CerpenInspirasi

Cerpen Ank Ariandi: Lelaki Gila itu Mengaku Pahlawan

Oleh Ank Ariandi

Awal pertemuanku dengan lelaki gila itu adalah ketika suatu siang. Selepas zuhur, ketika jam istirahat kantor, di sebuah kedai tempat aku dan teman-teman sekantorku biasa nongkrong, aku melihatnya tengah bersitegang dengan seorang lelaki penjual mie ayam.

Mulanya, aku tak begitu tertarik dengan Si Gila yang dandanannya seperti gabungan antara pengemis, tentara veteran, dan marbot itu. Namun ketika ia berteriak-teriak kepada si bapak penjual mie ayam dengan suara beratnya yang menggelegar, mengaku-ngaku sebagai pahlawan, lama-kelamaan sikap acuhku terusik juga.

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

“Heh.. Bangsa Gagal!” bentaknya kepada si lelaki penjual mie ayam. “Gua ini Mayor Saptari, pahlawan dari Sukabumi! Gua ini yang mimpin pasukan Siliwangi berangkat ke Jogja waktu Jogja diserang Belanda! Gua ini yang mager-betis pasukannya Kartosuwiryo di gunung Geber waktu De-I Te-I-I punya niatan bikin negara. Nah sekarang, masak gua cuma minta mie ayam dua mangkok aja elu orang ampe kagak terima?! Ck.. ck.. ck..! Bener-bener kebangetan Loe jadi orang! Cih!” bentak si lelaki tua itu dengan dada yang kembang-kempis dan nafas ngos-ngosan.

“Bukan gitu, Pak…”

Halah.. jangan banyak bacot dah lu! Pokoknya elu orang, gak bisa ngehargain orang-orang yang udah punya jasa sama negara. Gitu aja, titik!!!”

“Bukan gitu, Pak. Saya kan belom penglaris…”

“Halah.. kebanyakan cing-cong Loe! Cuih!!”

Setelah menyempatkan diri meludahi gerobak mie ayam, lelaki yang mengaku sebagai Mayor Saptari itu pun ngeloyor pergi.

Kalo tahu bakalan kayak gini, nyesel amat dulu gua ampe bela-belain masuk hutan keluar hutan, makanin daun-daunan sama minumin aer ujan, cuma bela-belain orang kayak beginian? Puih!!” gerutunya.

Dengan langkah yang sarat dengan dendam dan kekecewaan, siang itu, kusaksikan Mayor Saptari terhuyung-huyung ke seberang jalan. Ia duduk termangu di bawah sebuah tiang lampu jalan yang doyong ke kanan. Dengan kepala tertunduk, didekapnya senapan plastik dalam pelukannya penuh sesalan, seperti seorang ibu yang menidurkan anaknya dalam buaian.

  Selang berapa lama, aku pun menghampiri si tukang mie ayam. Memesan semangkuk, lalu duduk dan menyalakan rokok sambil menunggu pesanan datang.

“Itu tadi kenapa, Pak?” tanyaku berbasa-basi.

Gak tahu tuh, Mas, Orang gila. Dateng-dateng ngaku baru pulang abis ngusirin penjajah dari Bayah, ke Sagaranten, terus ke Bandung, Malangbong, sampe Jogja disebut-sebut lha, e… ujung-ujungnya malah minta dibungkusin mie ayam dua mangkok. Dasar orang gila!”

“Dua mangkok…?”

“Iya, Mas. Katanya sih buat istrinya…”

“O…”

Aku tercenung. Tiba-tiba, diam-diam hati kecilku mendadak kagum pada Si Gila yang mengaku-ngaku sebagai sosok pahlawan itu. Bahkan di dalam kegilaannya, nyatanya ia masih punya waktu untuk mengingat istri yang dicintainya. Tak sepertiku.

Maka tersinggung oleh kegilaannya yang mendidik itu, tergopoh-gopoh aku pun merogoh saku celana katunku, mengirim SMS. pada istriku, dengan pipi yang agak merah si buah jambu: “Mau mie ayam ga, Mah?” tulisku.

Sepi.

Ah, mungkin istriku sedang mencuci, pikir batinku.

Selesai mengirim SMS, semangkuk mie pun disodorkan. Kutoleh dengan ekor mataku, Si Gila yang mengaku-ngaku sebagai pahlawan itu kini terlihat tengah menimang-nimang senapan plastiknya penuh kesedihan. Siang itu ia benar-benar seperti seorang ibu yang tengah meninabobo kan bayinya dalam buaian.

Melihat gelagatnya yang demikian, hati kecilku lantas bergumam: “Lelaki itu pasti telah kehilangan banyak hal karena perang… Hm…”

Setelah pesanan datang, sambil melahap mie ayam, Si Gila yang mengaku-ngaku sebagai pahlawan itu terus saja kuperhatikan. Ada-ada saja kelucuannya. Namun ketika ku toleh di seberang jalan, dan ia menodongkan senapan plastik yang ia bawa ke pelipisnya sendiri yang tinggal tulang, ah, rasanya aku benar-benar telah kehilangan selera makan.

“Bungkus dua lagi deh, Pak,” pesanku kepada si tukang mie ayam, tak sabar ingin menghampiri Mayor Saptari di seberang jalan.

Sambil menunggu pesanan, kusaksikan ia kini memasukan moncong senapannya ke dalam mulut, sementara tangan kirinya terus melambai-lambai ke tiap orang.

Setelah dua mangkuk mie ayam pesananku itu lulus kubayar, buru-buru aku pun bergegas ke seberang jalan. Dan karena orang gila hanya dapat diakrabi oleh orang gila juga, maka siang itu aku pun menjelma menjadi orang gila darurat, sebisanya.    

“Merdeka, Bung…!” pekikku sambil mengepalkan tangan ke udara.

Ia tergeragap. Aku tak mengira bahwa ia akan menyambut salamku dengan pekikkan yang tak kalah gegap-gempita:  “Sekali merdeka, tetap merdeka! Hidup merdeka!” balasnya, sambil menegapkan sikap tubuhnya, seakan lupa dengan moncong senapannya yang tadi ia todongkan ke dalam mulutnya.

“Bagaimana kabar Jogja, Bung?” tanyaku serius.

Ia tak segera menjawab. “Sebentar.. Bung dari batalyon mana? Kompi berapa?”

Eu… anu.. Saya pasukan Hisbulloh, Bung, pimpinan Ajengan Ukar Sukarna..” jawabku sekenanya.

“O… jadi Bung bukan Te-En-I, ya? Hm… tapi tak apa-apa. Yang penting sama-sama berjuang, membela negara,” ujarnya. “Kenalkan.. (ia menyodorkan tangannya) Mayor Saptari.. Jogja aman!”

Siang itu, sambil duduk santai di atas trotoar, aku dan Si Gila terlibat percakapan maha serius seputar peperangan demi peperangan. Tentang orang-orang yang bersamanya di dalam perang, tentang hal-hal pedih yang dialami kesatuannya ketika perang, tentang kesetiaan dan pengkhianatan yang ia alami sepanjang perang, pun tentang ratusan kesedihan yang masih tersimpan di ingatannya selama perang. Singkatnya, cerita Mayor Saptari di siang itu tak jauh-jauh seputar perang.

Di sela-sela keseruannya menceritakan segala hal yang telah dialami dan dilaluinya itu, pada sebuah jeda, aku pun menyodorkan dua bungkus mie ayam yang terbungkus kresek hitam, karena takut kalau-kalau mie ayam itu lantas kehilangan kehangatan, atau malah semakin mengembang sebesar-besar lipan.     

“Eu.. maaf sebentar, Bung, ” kataku. “Bung Te-En-I ini kan sudah berperang ke mana-mana, jadi pasti capek lha, ya..?  Makanya, ini saya bawakan mie ayam buat Bung Te-En-I, mending Bung Te-En-I makan dulu!”

Seketika, ia mengerem mendadak dongeng perangnya. Matanya yang coklat begitu berkilat memandangi bungkusan mie ayam yang kusodorkan. Lalu tanpa diduga, ia bangkit dari duduknya yang tenteram itu, lantas menodongkan moncong senapan plastiknya ke arah mataku yang sebelah kanan, memaksaku berpura-pura mengangkat tangan.

“Lho.. ada apa ini, Bung? Ini saya bawakan mie ayam memang sengaja buat Bung Te-En-I. Ini bukti terimakasih saya buat pahlawan-pahlawan yang mau berjuang seperti Bung! Ayolah, Bung. Jangan tegang begini!”

“Sersan Oji mati diracun!” Bentak Mayor Saptari. “Kamu pasti mata-mata De-I Te-I-I!” desaknya.

“Waduh.. saya ini tidak punya niatan buruk seperti itu, Bung..”

“Kamu jangan macam-macam dengan Mayor Saptari!”

“Eu… eu… Sa.. sa.. saya tidak berniat macam-macam, Bung!” Mayor Saptari semakin menekankan moncong senapannya ke pelipisku. Setelah suasana hening sejenak, saya pun mencoba menenangkan Mayor Saptari yang sedang kalap.

“Begini saja, Bung, bagaimana kalau saya cicipi dulu mie ayamnya ini biar Bung percaya, sesudah itu, Bung boleh makan. Bagaimana?”

“Ya sudah, cicipi!” sergahnya.

 Dengan kondisi perut yang lumayan begah, aku pun mencicipi mie ayam itu bungkus demi bungkus, sambil menyembunyikan senyuman: “Hm.. ternyata menjalani hidup sebagai orang gila itu lebih seru dari yang aku duga...”

Selesai mencicipi keduanya, dan Mayor Saptari menangkap bahwa keadaanku sehat-sehat saja, maka perlahan-lahan kecurigaannya pun berangsur reda.

Ia menarik senapannya. Tanpa bicara sepatah kata, ia pun kembali duduk dan memeluk kembali senapan plastiknya. “Sersan Oji mati diracun,” katanya lagi. “Sebagai tentara, instingku sudah terdidik untuk waspada!”

Di bawah keteduhan pohon kedaung, kusaksikan Mayor Saptari begitu lahap menyeruput mie ayam yang kusodorkan. Seperti orang yang belum makan berbulan-bulan, ia melahap mie ayam itu hanya dengan satu tarikan nafas.  

Bagaimana, Bung, enak mie ayamnya?”

“Ini lebih enak dari kopra yang biasa kami curi dari rumah rakyat! Haha..!” jawabnya sambil mengelap kuah mie yang belepotan menyampahi kumis-jenggotnya.

Lho.. memangnya Bung Te-En-I suka mencuri kopra rakyat juga tho?” godaku. Ia mendelik.

“Ya tapi kan rakyat pasti maklum lha…” kelitnya. “Kami berjuang masuk hutan keluar hutan, kan buat kemerdekaan seluruh rakyat juga? Ya kalo mau dibanding-banding, nilai perjuangan kita sama setengah karung kopra punya rakyat, ya enggak ada artinya apa-apa lha ya?! Iya gak?!”

Ia kembali menyeruput sisa mie ayamnya. Setelah mie dalam plastik itu pun benar-benar tandas sampai kuahnya, ia pun kembali berkata-kata.

“Sebenarnya bukan cuma kopra, Bung! Singkong, jagung, ketimun, pisang, pokoknya kalau kami lapar, kebun rakyat pun kami embat. Ini bagian dari perjuangan. Kamu pasukan Hisbulloh pun pasti begitu lha… iya kan?”

Aku tergeragap.. “Oh.. iya..iya, Bung! ya pasti lha. Haha..!”.

“Ya sudah! Cepat lha kau makan mie-nya. Keburu dingin, nanti tak enak!” sergahnya.

Aku tercenung barang sejenak. “Eu.. anu, Bung. Ini mie ayam memang sengaja saya bawa dua, Bung. Satunya lagi, siapa tahu buat istri Bung di rumah kepingin juga! Saya sudah makan tadi.”

Mayor Saptari, demi mendengar ucapanku yang mengingatkannya dengan sang istri, wajahnya yang coklat seketika saja mendadak pucat. Seperti ada sebuah kekuatan sihir yang melingkupi keheningannya selepas aku mengucap itu. Siang itu, Si Gila yang sedari tadi begitu gagah dengan seragam veteran dan senapan plastiknya, tiba-tiba kini berubah seperti sebuntal kapas yang tersiram air keadaannya. Melempem.

“Eu.. saya minta maaf kalo saya salah bicara, Bung..”

Mayor Saptari menangis.

“Tak apa-apa. Saya yang salah. Saya yang salah karena terlalu mencintai negara sampai-sampai teledor dengan istri saya yang begitu mencintai saya. Padahal, saya yakin  istri saya itu begitu mencintai saya, lebih dari negara mencintai saya. Saya yakin itu, Bung. Dan saya baru menyadarinya sekarang-sekarang ini, karena ternyata, bahkan ketika saya lapar pun, negara yang saya perjuangkan tidak bisa berbuat banyak kepada seorang pahlawan seperti saya..”

“Jangan begitu lha, Bung..”

Barang sesaat, keheningan pun merambat-rambat. Sesuatu seperti tengah berkecamuk di dalam diri Mayor Saptari.

“Istri saya gantung diri di kamar mandi. Mungkin karena keseringan saya tinggal membela negeri. Padahal, saya sudah bilang berkali-kali, kalo negara sudah merdeka, saya gak bakalan pergi ninggalin dia lagi!”. Dan suasana semakin sunyi.

Setelah sehelai angin melenggang lewat, dan sebutir air mata kusaksikan meloncat merayapi pipinya yang penuh gurat, Mayor Saptari lantas tertunduk merayakan kelelakiannya yang mulai sekarat.

“Ambillah senapan ini, Bung. Anggap saja ini sebagai balasan atas kebaikan Bung kepada saya. Siapa tahu, senapan ini nanti berguna.” Dengan tangan hampa, Mayor Saptari lantas menyerahkan senapan plastik kebanggaannya, lalu pergi dengan seplastik mie ayam yang terpanggul di balik punggungnya.

“Lho.. Jangan begitu lha, Bung. Perang kita ini kan belum selesai, Bung?! Ayo lha, Bung?!” godaku.

“Saya sudah tidak mau peduli lagi. Pokoknya, saya mau mengantarkan mie ayam ini ke istri saya..” jawabnya kuyu, lalu melengos seperti debu disapu angin. Terus melayang sampai tikungan.

Aku hanya bengong memerhatikan Mayor Saptari. Sambil mendekap senapan plastik pemberiannya, mataku terus mengawasi kepergiannya. Aku menarik-narik pelatuk senapan plastiknya penuh tafsiran. Lantas, setelah seluruh tubuh Mayor Saptari itu benar-benar lenyap dilahap tikungan, kutengok jarum jam di tangan kiriku; ah.. sialan. Jam satu lewat! Aku kesiangan masuk ke kantor!

Pontang-panting aku pun berlari menyeberang jalan sambil membawa senapan plastik seperti pahlawan. Pahlawan kesiangan!

Sesampainya di pintu kantor, karena mustahil membawa-bawa senapan plastik Mayor Saptari itu ke dalam kantor, maka senapan plastik wasiat itu pun aku baringkan di tempat sampah.

Aku terus berlari.

Melewati anak-anak tangga, sambil mengingat wajah sang Mayor yang penuh cerita, tiba-tiba telepon genggam di saku celanaku bergetar hebat. ternyata sebuah pesan singkat: “Kamu salah minum obat?!” tulis istriku. (*)

Kembangan-Jatipadang


Ank Ariandi, lahir di Sukabumi, April 1984. Belajar menulis di Akademi Sastra Tangerang (ASTRA), yaitu sebuah wadah kepenulisan yang diselenggarakan atas kerjasama Dewan Kesenian Tangerang dan Komunitas Sastra Indonesia (KSI). Kini tinggal di Jakarta sebagai tenaga creative di sebuah production house. Telp: 0877 8646 0611 email: [email protected].


Rubrik ini diasuh oleh M. Rois Rinaldi.

Editor: Andri Firmansyah

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button