KabarOlahraga

Stop Rivalitas Salah Kaprah, Mau Sampai Kapan Darah Basuhi Sepak Bola Negeri Ini?

biem.co – Sepak bola Indonesia kembali meminta tumbal. Suporter asal Jakarta, Haringga Sirila menghembuskan nafas terakhirnya pada Minggu (23/09/2018) kemarin.

Ia merupakan korban pemukulan yang terjadi jelang laga antara tuan rumah Persib Bandung menghadapi Persija Jakarta di luar stadion Gelora Bandung Lautan Api.

Hal yang terjadi ini, tentu sangat menyedihkan dan begitu menyakitkan. Sebuah hal yang tak lazim bagi sepak bola yang sebenarnya menawarkan keindahan di lapangan hijau.

Dari data yang ada, sudah lebih dari 50 orang suporter Indonesia meninggal dunia sejak pertama kali terjadi pada 1995.

Artinya, setiap tahun setidaknya ada dua orang yang meninggal dunia karena menonton sepak bola hingga saat ini. Tentunya data ini merupakan catatan merah dalam perjalanan persepakbolaan nasional.

Semua korban tersebut, berawal dari rivalitas antara suporter dua kesebelasan. Di Indonesia, rivalitas antar suporter memang lebih panas di banding rivalitas para pemain dari dua kesebelasan yang bertanding di lapangan itu sendiri.

Padahal yang punya tugas “bertarung” seperti kata “melawan” dalam setiap judul pertandingan, adalah dua kesebelasan, bukan dua suporter.

Bukan rahasia umum, pertandingan antara Persib-Persija memang mempunyai kans terbesar, dibanding laga lain, untuk menelan korban.

Meski awalnya dua kesebelasan tidak memiliki aroma rivalitas yang panas, namun masing-masing suporter punya rasa benci dan dendam yang mendalam. Dari sinilah yang memunculkan sering berjatuhannya korban sebelum, saat, atau sesudah laga.

Belum diketahui dengan pasti kronologi tewasnya Haringga. Namun dari video yang beredar di linimasa, tampak laki-laki berusia 23 tahun ini dikeroyok oleh para oknum suporter.

Haringga dipukul dengan balok kayu. Tidak hanya itu, ia juga dihujani oleh benda keras seperti piring, botol, dan sebagainya. Bahkan korban juga ditendangi beramai-ramai hingga terpojok ke deretan motor yang terparkir hingga tewas di tempat. Miris bukan?

Itulah yang terjadi ketika hati nurani dibutakan oleh rivalitas. Mau sampai kapan sepak bola Indonesia dinodai oleh hal seperti ini? Mau sampai kapan darah membasuhi sepak bola negeri ini?

Hukum rimba tampaknya masih berlaku bagi sebagian orang Indonesia yang katanya beradab, termasuk di kalangan suporter sepak bola di negeri ini.

Prinsipnya, nyawa dibalas nyawa. Terprovokasi sedikit, jika menyangkut pihak lawan, maka siap bersikap barbar alias tidak beradab dengan membuang jauh-jauh rasa kemanusiaan.

Kemudian mendadak terserang amnesia bahwa yang dihabisi dengan keji itu masih saudara sebangsa. Sungguh sesuatu yang menyedihkan dan amat disayangkan.

Kita tidak dapat pungkiri ada masalah sosial dalam rivalitas suporter Indonesia. Rivalitas tersebut tidak hanya selama 90 menit di lapangan, akan tetapi semakin diluar batas.

Kebencian demi kebencian terus ditularkan atau tertularkan antar generasi. Misalnya saja, Bagaimana bisa seorang bocah berusia 6 tahun misalnya dengan lantang berteriak “Viking anj*** dibunuh saja..” atau “The Jak anj*** dibunuh saja”.

Nyanyian itulah yang membuat siapapun yang menyanyikannya akan memiliki mindset bahwa pihak lawan harus dibunuh. Jika sudah seperti ini, lantas harus bagaimana?

Perlu kesadaran dari suporter untuk mengubah rivalitas dan fanatisme menjadi dukungan untuk klub dalam melakukan pertarungan sehat dan sengit di dalam lapangan.

Kemudian harus ada langkah besar yang diambil oleh federasi sepak bola Indonesia (PSSI) dan Pemerintah untuk mengakhiri rivalitas salah kaprah ini agar tidak terulang lagi.

Sudah seharusnya kita bersama-sama membangun olahraga tanpa ada ratapan tangis dan air mata. Sudah seharusnya tidak ada musuh dalam sepak bola, yang ada hanya rivalitas selama 90 menit di lapangan.

Terlalu mahal apabila sepak bola harus dibayar dengan nyawa. Karena sejatinya sepak bola adalah hiburan, bukan tempat pemakaman.

Editor: Redaksi

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button