Seperti Kekosongan
engkau datangiku dengan tatapan hening
sebuah kesedihan diucapkan lewat mata
matamu–sepasang meteor yang membawa
kehancuran bagi kebahagiaanku
aku menerka bahwa kau ‘kan katakan
sesuatu yang membuat hatiku pedih
serupa luka basah dan kau sentuh
“aku sudah selesai denganmu,”
lalu degup jantungku, nada minor untuk
perpisahan kita. bernyanyilah!
lirik-lirik kecewa; seperti yang kau harapkan
“pergilah, bahkan jejak kakimu–hapuslah!” kataku
engkau tinggalkanku sendirian
seraya terdengar langkah samar
dan punggungmu,
aku ingat pelukan
apakah kau tak belajar: cara mengucapkan
selamat tinggal dengan benar?
2020
Membunuh yang Lain
dalam aku, ada aku yang lain
ia tak punya nama
hanya sifat yang beda
ia seperti pembuluh darah
tapi bukan, serupa derap jantung
tapi lambat, umpama napas
tapi berhenti
ia tak bisa dibandingkan
dengan apapun, kecuali kesedihan
tapi ia bisa merindu, dan rindu
selalu membuatnya murung
lebih murung dari bocah yang
balon hijaunya meletus
ia berbicara dengan bahasa kecemasan
katanya, bahasa itu diturunkan
dari nenek moyang yang
bernama kesunyian
aku ingin membunuhnya. tapi kapan
waktu yang tepat ‘tuk
menikamnya diam-diam, sebab ia
berteman dekat dengan malam
bagaimana kalau aku bunuh diri?
apakah ia ikut mati?
2020
Baca Juga
Tusuk dan Biarkan
darah ini, akan menujumu
seperti aliran sungai masa kecil
masihkah kau ingat
nama sungai itu?
jangan
jangan kau cabut pisau ini
dari dadaku
biarlah kurasa, bagaimana cinta yang
sembrono menusuk
ketulusan dan kesetiaan
sedangkan kau pura-pura bersedih
melihatku seperti
hewan terkapar ini
air matamu dan darahku menyatu
membentuk aliran sungai
hilir ialah kasih, sedangkan
muara adalah penderitaan
jangan
jangan kau cabut pisau ini
dari sakitku.
2020
Teringat Tonggeret
lagu mengubah musim
ketika langit menguning
malam menyergap
kau tak henti bernyanyi
ada yang tertinggal dalam ingatan
entah nyaring atau bising
tapi seluruh pohon menari
sebuah ekstravaganza digelar
tapi tak satupun yang datang
ritual pemanggil kemarau
gugur semua
padahal masih betah di penghujan
ingin menggigil sambil melihat
sayapmu mengepak
di pohon itu
biasanya kau berdiam
menunggu seseorang
atau
mempersiapkan ajal
suaramu muncul setelah
17 tahun disembunyikan.
2020
Anjing Kekhilafan
terimalah cinta
yang gonggong ini, ibu
suatu waktu akan tercatat
tentang kecemasan kasih sayang!
akankah kau tolak pinangan?
sadarlah, anakku
hutan ini yang mengajarimu berbicara,
melangkah, juga menyayangi orang lain
tak perlu kujelaskan asal usulmu
cerita hanya sekadar
bahkan setelah selesai.
tapi, ibu
kaulah satu-satunya wanita
keberlangsungan kehidupan
dan
kepastian kematian
apakah dosa-dosaku dihapus langit?
sampai orang-orang kota
datang lagi ke rumah kita
kau pun tetap anakku
jangan sangkal lagi
dengan kalimat yang kuajarkan padamu
“ibu, bukankah seluruhmu bagian dariku?”
2020
Pesan Singkat yang Panjang
handphone seperti sebuah kota
dengan penduduk yang aneh
dan kau salah satu dari mereka
matamu madu, bibirmu apel
setiap pagi, kau bangun dengan
tubuh putih dan tangan biru
menuju kamar mandi
kau temukan
jejak kaki dengan bercak darah
yang menghitam
siang naik, aftab berdiri
dengan kakinya yang api
orang-orang mulai lapar dan memakan
bekal: nasi merah dan daging gagak
langit menjelma pohon
dan
senja merupa buah matang
cemas dan bimbang berdatangan
dari arah ragu
sebab, malam telah datang dan kau
mulai mengirim pesan dengan takut
yang berlebihan
huruf-huruf berbaris
dengan wajah muram seumpama
kemasygulan ditahan
tubuhku berdering
ternyata pesan darimu:
di punggungku
seorang anak berlari
memanggil namamu
dan menangis
apakah kau mengenalnya?
kubalas dengan:
ia adalah janin
yang kita gugurkan.
2019
Baca Juga
Mustamik
tak ada yang tahu
di dalam loket
ada kereta berbentuk tiket
atau tidak
tapi pedusi itu berusaha meyakinkan kita
bahwa pergi adalah ibu yang terkunci
jembatan penuh kerikil
menjelma rel renta
seharusnya tinggal nama
dan
dikenang sepagan pahlawan
tapi stasiun tetap
menampung air mata
sol sepatu menuju pintu
dan
bokong menutup mata
ketika bangku direkatkan
siapa itu yang lalu-lalang?
selamat tinggal!
ini anjingmu aku beri makan apa?
dia suka daging anjing
jendela adalah mikrofon
merekam percakapan
yang tak pernah tersimpan
aku menjadi seorang mustamik licik
di sampingku ada laki-laki tua
memegang kitab suci
aku melirik matanya
dan
di sana ada surga
sudah berapa lama waktu lewat
dan tak kita tangkap?
2019
Tentang Penulis:
Sadewo. Lahir di Medan 2 Desember 1999. Mahasiswa Pend. Bahasa Indonesia FKIP UMSU. Belajar menulis di FOKUS. Puisinya dimuat Tempo, Riau Pos, Haluan Padang, Bali Post, Banjarmasin Post, Rakyat Sumbar, Analisa, Buruan.co, Kibul.in, Apajake.id, Buletin Lamun, Buletin Filokalia, dan Buletin Lintang.
Puisinya juga termaktub dalam antologi Syair Maritim Nusantara (2017), Tugu, Anggrainim, dan Rindu (2018), Kunanti di Kampar Kiri (2018), Merdeka dari Pusaran Narkoba (2018), Puisi untuk Lombok & NTB (2018), Membaca Asap (2019), Lelaki yang Mendaki Langit Pasaman Rebah ke Pangkal (2019).
Selain kuliah, kesehariannya ialah melatih teater, membuka perpustakaan jalanan, dan menjadi pembicara di berbagai diskusi sastra. Menjuarai beberapa perlombaan: Juara I Baca Puisi IMM FKIP UMSU (2018), Juara II Cipta Puisi Sastradisi FIB USU (2018), Juara III Cipta Puisi Ulang Tahun Kota Pematangsiantar (2018), Juara II Baca Puisi IMM FAPERTA UMSU (2020). Menetap di Medan.