Opini

Romi Afriadi: Pemuka Agama Penyulut Kemerdekaan

biem.co – Ketika pemerintahan Indonesia mengumumkan secara resmi logo kemerdekaan Indonesia yang ke-75 beberapa hari menjelang perayaan kemerdekaan, banyak individu, kelompok, dan ormas yang protes karena beranggapan logo itu mirip lambang salib, simbol dalam agama Kristen.

Seiring kasak-kusuk dan heboh soal itu merebak, pihak istana langsung mengonfirmasi dan membantah bahwa apa yang tampak dalam logo itu sama sekali bukanlah tanda salib. Bukan pula ditujukan untuk merendahkan dan mengagungkan agama tertentu. Pemerintah menyatakan, logo itu adalah desain super grafik yang terdiri dari sepuluh elemen. Masing-masing elemen itu memiliki makna dan filosofi tersendiri.

Kegaduhan di atas setidaknya dengan jelas kembali memperlihatkan sikap kebanyakan orang Indonesia yang masih sulit menerima dan menghargai perbedaan. Sebagai agama mayoritas di negeri ini, Islam memang selalu ingin lebih superior ketimbang agama lain. Belum lagi seruan beberapa ustaz dan pemangku agama yang kadang memelintir suatu ayat dalam kitab suci, sehingga biasanya semakin mengobarkan kemarahan dalam dada kaum muslim atas masalah serupa ini.

Barangkali umat Islam merasa terganggu atau tersinggung, lalu merasa peranan para pemuka agama Islam dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia pada zaman kolonial dulu seakan diabaikan. Bicara soal ini tidak akan pernah habisnya. Meminggirkan pengaruh ulama jelas suatu kemustahilan. Tak akan pernah muat catatan untuk mengurut dan memasukkan nama-nama di bidang itu.

Salah satu keunggulan ulama dalam penggerak kemerdekaan ialah kemampuannya memobilisasi massa. Ulama berkesempatan mengubah mindset atau sudut pandang orang banyak, sehingga dengan demikian jiwa nasionalisme tumbuh dalam hatinya. Lebih kurang itulah yang pernah dicontohkan KH Hasyim Asy’ari ketika mendirikan sebuah Pondok Pesantren yang hari ini kita kenal dengan nama Pesantren Tebuireng.

Ironisnya, KH Hasyim Asy’ari memilih mendirikan pesantren di kawasan yang terkenal dengan sarang maksiat, bukan tempat dan lingkungan yang agamis. Para pemuda di sekitar Tebuireng pada masa itu lebih disibukkan dengan judi dan miras. Namun perlahan-lahan, tempat itu yang mulanya gersang dari ilmu agama menjadi berkembang dan disulap menjadi basis kekuatan untuk meruntuhkan kekuatan dan pengaruh Belanda yang sudah berlangsung berabad-abad.

Apa yang dilakoni pendiri Nahdatul Ulama (NU) itu memang menjadi ranahnya ulama, yakni berdakwah. Mengajak dan menyeru untuk berbuat kebaikan lalu menjadikan senjata dan bibit perlawanan untuk berjihad melawan kekuasaan Belanda. Dalam masyarakat modern seperti sekarang, dakwah memang bisa diartikan secara luas dan diaplikasikan dalam banyak metode. Namun di masa kolonial, perspektif masyarakat terhadap dakwah masih sangat sempit. Dakwah juga hanya bisa dilakukan segelintir orang yang punya pemahaman dan keilmuan, agaknya Hasyim Asy’ari paham betul dengan kondisi yang sedang terjadi.

Meski dalam konteks, metode, dan waktu yang berbeda. Di tempat lain, pengaruh ulama juga tampak nyata memengaruhi massa. Di Aceh ada Daud Beureuh, sosok ulama karismatik yang sangat banyak mendorong perubahan untuk kemerdekaan Indonesia. Tanpa Daud Beureuh yang turun tangan, barangkali rakyat Aceh akan ogah menghadiahkan pesawat Seulawah untuk bangsa Indonesia semasa pemerintahan Bung Karno. Itulah pesawat pertama yang dimiliki Indonesia dalam catatan sejarah.

Nama di atas hanyalah segelintir dari berseraknya nama ulama yang turut berjasa dalam mengusir kaum penjajah. Namun agar lebih objektif, kita juga perlu mencermati para pemuka agama di luar Islam itu sendiri. Jumlahnya barangkali tak sebanyak para ulama yang menyebar di seluruh pelosok tanah air, tapi kontribusinya tidak bisa juga kita abaikan dalam catatan. Ketulusannya berjuang dengan tulus dan mati-matian mengobarkan semangat kemerdekaan kiranya juga layak untuk diapresiasi. Albertus Soegijapranata, misalnya.

Panggilannya Soegija, ia pemuka agama Katolik yang melawan tanpa bedil dan bambu runcing. Ia seorang rohaniwan yang berupaya agar tidak terjadi pertumpahan darah dengan melakukan usaha gencatan senjata dalam Perang Lima Hari di Semarang, beberapa bulan sesudah proklamasi dibacakan Soekarno-Hatta. Soegija jelas bukan orang sembarangan. Ia uskup yang memimpin di saat negeri kita masih berstatus tanah jajahan. Tentu diperlukan alasan kuat saat itu sehingga Soegija berhasil mendudukinya.

Berkat keuskupan itu pula yang membuat banyak umat Katolik Jawa mau mendukung perjuangan dan kemerdekaan Indonesia. Dalam catatan penerbit di bukunya Soegija 100% Indonesia (2012) yang ditulis oleh sastrawan Ayu Utami dijelaskan, Soegija juga turut menjadi diplomasi bagi kemerdekaan, salah satunya meminta agar Vatikan mendukung RI. Dalam hal ini, apa yang dilakukan Soegija tak jauh berbeda dengan apa yang diperbuat Hasyim Asy’ari dan para ulama terkemuka lainnya. Mereka memanfaatkan kekuasaan, kepintaran, dan pengaruhnya demi Indonesia yang merdeka.

Menengok fakta di atas, seharusnya permasalahan kecil seperti kemiripan logo kemerdekaan dengan simbol agama tidak perlu terlalu dipermasalahkan. Memandang agama lain sebagai kebencian tentu tidak sesuai dengan ajaran mana pun. Jangan kiranya menyemai bibit konflik disaat kita seharusnya bersatu demi menyongsong kemajuan.

Tapi bukannya logo itu hanya simbol satu agama? Tentu tidak adil dengan corak Indonesia yang beraneka ragam agama. Ditilik dari satu sudut pandang, pertanyaan itu benar, namun bisa jadi tidak benar dan bermakna lain andai logo itu mirip dengan simbol agama Islam. Jika itu terjadi, hemat saya, tingkat kegaduhan-kegaduhan akan sangat kecil. Kalau pun ada, protes dan suara-suara keberatan juga tidak akan terlampau nyaring. Karena umat agama lain memang hanya minoritas yang acap kali tertindas.

Apa hal yang mesti dipetik? Pemerintah perlu belajar dalam kasus ini. Perlu juga mencermati agar tidak terulang di lain kesempatan. Walau kemungkinan apa yang terjadi pada logo kemerdekaan ke-75 itu merupakan sebuah kebetulan yang tanpa disengaja dan disadari. Pemerintah seharusnya sudah mengkaji dan menguji secara berkala sebelum meluncurkan dan menampilkan ke publik agar tidak tercipta polemik. Jangan sampai itu menimbulkan kecemburuan dan keberpihakan di mata publik yang mengarah kepada suatu kelompok, suku, ras, dan agama tertentu.

Persoalan agama, memang acap kali ditanggapi sensitif bagi banyak kalangan. Sejak dulu-dulu bahkan, amarah mudah tersulut jika sudah menyangkut kepercayaan dan keimanan. Seakan manusia berlomba-lomba ingin membela Tuhan masing-masing, menunjukkan pembenaran dengan berlindung pada dalil-dalil. Toleransi tak dimaknai betul-betul.

Jika sudah begini, saya ingat dengan Gusdur. Pasti ia terkekeh-kekeh menyaksikan fenomena ini andai ia masih hidup. Pemerintah yang bertugas mengatur negara jelas punya tanggung jawab dan andil dalam menjaga keutuhan bingkai nasionalisme rakyatnya. Jangan kiranya persoalan tentang agama ini dianggap remeh-temeh lalu dikelola dengan main-main.

Kita masih ingat, bagaimana pergesekan agama bisa memicu perang yang berkepanjangan. Konflik Ambon tahun 1999 dan konflik Poso di Sulawesi Tengah tahun 2000, barangkali yang paling melekat dalam memori kolektif kita. Di belahan bumi lain, hal serupa juga tak luput terjadi, ada yang melibatkan perseteruan dua negara. Perselisihan India dan Pakistan juga ada unsur sentimen keagamaan. Dua negara yang pada awalnya adalah bekas jajahan Inggris itu memilih jalan berbeda setelah merdeka. India menjadi pusat agama Hindu, sedangkan penganut Islam dominan di Pakistan. Gegara itulah, dua negara berselisih paham dan mencipta perang.

Kita semua pasti bersepakat, kemerdekaan Indonesia tidak pernah dicapai dengan mudah, penuh perjuangan darah, harta, serta air mata. Banyak orang terlibat sehingga bendera merah putih bisa berkibar dengan bebas di udara. Banyak golongan yang dengan gagah menghalau jejak dan tapak kaki bangsa penjajah yang memorak-porandakan peradaban Indonesia berabad-abad lamanya. Banyak episode kelam selama itu. Pembodohan, penindasan, dan kebebasan dikurung. Rakyat menghabiskan hari dalam gubuk reot dan tanah-tanah berkubang.

Dengan perjuangan seperti itu jangan kiranya kita bertikai tersebab agama. Bukankah momen kemerdekaan yang kita peringati sekali setahun ini merupakan sebagai reminder untuk bersama? Pengingat getirnya bangsa ini di tangan penjajah. Kemerdekaan, jika hanya dimaknai dengan simbol dan lambang semata hanya akan menemukan kehampaan. Sedianya setiap merayakan kemerdekaan, semangat nasionalisme senantiasa lebih menguat dalam diri serta mengakar dalam jiwa dan sanubari. (*)


Romi Afriadi dilahirkan di Desa Tanjung, Kampar, Riau 26 November 1991. Menamatkan studi di Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Suska Riau. Menulis cerpen dan esai yang beberapa diantaranya dimuat di media online.

Saat ini, penulis tinggal di Desa Tanjung dengan mengabdi di sebuah sekolah Madrasah Tsanawiyah, dan menghabiskan sebagian waktu dengan mengajari anak-anak bermain sepakbola di sebuah SSB, sambil sesekali tetap menulis apa saja yang menurutnya penting.

Penulis bisa dihubungi lewat email: [email protected]  atau akun Facebook Romie Afriadhy.

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button