Cerpen

Cerpen Agus Hiplunudin: Drupadi

biem.co – Tidak banyak kata yang dapat aku ungkapkan. Yang jelas engkau bagiku serupa senja yang menorehkan jingga di langit. Rekahmu bagai mawar yang sedang meranum. Setiap kata yang terlantun dari bibirmu adalah puisi terindah yang pernah aku dengar. Lenggok dan liuk tubuhmu adalah tarian terindah yang pernah aku lihat. Segalamu adalah indah bagiku.

demikian isi surat yang diberikan Arjuna pada Drupadi, yang dikirimkan melalui merpati putih itu.

Mendapat sanjungan seperti itu, dari kesatria yang dicintainya Drupadi senyum-senyum sendiri ia pun menulis sebua surat;

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Kesatriaku, sedikit tanyaku; bukankah cinta hanya memuja raga?

            Demikian isi surat itu.

Drupadi pun keluar dari dalam Istana Panchala, menyelipir ke belakang, menghampiri sebuah sangkar menyerupai saung kecil yang mungil, seekor merpati putih keluar dari sana, terbang ringan dan hinggap di pundak jelita Drupadi, dengan anggun Drupadi menyodorkan surat itu, merpati pun mengerti, dan membawa terbang surat itu ke Istana Indraprasta, tempat berumahnya Arjuna dan keepat saudaranya, Puntadewa, Bima, Nakula, dan Sadewa, dan ditemani seorang ibu anggun Ibu Kunti.

Adinda Drupadi, surat darimu telah kuterima. Sungguh cinta bukan sekedar memuja raga. Kendati dirimu berubah tubuh dan wajah beratus kali, aku tetap mencintaimu. Cinta bagai air sungai yang menggelontor, jernih, hening, dan menyejukan. Bila hujan datang air sungai menjadi keruh, namun sifat dasar air sungai tetap jernih, percayalah air sungai yang keruh itu akan kembali menjadi jernih. Demikianlah cinta.

Demikian balasan dari Arjuna.

*

Malam itu. Drupadi¹ tak dapat memejamkan matanya, karenanya ia tercenung di bibir ranjang, cintanya hanya terpaut pada Arjuna. Begitu pula dengan Arjuna, ia pun amat mencinati Drupadi. Namun, Drupadi masih menyimpan sebuah keraguan, karenanya kesucian cinta Arjuna terhadap dirinya harus diuji. Itu juga untuk menguji kata-katar Arjuna dalam suratnya, yang menyanggah; bahwa cinta bukan hanya sekedar memuja raga.

Namun, Drupadi masih bingung, dengan cara apa dirinya harus menguji cinta Arjuna terhadap dirinya?

Drupadi memang sosok putri sempurna, selain jelita, ia pun cerdas. Sebuah gagasan telah bersarang dalam kepalanya. Drupadi tersenyum, lampu kamar istana yang dipakai Drupadi pun meredup karena semburat rekah bibirnya.

Drupadi teringat; ketika dirinya bertindak ceroboh dengan memakai kalung teratai itu, yang tak lain merupakan kalung kutukan cinta Amba terhadap Bisma yang tergantung di gerbang Istana Panchala. Ia pun dimurkai ayahandanya, Prabu Drupada. Dan untuk menebus kesalahannya—Drupadi diusir ke dalam hutan, di sana Drupadi melakukan olah tapabrata yang berat, sehingga Batari Durga turun membarinya sebuah mantra.

“Telah saatnya mantra dari Batari Durga aku gunakan,” gumam hati Drupadi.

Karena jalan keluarnya telah didapatkan, hati Drupadi pun kian tenang, ia pun berbaring, matanya terpejam, tubuhnya terdiam, dan wajahnya hening, sehening langit yang disinari purnama.


¹ Catatan khusus: Dalam Epos Mahabharata, Drupadi dinikahi kelima Pandawa (Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa) setelah Arjuna memenangkan sebuah saembara. Sedangkan para Pandawa telah bersumpah akan membagikan segala hal, secara merata, karenanya Drupadi pun; dinikahi bersama.

***

Malam jumat keliwon, dimana bulan sedang purnama. Anjing-anjing hutan melolong melengking panjang. Kucing-kucing hitam dengan sorot matanya yang bersinar berlarian dalam hutan seperti sedang mengejar iblis. Burung-burung hantu bertengger pada dahan-dahan dengan suaranya yang merindingkan bulu tengkuk. Dua ekor burung gagak hitam melayang ringan di udara, matanya yang tajam mengarah pada sebuah pura, seakan di dalam pura itu ada sebujur bangkai yang akan mengenyangkan perutnya.

Dalam pura itu, tampak seorang perempuan dengan kecantikan seindah purnama sedang duduk semedi, ia sedang melakukan sembahyang tapabrata memuja patung Batari Durga yang berada di hadapannya.

Tampak dari ubun-ubun patung Batari Durga keluar asap tipi seperti kabut, kemudian asap itu lama-kelamaan menjadi tebal, bergulung, dan menjelma menjadi sosok jelita. Batari Durga turun dari Kayangan Gondomayit, dan kali ini menampakan wujudnya dalam rupa Dewi Uma, seorang Mahadewi dengan kecantikan tiada tara.

“Putriku, Drupadi sudah bulatkah hatimu?” Dewi Uma dengan suaranya yang lembut, ia telah mengetahui keinginan Drupadi.

“Ibunda, Mahadewi. Ini semua aku lakukan bukan untuk suatu kejahatan. Namun, untuk sebuah pembuktian, bahwa Arjuna suci dalam mencintaiku.”

“Putriku, Durupadi. Bunda kabulkan permintaanmu, berangkatlah besok ke Hastinapura, dan disaat ajang pertunjukan kebolehan memanah antara Pandawa dan Kurawa, masuklah engkau ketengah-tengah mereka, dengan wujud buruk rupa,” kata Dewi Uma kemudian menghilang sekejap mata.

*

Pagi itu di pelataran Istana Hastinapura tampak riuh, para prajurit lalu-lalang dengan segala kesibukannya. Maha Guru Durna dan Maha Guru Krepa yang pertengger di atas kuda telunjuknya tak henti-henti bergerak memberi arahan. Hari itu ajang kebolehan memanah antara Pandawa dan Kurawa akan di gelar. Prabu Destarata dengan Bisma terlihat berbincang-bincang dalam istana, dikerumununi seratus Kurawa.

Matahari merayap perlahan bagai keong, makin-lama-makin meninggi. Tampak iring-iringan pasukan berkuda datang, masuk ke gerbang Hastrinapura, bertengger lima kesatria di depan pasukan itu, kelima kesatria tersebut yakni Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa. Sedangkah Kreshna berkuda paling belakang.

Perjamuan anatara Kurawa dan Pandawa pun digelar dalam istana, Patih Sangkuni bertindak sebagai protokoler. Bisma membuka acara, dan Prabu Dastrata memberi sambutan, sepatah dua.

Diantara pasukan Pandawa dan Kurawa, hadir seorang kesatria gagah perkasa bernama Karna, ia dikenal orang sebagai putra seorang sais, namun atas kebaikan Duryudana ia menjadi salah seorang peserta dari ajang kebolehan memanah tersebut. Awalnya Bima keberatan, sebab Karna bukanlah keturunan raja baik berasal dari kubu Pandawa maupun Kurawa. Namun, Duryudana mempertahankannya, hampir terjadi suatu keributan, untung saja Sangkuni piawai menenangkan, Karna pun tetap diikutsertakan.

Setelah perjamuan. Pandawa dan Kurawa bersiap diri. Pelataran depan Hastinapura telah dipadati para penonton. Tak lama berselang; tifa ditabuh, terompet ditiup, panji-panji kebesaran dikibarkan, pertanda acara akan segera dimulai. Riuh rendah orang-orang pun gemuruh, bertepuk tangan, dan bersuit, memberi semangat pada jagoannya masing-masing.

Bukan main serunya ajang kebolehan membidikan anak panah itu. Pada kubu Pandawa Arjunalah yang paling mahir, dan pada kubu Kurawa Karnalah yang paling mahir. Kedua kesatria pilih tanding ini sulit ditebak siapakah diantara mereka yang akan menang dan kalah.

Namun, ditengah keseruan tersebut, terjadi suatu keriuhan diantara jubelan para penonton. Mulanya riuh rendah, kemudian berubah hingar bingar, dan menjadi sebuah keributan, membuat Karna dan Arjuna berhenti saling unjuk kebolehan membidikan panah-panah mereka pada sasaran.

Sumber keributan tersebut yakni, seorang perempuan tambun buruk rupa, yang tiba-tiba datang menyeruak ke tengah kerumunan para penonton. Membuat para penonton merasa jengkel dan terjadilah keributan tersebut.

Sangkuni kembali tampil ke permukaan, tuk menenangkan, suasana pun kembali sediakala.

Perempuan tambun itu, mukanya merah saga, rambut acak-acakan, pasang mata belotot, hidung besar pesek, gigi bertaring, dan bibir tebal menghitam, pada tubuhnya dipenuhi kudis dan kurap, pakaiannya compang-camping. Bila ia menyeringai dari mulutnya keluar bau busuk teramat sangat, sehingga dapat mengaduk-aduk isi perut. Si buruk rupa pun diarak, di hadapkan pada Duryudana.

“Siapakah kau jalang?” bentak Duryudana.

Namun, perempuan kudisan itu tak menjawab, mulutnya bungkam, tak ada suara yang keluar dari sana.

“Apa kau tak punya mulut, bangsat!” Dursasana ikut nimrung membentak.

Durdhara, Durjaya, Durmarsha, Durmata, dan adik-adik Durdyudana yang lain turut nimrung membentak-bentak perempuan buruk rupa tersebut.

Para sesepuh Hastinapapura, Bisma, Durna, Krepa, Sangkuni memperhatikan dengan seksama pada perempuan itu. Para Pandawa tampak heran dengan kehadiran perempuan tak dikenal tersebut. Hanya para Punakawan yakni Semar, Petruk, Bagong, dan Gareng yang terlihat tenang tak terpengaruh oleh suasana.

Semar nyelipir menghampiri Kreshna.

“Prabu Kreshna, ada yang jangkal pada perempuan itu,” Semar mengawali pembicaraan.

“Kakang Semar, pastinya telah tahu, siapa sebenarnya perempuan itu.”

“Ia, dia titisan Batari Durga.”

“Kakang Semar, perlukah kita menghubungi Batara Narada, dan Batara Guru, di Kayangan Surga Maniloka untuk menghentikan tingkah aneh titisan Batari Durga itu?”

“Jangan dulu Parabu Kreshna. Kita lihat kondisi.”

“Baik, Kakang Semar.”

Suasana kian riuh, tampak Duryudana dan Dursasana telah kehilangan kesabaran, sebab perempuan buruk rupa itu, membisu tak mau berkata sepatah pun.

“Kurang ajar dasar perempuan udik, tak tahu sopan santun. Tahukah kau sedang berhadapan dengan siapa? Aku, Prabu Duryudana, Maha Raja Hastinapura yang terkenal kemana-mana itu!” kata Duryudana sambil mengulang-alikan telapak tangannya mendarat tepat di pipi tembem berkoreng perempuan tersebut, membuat ia terhuyung dan jatuh mencium tanah.

Tak cukup sampai di situ, Dursasana menyeruak, menjamak rambut si buruk rupa, dan dihempaskankan tubuhnya pada sebuah pohon, menimbulkan suara ‘gedebug’.

Arjuna yang berhati lembut, tak dapat membiarkan penganiayaan tersebut, ia pun tampil, datang melerai, memberi perlindungan pada perempuan buruk rupa. Membuat Duryudana dan Dursasana tambah naik pitam.

Diam-diam Duryudana pun memerintahkan Karna tuk membidikan anak panahnya pada perempuan kudisan tersebut, Karna pun segera mengambil sebuah anak panah, mementangkan busurnya, anak panah itu melesat kencang bagai cahaya, tepat mengenai jantung si buruk rupa.

Namun, keanehan terjadi, si buruk rupa seperti tak merasakan apa-apa, anak panah Karna pun dicabut dari tubuhnya dengan mudah. Membuat semua orang terpana tercengang-cengang keheranan.

Si buruk rupa menatap Arjuna dan menghampirinya, Arjuna pun diam—tak bergeming.

“Wahai, engkau kesatria berpanah. Maukah engkau menikahiku?” akhirnya lontaran kata si buruk rupa pun menyeruak, dan membuat para Pandawa kebingungan.

Namun, Arjuna dengan segala kebijaksanaannya, tetap tenang. Arjuna pun menatap perempuan buruk rupa dengan seksama, bukan hanya melihatnya dengan mata kasarnya, melainkan disertai dengan mata batinnya.

“Aku mencintaimu, kendati engkau berubah wajah seribu kali,” kata Arjuna seperti telah mengenal perempuan buruk rupa.

Tiba-tiba perempuan buruk rupa pun menghilang, dan digantikan menjadi sosok jelita rupawan, yakni Drupadi. Penuh luapan kerinduan, Drupadi pun memeluk suaminya, Arjuna.

Kreshna, Semar, Bagong, Petruk, dan Gareng diam-diam meninggalkan tempat itu, begitu pula dengan Durna dan Krepa mereka pun meninggalkan tempat itu, sedangkan Sangkuni, Bisma, dan Destarata tetap di situ. Sangkuni pun kembali tampil mengumumkan bahwa acara unjuk kebolehan berpanah, telah selesai, para warga yang menonton pun segera bubar sambil berceloteh tentang perempuan buruk rupa yang berubah manjadi Drupadi.

Tinggal Duryudana, Dursasana, dan segenap Kurawa lainnya mereka merunduk layu, menanggungkan malu. Bisma pun memarahi mereka, sebab mereka telah bertindak gegabah, terutama Duryudana sebagai Prabu Hastinapura harusnya ia lebih bijak dalam hal memperlakukan seseorang, bukannya malah bertindak sewengang-wenang seperti tadi—menyiksa perempuan yang tak dikenal sedemikian rupa, hanya karena perempuan itu hina, compang caping, dan buruk rupa.

Sore telah berganti senja, tampak lembayung jingga menoreh di langit Hastinapura. Para Pandawa pun pamit pulang, tuk kembali ke Istana Indraprasta. Arjuna pun berkuda berduaan dengan Drupadi. Drupadi yang selalu menemani Arjuna baik dalam suka maupun duka, baik dalam keadaan damai maupun dalam keadaan perang.

 

Selesai

Yogyakarta, 30 Januari 2016- 2020


TENTANG PENULIS

Agus Hiplunudin lahir di Lebak-Banten. Cerpennya telah tersiar pada berbagai media massa di antaranya Swarasa Sastra, Majalah Sagang, Koran Madura, Satelit News dan lainnya. Adapun karya penulis yang telah diterbitkan yakni:
1. Kumpulan Cerpen Edelweis yang Merindu 2019, Spektrum Nusantara
2. Kumpulan Cerpen Lelaki Paruh Baya yang Menikah dengan Maut 2019, Spektrum Nusantara
3. Kumpulan Cerpen Uke Damarwulan, Guepedia Publisher, 2019
4. Kumpulan Cerpen Babi Ngepet, Guepedia Publisher, 2019
5. Kumpulan Puisi Nya 2019, Spektrum Nusantara
6. Novel Dendam yang Indah 2018, Jejak Publisher
7. Novel Orang Terbuang 2019, Spektrum Nusantara
8. Novel Derita 2019, Spektrum Nusantara
9. Novel Cincin Perak 2019, Spektrum Nusantara
10. Novel Awan 2019, Spektrum Nusantara.

Alamat Sekarang:
Kp Parakan Mesjid, RT 04/04, Kec. Rangkasbitung, Lebak-Banten.

Email : [email protected]
Hp : 081-774-220-4
Facebook : @Agus Hiplunudin

Editor: Irwan Yusdiansyah

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button