Kabar

Harapan Baduy: Mengubah Paradigma Wisata Menjadi Saba Budaya

KOTA SERANG, biem.coSobat biem, seri Diskusi Girang yang merupakan kerja sama antara Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Banten, Laboratorium Banten Girang, Ikatan Pustakawan Indonesia dan biem.co kembali digelar. Diskusi virtual seri Diskusi Girang yang ke-7 menghadirkan narasumber Uday Suhada (Pemerhati Masyarakat Adat Baduy) yang membahas Perubahan Sosial dan Keinginan Orang Kanekes.

Menurut Uday, perubahan sosial adalah sebuah keniscayaan, termasuk bagi masyarakat Kanekes karena banyak faktor. Salah satunya, pertumbuhan penduduk dan persoalan lahan, juga faktor eksternal meliputi kontak dengan kebudayaan masyarakat lain.

Tema diskusi ini merupakan respons atas polemik yang terjadi setelah peristiwa surat terbuka yang mengatasnamakan Lembaga Adat Suku Baduy terkait penghapusan wilayah Baduy dari daftar destinasi wisata. Selain itu, dalam ‘surat mandat’ menyebut keinginan masyarakat Baduy untuk menghapus wilayah mereka dari satelit Google Maps.

Namun, surat yang ditujukan pada presiden itu dianggap tidak mewakili Baduy karena ‘mandat’ yang disebut-sebut bukan merupakan hasil musyawarah adat. Uday menekankan, masyarakat Baduy memiliki tatanan dan struktur pemerintahan yang kompleks, meliputi jajaran jaro dan puun, sehingga apa yang dilakukan tim ‘mandat’ dianggap melewati tatanan adat yang berlaku dan lebih merupakan pencatutan nama lembaga adat.

“Kami sengaja mengundang Kang Uday Suhada, karena beliau yang mendampingi masyarakat Baduy dalam musywarah lembaga adat yang dihadiri unsur pemerintah,” tutur Japra selaku koordinator diskusi.

Dalam diskusi, Uday memaparkan harapan kolektif masyarakat Baduy hasil musyawarah adat pada 11 dan 18 Juli lalu. Permintaan pertama, yaitu agar Pemerintah Pusat dan Daerah, kalangan jurnalis, peneliti, pengguna media sosial dan masyarakat pada umumnya mengganti istilah Wisata Baduy menjadi Saba Budaya Baduy.

Uday menekankan, “paradigma wisata menjadikan sesuatu sebagai objek. Berbeda dengan saba yang menempatkan mereka sebagai subjek. Konsep saba ini bermakna saling menjaga dan melindungi.” Selain itu, ia juga mengingatkan, masyarakat Baduy bukanlah masyarakat terasing yang menutup diri, tapi relatif membangun interaksi positif dengan masyarakat luar.

Perubahan paradigma wisata menjadi saba budaya juga merupakan salah satu harapan masyarakat Baduy, sebagaimana diatur dalam Peraturan Desa Kanekes nomor 1 tahun 2007 tentang Saba Budaya dan Perlindungan Masyarakat Adat Tatar Kanekes (Baduy) yang disusun Jaro Dainah selaku Jaro Pamarentah pada 15 Juli 2007.

Menurut Uday, yang perlu dilakukan Pemerintah Pusat dan Daerah adalah membantu menegakkan Perdes tersebut agar sistem kunjungan saba budaya bisa dimaksimalkan untuk mendorong dinamika sosial yang bermartabat dan menjunjung tinggi nilai manusia dan kemanusiaan.

Selain dua harapan tersebut, masyarakat Baduy juga berharap Pemerintah Pusat dan Daerah dapat mengakomodasi kebutuhan pengadaan buffer zone untuk bisa membantu melindungi leweung kolot, hutan adat, dan tanah titipan. Juga, agar pemerintah bisa mengakomodasi kebutuhan pencantuman Selam Sunda Wiwitan di kolom agama KTP mereka.

Editor: Redaksi

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

One Comment

  1. Ongkarana sangtabean, pukulun sembah Rahayu. Ahung mangandeg ahung madegdeg. Lebak ulah diruksak, gunung ulah dilebur. Kuntul sauyunan, gagak sagalengan, walik sagiringan. Kudu bisa sareundeuk saigel, sabobok sapehanean. Kudu bisa ka cai jadi saleuwi, ka darat jadi salegok. Kudu bisa silih asuh, silih asah, jeung silih asih.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button