Cerpen

Cerpen Robbyan Abel R: Kisah Seorang Pembaca Tua dan Seorang Penulis Tua

Sulistyo

Majalah itu umurnya sudah sejak jaman kolonial dan masih aktif sampai hari ini, bahkan setiap minggunya, mereka akan mengirim sebanyak belasan ribu cetak ke berbagai daerah. Seperti namanya; Panjebar Semangat.

Karena majalah ini pula, nama Sulistyo melambung. Setiap kali Panjebar Semangat datang ke meja pembaca, mereka segera melontarkan pertanyaan penasaran pada halaman cerita yang ditulis Sulistyo: “Apa yang ditulis Sulistyo hari ini?”

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Sulistyo sering memaksakan diri menulis meski harus sambil berbaring di tempat tidur bilamana kambuh sakit struknya. Walau demikian, istrinya tidak pernah membujuknya agar berhenti menulis. Semulanya hubungan Sulistyo dan istrinya adalah sekadar hubungan antar penggemar dan idola, kini berlanjut sebagai pendamping seumur hidup. Mungkin atas dasar kenangan itulah, istrinya merasa sungkan bila menyuruh Sulistyo berhenti menulis.

Sementara dari pihak majalah, sering meminta supaya Sulistyo sebaiknya beristirahat di rumah saja. Mengingat usia dan kesehatannya begitu mengkhawatirkan. Namun, mereka tahu upaya ini menjadi sia-sia belaka. Sulistyo sangat dihormati oleh perusahaan, begitu juga oleh para penulis junior lainnya, sehingga setiap Sulistyo bersikukuh bekerja kendati tidak digaji, mereka akan membiarkannya.

Anwar

Hanya di perpustakaan pribadinyalah Anwar dapat merasa diremajakan. Di dalam perpustakaan yang seluas mata memandang itu, berisi berbagai macam buku dan arsip sejarah, dan yang paling penting, majalah yang dikoleksinya sejak usia lima belas tahun: Panjebar Semangat.

Tidak tanggung-tanggung, Anwar bahkan membelikan sebuah lemari sangat lebar dan sangat panjang untuk menyimpan koleksi majalahnya itu. Nyaris semua halaman disukainya. Tidak ada barang satu halaman pun yang dilompati oleh Anwar. Meski itu adalah halaman iklan.

Namun di antara semua halaman, rubrik cerita milik Sulistyo yang paling membuatnya senang. Bisa dibilang, satu-satunya yang membuat Anwar berusaha bertahan hidup, bahwa dirinya masih ingin membaca tulisan-tulisan dari majalah itu dan menyelesaikan akhir cerita dari setiap seri yang dituliskan penulis idolanya tersebut.

Walau demikian, Anwar sebenarnya sudah menyadari usianya akan segera berakhir sejak ia mulai sering melihat penampakan malaikat berpakaian serba putih di ambang pintu kamarnya. Anwar percaya benar, bahwa dirinya sedang diintai oleh sesosok makhluk yang diutus untuk mencabut rohnya.

Pembaca Tua dan Penulis Tua

Selang beberapa saat setelah suara mesin mobil berhenti di depan kantor, Anwar bersama seorang ajudannya masuk dan mengucapkan salam pada para penghuni kantor. Di sisi lain, dengan mengerahkan seluruh tenaganya, Sulistyo yang mengetahui akan kedatangan tamu segera bangkit dari kursi kerjanya dan menghampiri Anwar.

Mereka saling melayangkan senyum bagai veteran tentara yang terpisah di medan perang dan dipertemukan kembali dalam acara reuni besar. Sambil menjaga pinggangnya agar tidak keseleo, Sulistyo mengatur tempat mengobrol sedemikian rupa untuk Anwar.

Saking bersemangatnya, mereka memulai percakapan dalam waktu yang bersamaan. Mereka membicarakan kisah-kisah kerajaan kuno sampai ke berbagai masalah kehidupan orang tua. Orang-orang yang ikut duduk di sekitar mereka, yang semulanya mengetahui pangkal pembicaraan itu, mulai menyerah dan membiarkan mereka mengalirkan percakapan semau mereka.

“Dari semua yang aku katakan…” kata Anwar seakan hendak menceritakan maksud kedatangannya.

“Nah, begitu! Langsung saja. Pasti ini tidak begitu penting,” Sulistyo menyela seperti tidak peduli dengan tamunya yang tiba-tiba bersikap serius.

“Aku jauh-jauh dari Solo masak bawa berita ndak penting,” Anwar berkelakar lalu disambut deru tawa orang-orang yang mulai bosan mendengar keasyikan mereka berdua, “Begini, mataku sudah tidak terlalu tajam membaca kalimat.”

Sulistyo menganggukkan kepala bagai langsung mengerti perkataan Anwar. Meski tanpa diberitahukan sekali pun, Sulistyo sebenarnya sudah bisa menebak: dari kacamata Anwar yang tebal, serta matanya yang menipis dan berair – lalu semakin berair setiap kali mereka tertawa.

“Aku mau meminta izin berhenti berlangganan majalah. Kurasa anak-anakku tidak pula ada yang girang membaca,” Anwar kembali menyeka air matanya dengan tangan keriput yang lemah, “mulai Minggu depan, sebaiknya kalian tidak usah lagi mengirim majalah ke rumahku. Aku takut kalau kalian mengirimnya, terutama tulisanmu, kawan,” katanya sambil menepuk pundak Sulistyo, “hanya akan berakhir di tempat yang tidak semestinya dan itu tidak boleh terjadi.”

Sulistyo terbahak-bahak mendengar pengakuan penggemarnya itu. Anwar menatap Sulistyo dengan heran. Begitu juga dengan orang-orang di sekitar mereka yang kembali antusias.

“Aku pikir ini bukan kebetulan belaka. Minggu depan aku juga mau menulis cerita untuk edisi terakhirku di Panjebar Semangat.”

Anwar dan begitu juga orang-orang yang mendengar pengakuan Sulistyo tertawa secara serentak. Mereka larut dalam keharmonisan tanpa meninggalkan kesan sedih sepeser pun pada hari itu. Kisah perpisahan antara Sulistyo dan Anwar justru lebih menyerupai lembaran pertama untuk pertemuan-pertemuan bahagia selanjutnya.

“Tapi sebelum kamu pulang,” kata Sulistyo dengan setengah berbisik. Anwar mencondongkan tubuhnya hingga membuat jarak antara telinganya dan bibir Sulistyo hanya setipis kertas, “apakah kamu bisa melihat sosok berpakaian serba putih di balik pintu itu?”

Sontak Anwar terperenjat setelah menoleh ke pintu masuk yang ditunjuk Sulistyo. Nyaris tidak menduga pertanyaan itu akan keluar, ia bertanya balik: “Kamu juga bisa melihatnya?” tanya Anwar coba memastikan, nadanya gemetar.

Sulistyo mengangguk, kemudian berkata, “sosok itu sering berdiri di ambang pintu kamarku. Sepertinya dia adalah malaikat yang akan menarik roh kita dalam waktu dekat.”

Kini, orang-orang mengenang kisah keduanya sebagai kisah seorang pembaca tua dan seorang penulis tua yang berbahagia. ***


*cacatan: cerita ini terinspirasi dari Panjebar Semangat, sebuah majalah mingguan berbahasa Jawa yang pertama kali terbit pada tahun 1933 dengan tokoh pendirinya Dr. Soetomo.


Tentang Penulis:

Robbyan Abel R, penulis berasal dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Pernah berkuliah di Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Airlangga. Sejumlah karyanya berupa cerpen dan artikel diterbitkan berbagai media daring dan cetak. Juga bergiat di Komunitas Akarpohon Mataram.

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button