Opini

Dhea Lintang Wengi: Tak Ada Aan Mansyur Hari Ini

biem.co — Secara nyata, saya memang belum pernah kopi darat dengan Aan Mansyur, tetapi melalui karya-karyanya yang romantis bahkan terkadang sekaligus menyakitkan, saya intens berkencan dengan Aan Mansyur. Mengagumi Aan melalui karya-karyanya tak terkecuali karya fotografinya menjadi bagian hidup saya. Hampir setiap hari saya stalking instagram penyair asal Makassar ini, dan melalui instalasi sederhana miliknya itu, seringkali saya mampu menuliskan satu dua bait puisi, yang kemudian saya rangkai menjadi satu buah puisi lengkap. Bahkan puisi saya yang berjudul Curhat Kepada Aan Mansyur berhasil lolos kurasi peserta Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) X Banten sementara suami saya lolos menjadi peserta tanpa kurasi karya.

Menjadi hari yang tidak baik bagi saya, hingga pertanyan besar kepada diri sendiri melalui kalimat: kemana saya selama tiga hari ini? Barangkali saya saat itu terlalu sibuk dengan sebuah novel Fiesta milik Ernest Hemingway, yang sampai hari ini novel itu belum rampung dibaca. Barangkali juga saya terlalu sibuk main ludo dan berharap untung lima belas ribu koin setelah memasang lima ribu koin. Tetapi, seluruh kegiatan yang saya lakukan itu bukan kegiatan-kegiatan yang tidak menyenangkan, bahkan saya juga telah berhasil menyebarkan virus Ludo King kepada suami saya—dan sungguh menjadi hari yang seru saat saya dan suami bisa bermain ludo bersama. Tetapi begini, karya yang dituliskan oleh Aan Mansyur telah banyak menginspirasi saya, baik karya berupa puisi, cerpen, juga novel. Dari karya puisinya yang saya suka, Aan selalu berhasil mengajak pembacanya untuk turut larut dalam setiap kalimat-kalimat yang disusun secara rapi pada sebuah puisi. Pertemuan saya dengan kumpulan puisi Aan Melihat Api Bekerja cukup menambah diksi dan pelajaran bagaimana alur dalam sebuah puisi harus dibuat.

Kecintaan terhadap karya-karya Aan, membuat saya juga kepo dengan hal-hal pribadinya. Seperti dimana dia sekarang serta aktivitas apa yang sedang dia lakukan. Tetapi saya tidak ingat, mungkin Aan pernah menuliskan puisinya tentang Ana, tetapi karena tidak terlalu menyentuh saya, saya jadi mudah lupa. Yang melekat justru sebuah essai ringan nan keren berjudul Jika Besar Nanti, Saya Ingin Menikah dengan Maudy Ayunda pada qureta.com yang selalu saya ingat. Melalui tulisan itulah, saya menyimpulkan bahwa Aan adalah salah seorang fans berat Maudy, sampai suatu ketika instastory Maudy yang direpost oleh Aan, menambah keyakinan saya bahwa Maudy adalah seseorang yang dia idamkan untuk menjadi istirnya kelak.

Kemudian sebuah perjalanan kecil saya bersama suami, dilandasi pula dengan keinginan yang begitu besar untuk mencari buku Aan lainnya, yang belum sempat saya milki (sudahkah kau memeluk dirimu hari ini? : red). Untuk seseorang yang tengah belajar menulis puisi seperti saya ini, buku-buku Aan sangat cocok untuk dijadikan referensi menulis sebuah puisi dan cerita pendek, kisah-kisah sederhana yang kadang menyakitkan, sebuah puisi dengan gaya bercerita yang tegas kepada pembacanya, berhasil membangun sebuah intensitas Aan dengan karya-karyanya sendiri. Bahkan, saya tak peduli bila kemudian kawan-kawan satu komunitas saya mungkin telah lebih jauh move on dengan karya-karya lain, novel-novel baru, maupun teori-teori baru dalam kesusastraan, sementara saya masih berkutat pada Aan, Eka, dan Puthut, tak mengapa. Sebab bagi saya, Aan, Eka, maupun Puthut memiliki kesamaan pada karya-karya yang telah dituangkannya.

Tetapi mengapa Ana? Seseorang yang sama sekali tak pernah terbaca pada peta-peta karya Aan, muncul dalam postingan instagram milik Aan, lengkap dengan gaun putih yang dikenakannya, lalu ia bersanding dengan seseorang yang telah memberi banyak pelajaran melalui karya-karyanya lengkap dengan jas keren berwarna hitam. Kabar pernikahan Aan dan Ana cukup mengejutkan bagi saya pribadi. Untuk beberapa hari, atau barangkali beberapa pekan ke depan saya mungkin akan berhenti menjadi stalker Aan. Saya butuh karya fotografi Aan yang senantiasa ia beri judul kecil yang romantis, sebagai bahan inspirasi saya untuk menulis sebuah puisi. Saya tak butuh foto-foto pernikahan, yang dipastikan lebih bermakna dari foto-foto pernikahan saya dengan suami, pada album besar berwarna pink berukuran lebih dari tiga puluh centimeter. Tapi, terlepas dari ini itu dan bla bla lainnya, selamat menempuh hidup baru, An. Tetap bagi saya, mungkin untuk sementara waktu Tak Ada Aan Hari Ini.


Penulis adalah Peserta Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) X dan penulis Antologi Puisi bersama Musim untuk Laida. Sedang belajar menjadi presenter di Banten Raya TV.

Editor: Irwan Yusdiansyah

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button