InspirasiKolomOpiniRois Rinaldi

Muhammad Rois Rinaldi: Ketika PBB Dibubarkan dan Dibentuk Kembali

Oleh Muhammad Rois Rinaldi

 

I/

Pembubaran Persatuan BEM Banten (PBB) yang selama ini seperti kisah liar dari omongan ke omongan, sebenarnya sangat sederhana. PBB dibubarkan secara tidak langsung setelah saya sebagai salah satu calon Sekjen PBB di antara 3 calon lainnya untuk menggantikan jabatan Rudi Setiawan sebagai Sekjen BEM Banten Periode 2011/2012, memutuskan walkout.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Keputusan saya diikuti oleh kawan-kawan BEM Cilegon yang dikomandoi oleh Shodikin (Ketua BEM STIKOM Al-Khairiyah) dan Chaidar (Ketua BEM STAK) serta Tangerang Raya yang dikomandoi Steve Ogot (Ketua BEM UNPRI).

Walkout-nya Kota Cilegon dan Tangerang Raya membuat Kongres PBB menghadapi masalah serius, lantaran tidak mungkin PBB dapat dilanjutkan tanpa Kota Cilegon dan Tangerang Raya. Kongres PBB akhirnya benar-benar tidak dapat diselamatkan ketika Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang menyusul walkout.  Tinggal Serang Raya di dalam forum yang kemudian waktu (kalau tidak salah dengar) mendirikan Persatuan BEM Serang Raya.

Sekitar satu minggu setelah kegagalan Kongres PBB, muncul wacana tentang penguatan pergerakan mahasiswa di masing-masing kota dan kabupaten. Rudi Setiawan mengistilahkan ini sebagai upaya merapikan rumah masing-masing. Wacana tersebut menguat, terutama di Cilegon dan Tangerang Raya. Bahkan di Cilegon, saya, Sodikin, dan Chaidar sepakat membentuk Ikatan Keluarga BEM Cilegon (IKBC) yang kemudian diserahkan kepada Rizmi Samsul Rizal (STIKOM AL-Khairiyah). Begitu juga di Tangerang Raya, ada upaya penguatan sebagaimana yang dilakukan di Cilegon, meski saya tidak tahu pasti apakah mereka membuat organisasi sebagaimana organisasi yang dibentuk di Cilegon.

Wacana tersebut bermula dari pertanyaan-pertanyaan dan pernyataan-pernyataan mengenai urgensi PBB di tengah dinamika pergerakan mahasiswa Banten.  Pendapat kebanyakan pejabat BEM yang muncul di permukaan adalah pembiaran terhadap PBB. Dengan kata lain, PBB dibiarkan bubar dengan sendirinya setelah kegagalan kongres. Ketika itu, dalam pandangan sebagian besar aktivis, yang lebih diperlukan adalah memikirkan, merumuskan, memetakan, dan melakukan pergerakan-pergerakan nyata di masing-masing kota/kabupaten.

Gagasan utama yang mendasari pandangan tersebut, bukan tidak menyepakati PBB dibentuk atau menolak persatuan para pejabat BEM di Banten atas dasar ego primordialisme atau kepentingan BEM internal masing-masing. Gagasan utamanya adalah berbenah dengan cara mengguatkan jalinan komunikasi, ikatan emosional, serta mengukuhkan tujuan bersama di wilayah yang lebih kecil terlebih dahulu, sebelum sampai pada konsep-konsep besar melalui PBB.

Ketika itu masih ada harapan di hati dan kepala para mantan pengurus PBB terkait pembentukan kembali PBB. Tetapi harapan yang ada tidak menjadi alasan untuk bertindak tergesa-gesa. Kemungkinan pembentukan kembali PBB hanya dapat dilakukan jika masing-masing kota/kabupaten sudah cukup kuat dan kompak. Akan menjadi sia-sia jika PBB dibentuk kembali, sementara pergerakan BEM di masing-masing kota masih berantakan, apatah lagi terjadi perpecahan di dalamnya.

Sampai di sana narasi umum sejarah pembubaran PBB yang terjadi pada Desember 2011 di Gedung KNPI Provinsi Banten. Selebihnya, sejarahnya yang berkembang telah banyak berubah. Tidak jarang saya menerima tuduhan bahwa setiap kekacauan di PBB masa lalu dan masa kini adalah sisa-sisa dari dosa saya. Saya maklum, karena saya orang pertama yang menyatakan walk-out dari kongres.  Bahwa kemudian orang-orang ikut walkout, itu atas dasar pemikiran mereka sendiri, bukan intruksi dari saya, terkecuali delegasi Cilegon yang sememangnya satu intruksi.

Dalam hal ini, saya tidak merasa perlu melakukan pembelaan. Tidak juga hendak mengatakan bahwa sikap saya benar. Karena kebenaran dari sikap manusia yang mungkin menyimpan kesalahan di dalam kebenarannya atau sebaliknya adalah kebenaran yang mungkin saja bersifat temporer. Artinya benar ketika itu dan terlihat salah ketika kini atau memang salah ketika itu dan menjadi lebih salah ketika kini. Tetapi setidaknya itulah pilihan yang didasari oleh penghayatan terhadap kenyataan pada ketika itu dan beberapa persoalan yang telah saya pertimbangkan, termasuk konsekuensi-konsekuensinya.

Pro-kontra memang sempat memanas, tapi bukan pro dan kontra yang hendak diwariskan kepada generasi penerus. Tidak perlu lagi mencari siapa salah dan siapa benar. Jika mau menyalahkan saya, boleh. Saya boleh disalahkan, tapi jangan mewariskan dendam. Karena upaya pencarian “benar dan salah” yang berdasar kepada kehendak mewariskan dendam masa silam, hanya akan menimbulkan kerusakan, sedangkan di antara kami (para pengurus dan pegiat PBB ketika itu) tidak ada yang menyimpan dendam.

Perbedaan sikap lazim terjadi di dalam dunia pergerakan mahasiswa. Jadi, yang perlu dipandang kemudian adalah bagaimana PBB hari ini. Tetapi sebelumnya saya ingin mengantarkan para teman-teman kepada sejarah pembentukan kembali PBB setelah pembubarannya.

II/

Pada tahun 2013, saya didatangi oleh dua orang kawan: Adi Ucul (Ketua BEM  Staisman Pandeglang) dan Iyan Taryana (Ketua BEM Insan Unggul Cilegon).

Posisi kami bertiga berbeda jika dilihat dari keterikatannya dengan kampus. Iyan dan Ucul masih memegang posisi pejabat BEM di kampusnya masing-masing, sementara saya sudah bukan pejabat BEM, bahkan sudah menyatakan mundur dari dunia pergerakan. Dengan demikian, sesungguhnyalah saya tidak penting lagi untuk didatangi untuk kepentingan-kepentingan PBB. Tetapi, mungkin, keduanya tetap merasa perlu menemui saya karena bagaiman pun, saya mantan pengurus PBB.

Malam itu, mereka berupaya betul memaparkan landasan-landasan pemikiran dan  harapan-harapan untuk segera membentuk PBB kembali. Bagi mereka, PBB adalah tempat yang baik bagi para pengurus BEM di Provinsi Banten untuk berdiskusi dan menyatukan kekuatan untuk bersama-sama menghadapi persoalan yang ada. Analogi yang mereka gunakan adalah analogi sapu lidi.

Saya mengerti semangat mereka. Pada saat yang sama, saya tetap menilai belum waktunya PBB dibentuk. Bukan lantaran asumsi belaka, karena diam-diam saya selalu mengumpulkan informasi mengenai pergerakan mahasiswa dan persatuan Badan Eksekutif Mahasiswa di berbagai kota/kabupaten di Banten. Berdasarkan informasi yang saya terima, tidak kuat kemungkinan pembentukan PBB, bahkan sebaliknya. Tetapi saya tidak memaparkan apa yang saya ketahui kepada keduanya, karena saya khawatir memadamkan api semangat mereka.

Saya lebih memilih mendengarkan setiap hal yang mereka utarakan sambil bertanya-tanya kepada diri sendiri, apa alasan yang tepat bagi saya untuk mempersilakan pembentukan (kembali) PBB, sedangkan saya tidak sepenuhnya meyakini bahwa PBB dapat dijalankan dengan baik, dan apa pula pentingnya persetujuan dari saya, karena tanpa persetujuan dari saya PBB tetap boleh dibentuk?

Selama berjam-jam Ucul dan Iyan menyampaikan apa yang sudah dan akan mereka lakukan. Mereka juga menyampaikan bahwa mereka sudah melakukan konsolidasi dengan para pejabat BEM di berbagai kota/kabupaten. Sebagian besar, para pejabat BEM, berdasarkan pengakuan keduanya, menyatakan kesiapannya untuk mengawal kembali PBB.

Agak rumit menghadapi semangat yang besar yang berhadap-hadapan dengan kenyataan yang tidak memungkinkan itu, tapi lagi-lagi saya hanya menyimak, sambil sesekali mengangguk.

Terlepas sejauh mana semangat dan harapan tersebut dapat diwujudkan, meski berat dan meski masih begitu banyak pertimbangan di kepala saya, pada akhirnya saya mengatakan bahwa boleh saja PBB dibentuk, dengan syarat: dua orang yang menemui saya, apapun yang terjadi, tidak boleh pecah kongsi. Tidak boleh antara Iyan dan Ucul saling meninggalkan, meski keduanya harus sama-sama maju sebagai calon Sekjen PBB, yang itu berarti ada yang akan menang dan ada yang harus kalah.

Mulanya keduanya menyangkal. Mereka mengatakan, tidak menginginkan jabatan Sekjen. Saya kemudian mengingatkan bahwa di lapangan keadaan akan sangat dinamis. Apa saja dapat terjadi, terlebih jika tidak ada sosok lain yang dapat diusung. Terlebih lagi, keduanya akan dipandang sebagai inisiator pembentukan kembali PBB, yang memungkinkan sekali jadi alasan bagi keduanya untuk diusung oleh banyak orang.

Selain mereka berdua, saya tidak melihat siapa-siapa yang akan diusung. Saya sangat yakin, dua orang yang menemui saya inilah yang akan diusung meski mati-matian mereka menyangkal.

Ketika itu saya hanya menyampaikan prediski saya, bahwa akan terjadi perubahan sikap dari beberapa kota/kabupaten. Di antara beberapa kota/kabupetan tersebut ada yang akan memutuskan walkout dari kongres. Sebab, masih ada budaya “dendam-mendendam” dalam ranah pergerakan. Dendam yang saya maksud adalah apa yang dahulu saya lakukan dalam Kongres PBB, yang konon memperlakukan Serang, harus dibalas oleh generasi setelahnya. Jika itu terjadi, jika PBB memang harus dibentuk, biarkan mereka walkout, PBB jalan tanpa Serang Raya. Tentu saya meminta keduanya tetap berusaha merangkul Serang Raya setelah kongres.

Ucul dan Iyan menyangkal prediksi saya, tapi saya tidak mau berdiskusi panjang terkait kemungkinan itu. Saya hanya mengingatkan, kalau tekad membentuk kembali PBB sudah bulat, meski ada satu kota/kabupaten yang walkout, Kongres PBB harus tetap dijalankan. Selain itu, sebagai sebuah sikap, saya mengatakan kepada keduanya bahwa saya tidak akan datang pada saat Kongres PBB. Alasannya, saya tidak yakin PBB akan benar-benar hidup sebagai organisasi, sehingga secara pribadi saya tidak setuju PBB dibentuk, tapi karena saya menghormati semangat Iyan dan Ucul, saya ikut mengamini pembentukan PBB.

Sederhananya, tidak sepakat bukan berarti menghentikan. Sebab, setiap manusia kadang perlu ditunjukkan oleh masa depan ihwal kebenaran keyakinannya.

Kongres pun dilaksanakan (saya lupa tanggal dan tahunnya). Tidak sama sekali saya bertanya bagaimana proses berlangsungnya kongres, tapi ada saja yang memberi kabar tanpa ditanya. Saya mendapat kabar bahwa ada satu kota dan satu kabupaten yang menyatakan walkout, Serang. Kongres tetap berjalan, Iyan Taryana terpilih sebagai Sekjen dan Ucul sebagai pendampingnya. Saya hanya tersenyum mendengar kabar itu. Saya membatin: “Semoga Iyan dan Ucul mengingat apa yang sudah saya katakan.”

Setelah itu, saya tidak tahu bagaimana pergerakan PBB. Saya tidak mencari tahu dan tidak berusaha tahu. Ada memang beberapa kabar angin yang datang, termasuk kabar angin yang mengatakan bahwa Adi Ucul tidak lagi aktif di PBB karena berbeda pandangan dengan Iyan. Saya menanggapi itu dengan santai. Gejolak di dalam organisasi adalah barang lama. Tidak mengherankan. Walau tidak dipungkiri, ketika itu ada kekecewaan, sebab semakin kuat kemungkinan PBB tidak akan berjalan selepas Ucul pecah kongsi.

Semakin lama saya semakin tidak tahu apa-apa dan tidak mendengar apa-apa tentang PBB. Saya nyaman dengan keadaan itu. Sebab, saya memang ingin benar-benar menyerahkan semua urusan PBB kepada orang-orang masa kini. Sebagai orang masa lalu, saya tidak perlu ikut campur. Tetapi pada akhirnya bulan November 2015, saya mendapat kabar bahwa PBB akan mengadakan kongres ke-V di Kampus Unis Tangerang.

Saya memilih untuk tidak datang dan lagi-lagi saya hanya mendengar siapa yang terpilih sebagai pemimpin PBB, yang ketika itu dari Sekjen (Sekretaris Jenderal) diganti nama menjadi Korpus (Koordinator Pusat). Memang ketika kongres berjalan, ada beberapa kawan menelepon saya menanyakan ihwal sikap Cilegon di dalam kongres. Saya hanya memberikan pandangan secara umum, setelah itu kembali tidak mengetahui apa-apa.

III/

Kini, saya mendapatkan kabar bahwa PBB  akan mengadakan Kongres ke-VI pada 26-27 Januari 2018 di Kampus Bina Bangsa Serang. Sependek pengetahuan saya (jika tidak salah ingat), pergantian kepemimpinan PBB dilakukan satu tahun sekali. Mungkin sudah ada perubahan AD/ART PBB yang semula menetapkan pergantian kepengurusan satu tahun sekali diubah menjadi dua tahun sekali (sekali lagi, mungkin saya yang lupa).

Selain itu, ada yang bikin saya “agak” kaget, yakni kepanitian kongres yang sebagian besar (untuk tidak mengatakan sepenuhnya) diserahkan kepada BEM kampus tempat pelaksanaan kongres. Padahal peraturan yang saya tahu, kepanitian kongres haruslah kepanitiaan bersama yang dibentuk oleh PBB.

Kepanitiaan tidak dapat berupa pemberian mandat dari PBB dalam bentuk SK kepada pengurus BEM suatu kampus. Jika pun tidak memungkinkan kepanitiaan bersama yang melibatkan perwakilan BEM dari masing-masing kabupaten/kota yang berada di dalam kepengurusan PBB, minimalnya kepanitiaan kongres terdiri dari perwakilan pengurus BEM dari kampus-kampus di suatu kota yang menjadi tuan rumah. Adapun kampus yang ditempati hanya ditugasi menyiapkan tempat dan fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan.

Bagaimana pun, itu dinamika masa kini. Saya tidak mau terlalu jauh menanggapi persoalan tersebut. Tidak etis jika saya terlalu banyak mengomentari, sedangkan saya tidak ada di dalam pergerakan PBB masa kini. Tidak etis jika saya membicarakan kesemestian, sedangkan saya tidak sepenuhnya memahami persis apa persoalan yang dihadapi kawan-kawan, sehingga kepanitiaan begitu saja diserahkan kepada BEM Bina Bangsa.

Mungkin saja peraturan telah diubah sedemikian rupa sehingga membolehkan kepanitiaan kongres PBB ditangani oleh satu kampus saja. Mungkin saja kawan-kawan PBB kesulitan menjalin komunikasi dengan para pengurusnya yang tersebar di daerah-daerah Banten atau mungkin tidak sedikit pengurus yang tidak aktif.  Mungkin saja kawan-kawan PBB hari ini kekurangan tenanga untuk memproses kongres sesuai dengan prosedur yang selama ini diberlakukan. Mungkin saja hal-hal lain yang di luar perkiraan saya atau perkiraan kebanyakan orang.

Terlepas dari apa yang kini jadi pertanyaan, semangat untuk terus mengawal pergerakan PBB dari generasi ke generasi tetap ada. Ini pertanda bahwa membiarkan atau mengabaikan PBB bukanlah sikap yang tepat.  Tetapi kesangsian saya terhadap PBB tidak berubah. Sulit sekali, bagi saya, untuk dapat menjalankan PBB. Setidaknya ada beberapa hal sulit yang harus ditaklukkan jika ingin PBB benar-benar berjalan sebagaimana yang dicita-citakan.

Pertama, mobilisasi sangat tinggi. Wilayah kerja PBB melingkupi seluruh kota/kabupaten di Banten.  Untuk kegiatan konsolidasi saja dapat dipastikan menghabiskan energi dan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi sampai pada wilayah gerakan-gerakan taktis dalam menangai isu tertentu, memerlukan pengumpulan massa yang tidak mungkin tidak memerlukan dana dan itu tidak dapat selalu diselesaikan dengan urunan, sebab tidak semua kampus memiliki anggaran dana internal yang cukup, apatah lagi yang peruntukannya kegiatan eksternal.

Ada yang berpendapat adanya Korwil (Koordinator Wilayah) yang ada di masing-masing kota/kabupaten dapat menjawab tantangan tersebut, tapi faktanya, tidak demikian. Korwil kerap tidak dapat menjalankan fungsinya sebab kendala pendanaan. Bagaimana pun yang bergerak di PBB adalah mahasiswa, bukan pengusaha. Jangankan untuk membiayai kegiatannya di dalam organisasi, untuk makan di kosan pun Senin-Kamis.

Kedua, sumber dana tidak ada. Sejauh ini PBB belum berhasil mendapatkan dana hibah yang tetap dari pemerintahan Provinsi Banten dan belum berhasil menjalin kerja sama dengan swasta. Semua kebutuhan masih bersifat swadaya, persis seperti forum aktivis yang bersifat taktis, bukan dalam bentuk organisasi sistemik.

Dalam hal tersebut, saya tidak sedang menyarankan untuk menempel seperti benalu pada inang, melainkan menunjukkan bahwa PBB tidak mendapatkan dana hibah dan belum berhasil menjalin kerjasama dengan pihak swasta yang memungkinkan posisi independensi PBB tetap terjaga. Dengan kata lain, diperlukan upaya yang tidak mudah untuk mendapatkannya, terkecuali PBB memang hendak menjadi organisasi taktis.

Ketiga, pergantian pengurus PBB belum sistemik. Maksud belum sistemik di sini bukan menyangkut mekanisme konres, melainkan ihwal pergantian pengurus BEM di masing-masing kampus di Banten tidak dalam waktu yang sama. Sehingga, kepengurusan PBB seringkali terkendala oleh orang-orang yang lulus terlebih dahulu sebelum kepengurusannya di PBB selesai.  Belum ditemukan formulasi yang tepat untuk menghadapi persoalan tersebut.

Hal-hal sulit tersebut disampaikan bukan dengan tujuan melemahkan semangat pengurus PBB masa kini. Sebaliknya, saya ingin teman-teman siap menghadapinya.  Lelaki dewasa tidak memerlukan bunga-bunga yang memabukkan penciuman dan penglihatan. Lelaki dewasa memerlukan kesadaran akan suatu kenyataan. Jika tidak, PBB tetap menjadi sebagaimana yang saya perkirakan. Ada tapi tak ada. Hidup tapi tidak hidup. Dikata mati tidak mau, menunjukkan diri sebagai organisasi yang hidup tidak mampu. Dikata lumpuh marah, dikata berdaya tidak layak.

Terakhir, siapa pun yang terpilih sebagai Korpus PBB, saya mengucapkan selamat. Percayalah, meski memimpin bukan hal mudah tapi memimpin melahirkan kebahagiaan-kebahagiaan yang tidak dapat dirasakan oleh orang-orang yang tidak pernah memimpin. Tentu saja kebahagiaan itu dapat dirasakan jika memimpin dengan segenap cinta.

Anda lelaki, jangan mundur! Lelaki mundur dari tugas: lelaki tak punya telur!

 

Muhammad Rois Rinaldi, penulis, pendiri Ikatan Keluarga Besar BEM Cilegon (IKBC) dan dan pegiat Persatuan BEM Banten (2010/2011)


 

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button