Kabar

Seri Diskusi Girang ke-12: Menakar Pemertahanan Bahasa Jawa Banten

KOTA SERANG, biem.co — Dalam catatan sejarah Banten (Kesultanan), Banten terbentuk dari ragam budaya, baik itu budaya lokal yang sudah ada maupun yang datang sebagai akibat hadirnya Kesultanan Banten dan perkembangan wilayahnya. Interaksi ragam budaya tersebut akhirnya memungkinkan budaya Banten hari ini, khususnya Bahasa yang digunakan masyarakatnya menjadi beragam. Salah satu contoh paling nyata adalah penggunaan Bahasa Jawa Banten yang digunakan sebagian besar masyarakat yang berada di Serang, Cilegon dan sebagian Tangerang.

Seiring waktu, eksistensi Bahasa Jawa Banten telah mengalami pergeseran, disamping karena desakan urbanisasi, perkembangan teknologi informasi yang hampir mengaburkan batas admintratif juga memungkinkan pengaruh-pengaruh baru masuk ke wilayah Banten. Hal ini seperti terungkap dalam Seri Diskusi Girang yang merupakan kerja sama antara Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Banten, Laboratorium Banten Girang, Ikatan Pustakawan Indonesia dan biem.co.

Diskusi virtual seri Diskusi Girang yang ke-12 menghadirkan narasumber Siti Suharsih (Dosen FKIP Unirta Serang) yang membahas pemertahanan bahasa Jawa Banten dan dipandu oleh Yulia Rehan Faradisa (Mantan Dewan Perpustakaan Provinsi Banten).

Menurut Siti Suharsih, pilar utama pemertahanan bahasa adalah keluarganya. “Kalau orang tuanya tidak mengajarkan bahasa daerahnya pada anak-anaknya, ini membuka jalan untuk pergeseran bahasa, juga pengurangan vitalitas bahasa daerah,” jelasnya di awal diskusi.

Vitalitas atau daya hidup suatu sebuah bahasa merupakan konsep untuk menakar keberlangsungan sebuah bahasa. Menurut UNESCO, terdapat enam tingkatan vitalitas bahasa, mulai dari safe (stabil), unsafe (cukup rentan), definitively endangered (rentan), severely endangered (sangat rentan), critically endangered (kritis), dan extinct (punah). Menakar vitalitas bahasa bertujuan untuk bisa menentukan kebijakan yang tepat untuk pemertahanan bahasa yang bersangkutan.

Dari sistem kemasyarakatannya, kondisi kebahasaan di Provinsi Banten tergolong diglostik (multilingual) karena banyak ragam bahasa yang dituturkan masyarakatnya. Menurut identifikasi bahasa dari Kantor Bahasa Banten, terdapat komunitas tutur bahasa Jawa Banten, Sunda Banten, Lampung Cikoneng, Melayu Benteng, dan Betawi yang ada di Provinsi Banten.

Menurut Suharsih, keragaman bahasa daerah di Banten bisa memperkaya kosakata penuturnya. Namun, negatifnya, pencampuran kosakata ini bisa menjadi indikator penurunan penggunaan bahasa, pergeseran, hingga bisa memungkinkan adanya kepunahan bahasa. “Awalnya mungkin hanya campur kode, mulai dari pencampuran kosakata lalu alih kode. Namun, yang sudah berbahaya adalah jika penutur jatinya kehilangan sikap positif terhadap bahasa tersebut,” ujar Suharsih.

“Sak ayu-ayune wedok, nek ngomong Jaseng ki ayune ilang,” Suharsih mencontohkan ungkapan yang ia temui saat meneliti Jawa Banten dan menurutnya, itu amat merendahkan bahasa Jawa Banten. Ungkapan itu umum di masyarakat tutur Jawa Banten, yang kerap menghubung-hubungkan bahasa dengan kecantikan, bahkan status sosial.

Sikap positif terhadap suatu bahasa amat menentukan bagaimana sebuah bahasa bisa bertahan. Penelitian Suharsih menunjukkan bagaimana bahasa Jawa Banten bisa bertahan di lingkungan keluarga karena 86,15% dari total 340 respondennya masih menggunakan bahasa Jawa Banten saat berkomunikasi dengan anggota keluarga.

Namun, di akhir diskusi, Suharsih menunjukkan pewarisan bahasa Jawa Banten kepada anaknya tergolong kecil, yaitu 69,84%. Hal ini juga dipengaruhi oleh pandangan bahwa bahasa Jawa Banten tidak memiliki posisi strategis dalam kaitannya dengan bertahan hidup, seperti melamar kerja. Terutama di wilayah pemerintahan, industri dan pariwisata, masyarakat tutur bahasa Jawa Banten lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia atau memperkuat keterampilan berbahasa asing.

Hal lain, menurut koordinator seri diskusi girang Jafra, harus ada upaya untuk mendorong kebanggaan masyarakat terhadap bahasa daerah. “Jika kita masyarakat sudah menganggap bahasa daerah sebagai bagian identitas dirinya dan bangga dengan dengan identitas tersebut, maka dengan sendirinya ia akan menggunakan bahasa lokal dalam komunikasi sehari-hari” tandasnya. (Nanda/red)

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button