biem.co – Senja itu. Gerimis datang tanpa harus diundang merintik menyerupai benang-benang sutera yang berjatuhan dibawa udara, namun setelahnya menyisakan pelangi melengkung para bolis di langit. “Sssssssst,” desis yang ke luar dari bilah mulut perempuan berwajah merona, selanjutnya ia bergumam “Apa maksud dari pembicaraan engkau Mahesa, kekasihku?” Mahesa seketika terdiam setelah dirinya berbicara tentang perpisahan pada Melinda. Kursi panjang terbuat dari kayu di bawah pohon Jacaranda tempat mereka duduk bersampingan seakan turut terdiam mengikuti sepasang kekasih yang sedang menikmati degup jantung mereka masing-masing.
Mahesa menghela napas, matanya yang kosong memandang pepohonan Jacaranda yang berjejer di sepanjang jalan di hadapannya. “Coba kau lihat Lin, begitu indahnya bunga Jacaranda, namun ketika angin menerpanya maka bunga itu berjatuhan, gugur ke bumi,” lirih suara Mahesa seakan aral sedang melintang di hatinya. “Lantas?” ujar Melinda, heran. Pasang mata Mahesa dan Melinda bertemu tatapan selanjutnya Mahesa merundukkan kepalanya dan menjatuhkan pandangannya pada bunga Jacaranda yang bergeletakkan di hadapannya kemudian menoleh Jacaranda yang tumbuh di belakang bangku yang mereka duduki. “Aku ibaratkan kelopak Jacaranda yang indah seumpama cinta, namun pada suatu saat kelopak Jacaranda akan berguguran ke bumi. Begitu pula dengan cinta kita yang sekarang dirasakan indah tetapi cepat atau lambat akan bernasib sama seperti halnya kelopak bunga Jacaranda,” lirih suara Mahesa seperti sedang menghiba.
Melinda terhenyak, tak lama berselang ia tersenyum memamerkan gugusan giginya yang berjejer rapi serta lengkung kedua bibirnya yang indah laksana pahatan para Dewata. “Tidakkah kau ketahui bahwa dari bunga Jacaranda yang berguguran itu, terdapatlah biji Jacaranda; dari situlah Jacaranda tumbah bersemai dan lestari. Jadi kau tak usah merisaukan hal yang sia-sia, kekasihku. Begitu pula dengan cinta kita yang akan terus menerus bermekaran seperti bunga Jacaranda.”
Mereka berpelukan disaksikan oleh Jacaranda yang sedang bermekaran.
*
Pada bulan Desember. Bunga Jacaranda yang ungu kebiru-biruan sedang bermekaran, namun kali ini Melinda yang bergaun pengantin duduk di bangku kayu sendirian tanpa kehadiran Mahesa, kekasihnya. Melinda memperhatikan Jacaranda yang bergerak-gerak di sentuh angin. “Jacaranda mengingatkanku pada cerita-cerita keindahan di surga, konon Jacaranda tumbuh juga di sana?” Melinda tersenyum sepertinya ia sedang mendamba.
Sesaat kemudian Melinda terhenyak dalam pikirnya adakah Jacaranda di alam sana di alam keabadian, suatu alam yang penuh misteri—yakni alam kehidupan setelah kematian. “Teruntuk kekasihku yang telah berada di alam nun jauh, semoga kau dapat menemu Jacaranda di sana seperti halnya aku di sini,” desah suara Melinda yang terisak.
“Desember ini merupakan bulan yang telah kita putuskan berdua untuk melaksanakan ikrar suci, perhelatan pernikahan aku dan kau—kekasihku, Mahesa. Kau begitu takut kehilanganku, namun kenyataan yang terjadi justru aku yang kini kehilanganmu. Kau mengalami kecelakaan tunggal bobil sedanmu terperosok ke dalam jurang, kala itu setelah kau ikrar pada bulan ini kau akan menikahiku, kau dan aku akan sama-sama duduk di atas kursi pelaminan,” Melinda terisak matanya berkaca-kaca tak lama berselang air mata jatuh dari pelupuknya.
Angin sepoi menerpa pepohonan Jacaranda sehingga menggugurkan helai-helai bunganya; dan setiap helai bunga yang jatuh mewakili kesedihan Melinda yang sedang mengenang kekasihnya. Jacaranda berjejer berdiri mematung merana seakan mereka bersedih, Jacaranda merunduk gemerisik, seperti sedang menangis.
Bunga Jacaranda yang ungu kebiru-biruan kian kelabu menyerupai wajah beris kesedihan. Dari bunga Jacaranda yang mesih setia menempel di ranting pohonnya kemudian gugur melayang ringan ditiup angin menuju tanah—terkapar menjadi humus membentuk dan mewarnai tanah kian kecokelatan. Melinda menatap dedaunan Jacaranda yang hijau muda pucat pasi laksana wajah yang lesu.
Sepasang kekasih muda-mudi melintasi Melinda yang sedang duduk termangu seoarang diri.
“Lihat Kang, perempuan itu gila ya? Duduk seorang diri dengan gaun pengentin,” bisik sang Gadis.
“Sssssssst, katanya ia gila, sebab ditinggal mati pacarnya,” sang Perjaka memberi keterangan.
Rupanya percakapan sepasang kekasih tersebut terdengar oleh Melinda, namun Melinda tidak marah, malah ia tersenyum.
“Kalian masih muda, bau kencur. Belum mengerti arti cinta sejati. Tahukah kalian cinta hanya bisa dibayar dengan cinta.”
Di tempat yang sepi sepasang kekasih tersebut berciuman bibir.
“Kalian belum mengerti bahwa cinta tidak bisa dibayar oleh ciuman bibir, bahkan cinta tidak bisa ditukar dengan seks sekalipun,” gumam Melinda sambil menatap bekas jejak-jejak langkah sepasang kekasih itu.
Selang beberapa saat, sepasang kekasih paruh baya melintasi Melinda.
“Perempuan itu bernama Melinda, ia nggak bisa move on. Padahal laki-laki bukan hanya satu di dunia,” bisik perempuan paruh baya pada kekasihnya.
Namun, lelaki paruh baya itu enggan mengomentarinya, ia hanya melirik pada Melinda, barangkali lelaki paruh baya yang satu ini merasa kagum pada kejelitaannya.
Lagi-lagi bisikan perempuan paruh baya tersebut terdengan oleh Melinda dan ditimpalinya dengan senyuman.
Tetapi, di dasar hatinya terdalam, perempuan paruh baya yang satu ini merasa gamang sebab kekasihnya yang sekarang merupakan suami perempuan lain dan tentunya perempuan paruh baya dipergunjingkan para tetangganya sebagai pelakor alias perempuan perebut lelaki orang.
“Wahai perempuan dan laki-laki paruh baya, diusiamu yang sekian belum pula mengerti tentang cinta. Ketahuilah oleh kalian cinta hanya dapat ditebus dengan cinta,” keluh Melinda.
Di kejauhan samar terdengar suara keributan “dasar kau perempuan jalang perebut suami orang, dan laki-laki hidung belang yang tak cukup puas dengan satu perempuan. Bedebah kalian,” suaranya riuh rendah.
Melinda memunguti bunga-bunga Jacaranda yang berserakan lantas memejamkan pasang matanya dan menarik napas secara perlahan, wangi bunga mulai memenuhi isi kepalanya, berpendar melesat kemudian melesat menyerupai anak-anak panah menancap di uluhatinya, menyisakan kepedihan yang kemudian menggelontorkan air matanya, menggenangi kedua bilah pipinya yang bening dan putih.
“Kekasihku, bersama keranuman bunga Jacaranda aku setia menantimu di sini, cinta tidak bisa ditukar oleh apa pun dan kau adalah cintaku. Aku berjanji jika Tuhan mengasihku umur panjang, maka di atas dunia ini aku tidak akan menikahi seorang lelaki namun aku hanya akan menikahi cinta, dan itu adalah kau.”
*
Setiap senja Melinda dengan mengenakan gaun pengantin mendatangi tempat itu hanya duduk seorang diri di atas sebuah kursi yang dirindangi bunga Jacaranda. Bunga Jacaranda yang ungu kebiru-biruan kian kelabu menyerupai wajah beris kesedihan. Dari bunga Jacaranda yang mesih setia menempel di ranting pohonnya kemudian gugur melayang ringan ditiup angin menuju tanah—terkapar menjadi humus membentuk dan mewarnai tanah kian kecokelatan. Melinda menatap dedaunan Jacaranda yang hijau muda pucat pasi laksana wajah berisi kesedihan. Hingga rambut Melinda memutih, kulitnya kian keriput, giginya satu-per-satu copot, keranuman masa muda telah pergi darinya tergantikan masa tua yang penuh kerentaan.
*
Pada suatu senja di dunia lain. Mahesa duduk termangu di bawah sebuah pohon berbunga ungu kebiru-biruan, pohon tersebut disebut pohon Surgawi. Dari arah belakang seorang lelaki bertubuh dilimpahi cahaya menghampiri Mahesa, sambil menepuk pundak Mahesia ia berkata, “Sudahlah Mahesa, kau tak usah lagi bermuramdurja, kekasihmu Melinda belum pula datang menemuimu, nanti suatu saat ia akan datang menjadi pengantinmu. Akan tetapi sebelum waktunya tiba kau boleh memilih para bidadari yang kau suka, semuanya ada di sini,” bisiknya begitu lembut.
“Ketahuilah olehmu bahwa cinta hanya bisa ditukar oleh cinta. Segala hal yang kau tawarkan hanya menyangkut hasrat berahiku, dan itu bukanlah cinta. Kau tidak bisa menukar cinta dengan seks sekalipun, dan aku hanya menikahi cinta,” lugas suara Mahesa.
Banten, 29-12-2020
Tentang Penulis: Agus Hiplunudin lahir di Lebak-Banten, cerpennya telah tersiar pada berbagai media massa di antaranya Swarasa Sastra, Majalah Sagang, Biem. Co, Koran Madura, Satelit News dan lainnya. Adapun karya penulis yang telah diterbitkan yakni:
– Kumpulan Cerpen Edelweis Merbabu yang Merindu 2019, Spektrum Nusantara
– Kumpulan Cerpen Lelaki Paruh Baya yang Menikah dengan Maut 2019, Spektrum Nusantara
– Kumpulan Cerpen Uke Damarwulan, Guepedia Publisher, 2019
– Kumpulan Cerpen Babi Ngepet, Guepedia Publisher, 2019
– Kumpulan Puisi Nya 2019, Spektrum Nusantara
– Novel Dendam yang Indah 2018, Jejak Publisher
– Novel Orang Terbuang 2019, Spektrum Nusantara
– Novel Derita 2019, Spektrum Nusantara
– Novel Cincin Perak 2019, Spektrum Nusantara
– Novel Awan 2019, Spektrum Nusantara.