Kabar

Baduy: Dari Persoalan Tanah Adat, Politik Keagamaan hingga Pariwisata

Catatan Diskusi Girang #5

KOTA SERANG, biem.co – Orang Baduy adalah petapa. Sebagai petapa, mereka harus menjauhkan diri dari pembangunan dan modernitas. Hal ini membantah pendapat umum tentang asal-usul orang Baduy sebagai pelarian dari Padjajaran. Begitu kata Peneliti Baduy dari UIN SMH Banten, Ade Jaya Suryani dalam Diskusi Girang#5 yang digelar Laboratorium Banten Girang, Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) Provinsi Banten, dan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Provinsi Banten dan biem.co, Senin (13/07/2020) lalu.

Dalam perjalanannya, banyak persoalan yang kemudian membelit warga Baduy. Kondisi tersebut sudah terjadi sejak masa Kesultanan Banten berdiri. Persoalan utamanya terkait dengan luas tanah adat yang mereka miliki tidak sebanding dengan pertumbuhan penduduk sehingga membuat warga Baduy mencari lahan garapan di luar tanah ulayat.

Sebelum Kesultanan Banten berdiri, tanah ulayat Baduy membentang dari Ciboleger hingga Pantai Selatan Banten. Namun, tanah ulayat itu kemudian menjadi lebih sempit saat masa Kesultanan Banten. Adanya perjanjian pada masa itu, menyebabkan tanah ulayat orang Baduy tergerus dan kini hanya tinggal 5.136,58 hektar saja. Selanjutnya, pembatasan wilayah itu pun mendapat persetujuan pemerintah Kolonial Belanda dan terus berlaku hingga Indonesia merdeka. Sementara, setengah dari tanah tersebut adalah hutan tertutup dan setengahnya lagi untuk perkebunan dan pemukiman.

“Tanah adat yang sudah dibatasi tadi, tidak dapat menampung penduduk Baduy. Hingga sebagian memilih membuat permukiman dan perkebunan di luar tanah adat,” tutur pria yang sedang menempuh program doktor di Universitas Leiden Belanda ini.

Akibat lain dari tidak sebandingnya luas tanah dengan pertumbuhan penduduk, orang-orang Baduy akhirnya menggarap ladang-ladang non-Baduy di berbagai kecamatan di Kabupaten Lebak. Mereka tinggal dan menggarap lahan milik orang lain selama 10-20 tahun. Kondisi tersebut, menurut Ade seperti yang ia tulis dalam disertasinya yang berjudul “Pindah Agamanya Ornang-Orang Baduy, Etnisitas dan Politik Keagamaan di Indonesia, telah menjauhkan orang Baduy dari etnisitas mereka.

“Puncak dari persoalan tanah adalah ketika mereka bergabung dengan proyek nasional “Pemukiman Suku Terasing” sejak tahun 1977. Dipimpin Jaro Samin, sekitar 1000-an orang Baduy bergabung dengan program itu, walau kemudian sebagian dari mereka kembali lagi ke tanah Baduy,” ujar pengajar Antropologi Agama tersebut.

Orang Baduy yang pindah ke permukiman di luar tanah ulayat Baduy, kata Ade, selanjutnya tidak diakui oleh kokolot Baduy sebagai orang Baduy. Sebab menjadi Baduy, didefinisikan oleh orang Baduy sebagai keturunan Baduy dan tinggal di atas tanah ulayat Baduy. Orang-orang Baduy yang mengelola ladang di luar tanah ulayat Baduy, meski sudah puluhan tahun tinggal di kebun-kebun di luar tanah Baduy, masih diakui oleh kokolot Baduy sebagai orang Baduy karena mereka tidak memiliki rumah di luar tanah ulayat.

“Oman Sachroni, Bupati Lebak saat itu, hendak membagikan sertifikat tanah kepada orang Baduy. Oman mengatakan, kalau orang Baduy yang berada di permukiman sudah tidak diakui sebagai orang Baduy. Jikalau ingin tetap diakui, mereka harus memilih satu agama dari lima agama yang diakui oleh pemerintah,” lanjut Ade.

Konsep agama yang dipaksakan membuat orang Baduy tertekan. Kondisi ini menarik para misionaris Kristen yang kemudian membaptis orang Baduy. Kabar orang Baduy masuk Kristen tersiar kepada komunitas Muslim. Dai-dai Muslim–yang berasal dari Muhammadiyah, Al Washliyah, Jamaah Tablig dan Pesantren Al Amin–kemudian datang untuk menyebarkan Islam. Kemungkinan sekitar 1000 orang masyarakat Baduy masuk Islam dan 120 orang masuk kristen protestan.

“Sejak awal pemukiman di tahun 1977, orang-orang Baduy menjadi perebutan Muslim dan Kristen. Dari sekian ribu orang Baduy di permukiman baru itu, sekitar 120 orang masuk Kristen Protestan, seribuan masuk Islam, dan sebagian lagi meninggalkan permukiman dan kembali menganut Slam Sunda Wiwitan,” kata lelaki yang lahir di Kecamatan Cibaliung Kabupaten Pandeglang ini.

Baduy dan Pariwisata

Tidak seimbangnya pertumbuhan penduduk dengan luas tanah, masyarakat Baduy mengadapi kesulitan secara ekonomi. Pada tahun 1988-1992, Sekretaris Desa Baduy (Kanekes) Jusen mengusulkan kepada pemerintah Lebak agar Baduy dijadikan objek wisata. Kokolot Baduy mengizinkan tanah Baduy jadi tujuan wisata dengan perjanjian bahwa wisatawan akan menghormati adat Baduy.

“Untuk menandai itu, tahun 1990 sebuah patung keluarga Baduy menyambut wisatawan didirikan di Terminal Ciboleger. Namun, patung tersebut tidak mencerminkan orang Baduy, karena orang Baduy tidak membawa atau menggunakan cangkul, sebagaimana patung itu. Namun, peralihan status wilayah ini memaksa masyarakat Baduy menyiapkan diri kepada wisatawan yang akan datang. Mereka membangun WC dan warung untuk berjualan yang kemudian menjadi persoalan baru,” tandas Ade.

Baduy sebagai tempat wisata kemudian menciptakan dilema sendiri bagi eksistensi warga Baduy.disatu sisi, wisata telah memberikan masukan secara ekonomi. Namun di sisi lain, interaksi dengan masyarakat luar menjadi semacam godaan bagi masyarakat Baduy untuk meninggalkan tradisi, nilai-nilai dan mengubah dirinya menjadi masyarakat yang lebih modern. Pada akhirnya dimungkinkan pada suatu nanti Baduy hanya menjadiidentitas yang diperuntukkan sebagai barang jualan tanpa nilai-nilai yang diwariskan leluhurnya.

Diskusi yang dilaksanakan sebagai salah satu upaya untuk mengisi kegiatan-kegiatan yang bersifat positif. Diskusi sudah berlangsung lima kali ini lebih mengkhususkan pada kajian-kajian tentang masyarakat Banten, baik sosial, budaya, politik dan lainnya. (Rizal)

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button