Puisi

Sajak-Sajak Muhammad Daffa

 

MENGEJA KEBERANGKATAN

Kau silih ingatan datang berganti ke dalam diriku. Tubuh yang lama lupa aroma pulang.
Kita kembali meramu percakapan. Kelindan tahun berhalimun.
Aku pengeja yang acap gugur menyigi namamu. Nama yang lahir dari bibir para pemuja.
Kau masih menghafal tubuhku sebagaimana dulu kau kenakan cinta maha biru.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Kau  adalah jarak yang retak di antara simpang-siur kabar
ketika musim menyerpih murka,  percik dendam beribu bunga

Surabaya, Januari 2021

 

HUJAN BIRU

Hujan biru datang berlagu. Hujan biru kenangkan aku nawaitu baru.
Cinta menyamar lekuk sintal, pagut kesekian di penghujung sabtu.
Ada nyanyi deras menghilir, merasuk ke bilik jantung
Rapal mantra lelaki bangsat. Gampang kepincut joget patah-patah

Hujan biru. Hujan nawaitu. Kenalkan padaku biduanita baru
Yang semalam menggoyang panggung hingga birahi matang
Menjelang dinihari. Mabuk badan. Mabuk goyangan.

Surabaya, Januari 2021

 

MAULIDAN RAHMAN PENYAIR KAMBUHAN

Seorang biduanita mencarimu ke pasar raya
Lekuknya mengingatkanku pada orkes semalam suntuk
Diisi joget patah-patah

Si biduanita mengaku diri sebagai Hesti,
pecandu cium yang menyuguhkan hasrat bercinta di malam minggu

Surabaya, Januari 2021

 

EPISODE DARI SEBUAH KALAM YANG TAK SELESAI DIBACAKAN

Trah pertama itu, Nuh, telanjur mujur di jalur timur
Ketika bah setinggi gunung melenyapkan umat berjuta

Maka dibangunnya lagi kisah baru
Sepasang musafir yang kepingin melihat mukjizat

Katanya, “tiada kalam bagi kalian
sebab itu temui sajalah Malin yang telantar bersimbah ampun.”

Surabaya, Januari 2021

 

HARI KUTUKAN

Pekerja-pekerja pulang petang setelah sibuk mengumpat berkas yang bergentayangan di meja kerja
Pekerja-pekerja sibuk mengemas petang, mengemas apa yang masih terasa geram di kedalaman dada
“kota-kota terus bertumbuhan, sementara kami telanjur dikutuk sebagai pencatat berkas menumpuk seharian”

Surabaya, Januari 2021

 

WORK FROM HOME

Duh, sayangku, jangan lagi ucapkan anu ketika kubilang ingin jamah seluruhmu
Jangan lagi bilang anu ketika kuingin mengaji semarak tubuhmu
Tubuh yang menepis bising kota dan antrean kendaraan

Bukankah selalu kukatakan di awal minggu
Bagaimana cara terbaik memulai bercinta
Menyanggupi deraan demi deraan yang ditimbulkannya tiba-tiba?
Kita bertukar hangat saban malam, bercakap tentang rencana tualang
Yang  tak semuanya dituliskan

Selalu kuhafal semarak tubuhmu meredup-padamkan hasrat
Kecupan panjang mengantarkanku pada segala yang tetap hakikat di balik syahdu syahwat

Surabaya, Januari 2021

 

SEORANG LELAKI YANG KEMBALI

Seorang lelaki datang beserta nyanyian murung. Menyapamu sebagai minggu yang kesepian.
Lelaki itu barangkali seorang tokoh dari negeri dongeng yang merasa bosan
Memutuskan berkelana ke dunia baru yang tak pernah dikenalnya: sebuah kota dengan lanskap menyala
Ia melamar bayanganmu dan seluruh rahasia yang pandai menyimpan suara, lalu mendatangi aku
Terpekur pada huruf yang bergentayangan saban hari bertukar luka, bertukar lupa
Adakah ia wahyu yang mendadak tersesat, ataukah ia semacam intuisi dari pengembara
Yang silap memilah arah datang sekaligus pulang?

Surabaya, Februari 2021

 

RUMAH SEMUA PENYAIR

Kau melebur dalam sajak ini, mencari perempuan yang hidup dari puisi
“aku inginkan sebuah rumah dalam tubuh kekasih, dipahat ornamen tanda seru”
Kau berkata seraya menamparku berkali-kali, berharap aku segera terbangun
Dari kemabukan dunia. Tapi aku sudah tak mampu lagi bermabuk dalam bait kesucianmu
Sebab minggu telah tercuri dari semua negara, dan perempuan yang mengubur kecantikannya
Ke dalam puisi, tak lagi dapat kutemukan. Hanya aroma tubuhnya yang membaur bersama keramaian
Duka mengambang di ungu lanskap, sesudah kematian panjang sebuah puisi
Terlempar dari mesin ketik manual

Surabaya, September 2020

 

PENYAIR DAN SURAT-SURAT AKHIR PEKAN

Kau huruf-huruf , berebut lapar dari tubuhku
Tamu yang menolak suguhan mimpi pagi hari dan selembar catatan kaki memilih bungkam

Kau huruf-huruf yang mencari masa silam dari tubuhku, tubuh yang diam
Dalam surat-surat tak dikirimkan, tahun-tahun mengutukmu
Tak ada pintu bagi perih bayanganmu yang tanggal

“Siapa yang menjemputmu dalam antrean penghujan lalu?”

Seorang puisi akan hidup berkali-kali, tak mati
Dibuai kangen

Huruf-huruf  mencari laparku
Pada seluruh perumpamaan yang berpaling ke dalam lamunan ibu

Di mana sisa kenangan
Yang dulu kau awetkan?

Adakah ia mengendap
Dalam segelas anggur
Memilih mabuk
Tinggalkan sepasang kangen
Di udara yang condong pada jantung musim? 

Jangan cari aku
Dalam hingar puisi ini
Bunuh kesepianmu
Kubur bangkainya
Di pekarangan ibu
Semalam suntuk meratap minggu yang sengkarut

“ Jangan kubur aku
Dalam kesepianmu
Sebab apa yang kutuliskan
Akan dijemput huruf-huruf
Berebut laparku

Lapar
yang
menanggung

kutuk para penyair”

Di tubuhku, sepasang kangen
Mencari wajah paling murni
Dari kesepian kita

Menikam kegelapan luka!

Surabaya, September 2020

 

EPILOG SUMBI

Bagaimana  akan kukatakan padamu, Sumbi, guncang segala gunung
Laut dipahat tangan-tangan gaib, bentang bagi sepinggan luka
Bacalah wajahku dan sekujur mimpi yang gelinjang
Tenun kesedihanku dengan benang-benang kayangan
Sebelum terkubur kecantikanmu
Di antara bahasa Ibu yang memeram dendam kemudian

Bukankah kau ingin hapus segala kenang
Berpeluk duka-cita para dewa
Gugurkan lembayung merah jambu dari rekah kelopak matamu
Bawa tubuhku ke peraduan sunyi, menjamah malam ditanak ragu

Katakan, Sumbi, mengapa tak kau labuh kesedihanmu
Ke tangan jagat dewa batara? Adakah ia menyentuhmu
Sebelum kusentuh seluruh yang kau miliki? Adakah tubuhmu
Menjelma kegaiban kayangan
Ketika aku terbuang dalam neraka kutukan?

Apa yang jatuh sebagai kutuk
Bukanlah muasal dari luka berpucuk
Cinta memilihmu dalam bahasa cemas
Sedangkan aku hanya mendekam di balik kata-kata seorang penyair
Menunggumu dengan kakawin tujuh ratus tahun kematian

Surabaya, September 2020


Muhammad DaffaTentang Penulis: Muhammad Daffa, lahir di Banjarbaru, Kalimantan Selatan, 1999. Puisi-puisinya tersiar di sejumlah surat kabar dan antologi bersama. Buku puisi tunggalnya berjudul TALKIN (Penerbit Teras Budaya, 2017) dan Suara Tanah Asal (Penerbit Teras Budaya, 2018). Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Airlangga, Surabaya. Bergiat di Kelas Puisi Bekasi (KPB).

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button