan ini terus terjadi?”

Kita mesti bersama-sama mulai berusaha menjawabnya. Misalkan mulai memperketat penerimaan guru dengan berbagai rangkaian tes, termasuk tes kejiwaan dan memastikan semua orangtua menghormati sistem yang diterapkan di sekolah. Sebelum kenyataan di hari depan bukan lagi sekadar menyedihkan, tapi sudah menjadi monster. []


Muhammad Rois Rinaldi, adalah penyair, pendiri Rumah Baca Bintang Al-Ikhlas Banten (Serang), BAI Jeruk Tipis Cilegon, dan BAI Bani Ahmad Cilegon.


Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.

Editor: Andri Firmansyah

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button