Puisi

Sajak-sajak Eko Ragil Ar-Rahman

Rhapsody Kepada Rhady
: A.R

Sepertinya, ruang menjadikan kita sepasang lengang yang kesepian.
Pesisir Palu berderu dan malu-malu membawa jauh ombak -masa lalu-,
serta cahaya bulan yang kebingungan.

Seseorang yang jauh disana, duduk dan bergeming.
:bermain Ocarina dan menikmati angin.
Setidaknya tidak banyak yang melihatnya,
selain orang yang lalu lalang, lampu yang demikian temaram
dan desir laut yang membawa amis ikan dan masin garam.
Semua hanya sepintas lewat, bersama waktunya sendiri dan beragam hal
yang selalu diomeli seperti bunyi teko yang tak peduli kebisingannya sendiri.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Rasanya, hari ini tidak sepuisi hari yang lain.
Hanya ada kelabu, dan malam yang menjadi kelambu maha abu.
Sedang dia -yang tetap saja jauh di sana- masih bermain
lagu yang dalam,
jauh menembus lautan
menjadi duyung yang meneriakkan ribuan keheningan.

Dia yang jauh di sana membayangkan puisi,
puisi yang menjelma rumah-rumah, lengkap dengan beranda dan taman kecilnya.
Bunga, ulat dan segala macam serangga yang bisa dia ingat melalui melodinya.
Dan aku masih di sini
:Perpustakaan kecil bernama memori.
Menyeduh teh dan menjalin puisi menjadi bintang-bintang menggantung
di langit-langit malam.

Telah kita isi hening dengan batu
yang kita hamtam ke arah ombak
pengganti kerinduan, tapi tidak setara air mata.
Pagi masih terlalu dini, dan teh ini sudah sepasi bulan,
tapi kita baru separuh jalan menikmati pasang dan pandai-pandai
menyapu dingin yang jarinya semungil ababil.
“Apa yang dibawa ombak kali ini?” kita terus bertanya,
tapi selalu dengan diri sendiri.

Kita terdiam, terdiam seperti biasa kita menunggu waktu pulang ke rumahnya.
Dan bulan yang sendirian menuntun doa kita
jauh bergandeng pasang.

Riau 2017

 

Erindanus

Datanglah, dan susuri tubuh ini.
sebab kita telah sepakat bahwa kebaktian adalah sampan.
Maka, jika bagimu menenangkan, kayuhlah.
Sedang dosa telah terbang,
terikat menjadi kilauan bintang.

Tubuh kami adalah sungai, berbatu dia, berlumut usia, mengalir pada inkarnasi abadi.
Sedang masa lalu: Rusa di Hutan sana
setia menangkup harap yang hinggap dalam luka arus ini, dalam minumnya yang abadi.

Tuhan telah turun.
Menjelma ikan jatuh ke tubuh kami
dan sembunyi dalam ganggang bernama hati.
Menunggumu keluar dari sampan untuk menjaringnya
:Wujud lain nyawa kami.

Ikan Tuhan yang menggelepar
terang dalam cahaya bulan.
Bawalah kami pulang ke langit
sedang kami tidak peduli tenggelam
tidak peduli bakal tinggal di.muara mana.

Astrolabe 2017

 

Wolf de Luna

Entah cahaya apa,
Atau angin dari mana yang mengajak lolongmu singgah ke tubuh purnama ini. Semu dan waktu telah menciptakanmu serupa pengembara. Mengais kaki gunung maha batu, lalu memotong sunyi dengan lirih lolong sebaka malam hari.

Katamu, lirih itu cara jitu mencintai. Sebagaimana cahayaku menuruni langit -memeluk matamu-

Setiap kali turun gunung, kau selalu bersuara. Seperti mencari jalan pada teka-teki panjang. Serupa rumah, sunyi hanya tempatmu singgah. Bukan pergi, ataupun pulang selamanya.
Maka, biarlah kugulir cahaya, menjelma perempuan bernama ibu untuk kau nantinya menyimpan segala kenangan dan luka.

Kau melolong -wujud lain pemanggilan- dari wajah sungai yang setia memecah cahaya. Bulu perakmu berderai, menari bersama angin yang seakan tahu cara paling suci untuk mati.

Entah itu cahaya,
atau suara mana yang membawamu serupa pendoa sunyi.
Sunyi yang tetap mengais
menyeberang langit
mengabari ihwal kematianmu nanti.

2017

*Terinspirasi dari Komposisi Brunuhville “The Wolf and the Moon”

 

Nocturnal

Tidak ada lagi waktu,
dan kaki kecil itu terus susuri lembah
bertikar darah dan mayat sisa perang
:Pelarian atas kehilangan

Tirai langit memecah pekik elang
memburu setiap luka dan ketakutan
dari sebalik pohon dan dedaunan.

Dia terus berlari dari kehilangan
Tapi waktu telah menjelma serigala bermata bara
lolong yang menjelma anak panah
memburu kehilangan berdarah di dadanya

Maka pada siapa atau apa harus dia buang semua?
Sedang tubuhnya yang penuh kesedihan
berliuk serupa tarian mengibas cahaya bulan
memberi seribu rupa pada seluruh mata.

“Siapa di ujung sana? Yang menjemputku bersama kehilangan?”
dan nantinya akan berucap:
“Kehilangan hanya suara hening senapan. Semua hanya sebentar.”
atau barangkali selamanya.

Angin dan malam semakin hening saja
Bintang dan Aurora turun menjadi selendang,
bulan serupa cermin -Piring pemantul air mata-
Sedang jejak nafas adalah pelariannya.

Tidak ada ampun pada waktu,
Baik pada setapak hutan yang basah air mata
pada mayat yang akan naik nirwana atau justru jatuh ke lubang Neraka.
Yang telah lari dan tertatih, dari sekian luka maha perih
bahkan telah takut untuk menjadi diri sendiri.

Bahkan berlari sebagai teriakan,
ia berharap pecah dan hilang ditelan malam.

2017

*Terinspirasi dari Komposisi “The Last of Mohicans”


Eko Ragil Ar-Rahman, kelahiran Pekanbaru 22 Januari 1995. Adalah Mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas Islam Riau, Pekanbaru. Penyuka musik klasik yang juga merupakan ketua di Community Pena Terbang (COMPETER. Karyanya pernah dimuat di beberapa media seperti Riau Pos, Medan Bisnis, Sumut Pos, Rakyat Sultra, Dinamika News, Linifiksi, Litera.co.id, riaurealita.co. dan juga tergabunga dalam beberapa Antologi: Antologi Puisi Ramadhan, Nyanyian para Pencinta, Tifa Nusantara II, Antologi Seutas tali& Segelas Anggur. Buku kumpulan puisinya yang pertama Asmaranaloka (2017).

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button