CerpenInspirasi

Serial Ramadhan: 30 Hari Menafsir Kehidupan (Bagian 4)

Episode Bersyukur Itu Wajib

Baca Juga Kisah sebelumnya!

 

RAMADHAN kali ini bertepatan dengan libur panjang sekolah. Adi merasa demikian beruntung dengan kenyataan itu. Bekali-kali syukurnya dia ceritakan pada Wardah, istrinya.

 

“Inilah berkah berlimpah dari Allah kepada kita, Bu. Kita diberi kesempatan untuk bersungguh-sungguh mentadaburi serta memikirkan kembali hakikat hidup, kehidupan, dan penghidupan yang telah dan akan kita jalani di hari esok,” ujarnya dengan mata berbinar.

 

Kenyataan yang sama pun disyukuri Wardah. Dirinya yang juga seorang guru di Sekolah Dasar, yang tentunya pun mendapat jatah libur sepanjang Ramadhan. Berlipat pula syukurnya kehadirat Allah Maha Pemurah. Dapat pula dirinya menjalani ibadah puasa penuh bersama keluarga yang amat dia cintai.

 

Selimir angin pagi yang lembut. Matahari pun bersinar dengan ramah, tak dingin, tak pula panas. Bunga-bunga dan tanaman hias di pekarangan bermekaran. Dua tiga ekor kupu-kupu terbang dan singgah silih-berganti. Serupa gerombolan anak-anak yang bercanda sepulang mengaji, sesekali diam, sesekali berlari.

 

Adi terpekur takjub menyaksikan semua itu dari kursi di teras rumahnya. Senyum mengambang di bibirnya. Ditariknya napas panjang, lalu diembuskannya perlahan.

 

Tengah menikmati suasana syahdu itu, Wardah datang dan duduk di kursi kosong di sampingnya. Di tatapnya wajah istrinya sekian detik. Kembali Adi tersenyum.

 

Tak disangka-sangkanya, tangan Wardah yang lembut itu mendarat di bahunya.

 

“Ih, Bapak kenapa? Senyum-senyum sendiri. Bapak sehat?” canda Wardah.

 

Lalu mereka berdua terkekeh.

 

“Alhamdulillah, ya, Bu, Ramadhan kali ini kita berdua bisa menjalani sepenuhnya, bersama-sama sejak sahur hingga berbuka,” kalimat manis itu berlompatan teratur dari bibir Adi. Wardah amat bahagia mendengarnya.

 

“Iya, Pak, jadi kita bisa sepenuhnya belajar tentang agama tanpa terganggu oleh urusan pekerjaan dan dinas,” timpal Wardah sambil tersenyum kepada Adi.

 

“Jadi, Bu, memang sudah sepatutnya kita mensyukuri berbagai hal yang telah terjadi dan kita terima dalam kehidupan ini. Kita berdua menjadi PNS tanpa mengeluarkan sedikit pun biaya untuk menyuap, sebagaimana yang banyak dilakukan oleh orang lain.” 

 

Adi menjadi Pegawai Negeri Sipil hanya setahun setelah lulus dan menjadi sarjana dari Jurusan PPKN di Universitas Nusantara Raya di sebuah kota kecil di Jawa Tengah.

 

Beruntung, Adi lulus karena pelamar untuk posisi guru PPKN hanya diisi oleh 3 pelamar dari 6 lowongan yang tersedia. Dan Wardah menjadi Pegawai Negeri Sipil gara-gara pemerintah mengangkat secara otomatis Guru Bantu Sekolah menjadi Pegawai Negeri yang berada di seluruh pelosok Indonesia.

 

Adi dan Wardah memang patut bersyukur ketika mereka melihat teman-teman mereka yang harus mengeluarkan uang puluhan juta hanya untuk menyuap agar bisa lolos sebagai Pegawai Negeri.

 

“Bapak pernah ikut pengajian Ustad Aslah. Beliau menyampaikan, bersyukur itu merupakan sebuah kewajiban kita sebagai manusia, terlebih bagi kita berdua, Bu. Semua kebutuhan kita sudah terpenuhi, meski dalam kadar cukup dan tidak berlebihan,” ujar Adi.

 

“Hal ini juga sudah Allah ingatkan 14 abad yang lalu dalam Kitab Suci Al Quran,” tambah Adi, “‘Dan Dia telah memberikan kepadamu keperluanmu dan segala apa yang kamu mohonkan kepadaNya. Dan Jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah kamu dapat menghitungnya. Sesunggunya manusia itu sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).’”

 

Bergemuruh dada Adi usai menyebutkan penggalan ayat Surat Ibrahim itu. “Astaghfirulah…”   serunya, Adi mengusap wajahnya.

 

Astaghfirullahhal adziim…” timpal Wardah ketika mendengar suaminya ber-istighfar.

 

“Iya ya, Pak, terkadang kita merasa kurang, padahal setiap kebutuhan kita pasti tercukupi sebagai mana janji Allah untuk menanggung rezeki bagi seluruh makhluk yang ada di bumi, termasuk manusia,” tambah Wardah. Lalu dikutipnya ayat Al Quran yang menyebutkan hal demikian, Surat Huud ayat keenam.

 

“Wah, Ibu hebat juga nih hafalan Quran-nya….” teriak Adi takjub sembari tersenyum bangga melihat Wardah.

 

“Ah, Bapak, ibu kan sering ikut juga majelis taklim di komplek kita,” jawab wardah sambil mencubit tangan Adi. Pura-pura manja. Ya, saat-saat seperti ini memang jarang mereka dapatkan di hari biasa. Pagi-pagi sekali, keduanya sudah sibuk dengan persiapan mengajar. Pulang dari sekolah, Adi dan Wardah kadang larut dalam pekerjaan yang menuntut untuk dibawa ke rumah, dan malam tinggal lelah yang tersisa.

 

Adi tak langsung menimpali jawaban Wardah. Beberapa detik dirinya termangu. Matanya menatap jauh menembus pagar rumah mereka. Dalam benaknya, Adi teringat kisah seorang sahabatnya, Tirta. Dulu, tirta dikenal sebagai seorang aktivis yang sangat alim dan hidup dalam kondisi ekonomi yang kurang beruntung.  Namun karena aktivitasnya yang memasyarakat, Tirta sangat dikenal di lingkungannya, hingga pada sebuah kesempatan kontestasi wakil rakyat, Tirta terpilih menjadi anggota DPRD.

 

Ketika acara syukuran setelah pelantikan sebagai anggota legislatif, Adi sempat hadir dan bertemu serta memberikan ucapan selamat kepada Tirta.

 

“Selamat, ya, Tir, semoga selalu mendapat keberkahan, dan tetap tawadhu, ya,” ucap Adi.

 

Insya Allah, Di, mohon selalu diingatkan bila di kemudian hari saya dianggap menyimpang,” pinta Tirta dengan tatapan penuh harap.

 

Namun hanya dalam hitungan minggu setelah pelantikan, Tirta berkunjung ke rumah Adi dengan mengendarai mobil 2000 cc yang mewah untuk ukuran angota DPRD baru, terlebih bagi Adi sebagai Pegawai Negeri.

 

“Adi… alhamdulillah ada seorang teman yang memberi mobil ini sebagai ucapan selamat atas terpilihnya aku sebagai anggota dewan,”  ujar Tirta mebuka cerita perihal mobil barunya itu.

 

“Oh, ya?” jawab Adi dengan nada heran.

 

“Kuu harus lebih berhati-hati, Tir, karena pada zaman sekarang ini, mana ada makan siang yang gratis,” lanjut Adi.

 

“Makan siang gratis? Maksudmu?”

 

“Ya, saya menduga teman kita tersebut memiliki maksud tersebunyi melalui pemberian mobil itu,” jawab Adi.

 

“Ah kau, Di, jangan berburuk sangka, lah, tidak baik. Teman kita itu memang seorang pengusaha yang kaya-raya, jadi memang dia memberi mobil itu dengan cuma-cuma. Sekadar perasaan senang karena saya sebagai temannya terpilih menjadi anggota dewan,” kilah Tirta.

 

“Ya sudah, saya sebagai teman juga, sekadar mengingatkan kau, sesuai dengan permintaan kau waktu itu,” ucap Adi tersenyum dan menupuk bahu Tirta penuh arti.

 

Yang ditepuk terkekeh. Sebagai seorang intelektual dan wakil rakyat, tentu Tirta paham betul maksud Adi. “Benar… benar… terima kasih atas peringatannya, Di. Lagipula saya memang belum pernah merasakan memiliki mobil sendiri, kan? Kau kan tahu itu, motor yang ada saja adalah hasil kredit yang hingga hari ini belum lunas, jadi wajarlah saya menikmati pemberian ini,” ungkap Tirta. Dipaksanya tersenyum meski di relung terdalam, peringatan Adi benar adanya. Tak bisa dia membantah perkataan Adi.

***

Minggu berganti bulan, Adi mendengar kabar tentang perilaku Tirta yang semakin larut dalam status kelas ekonominya yang kian meningkat. Sangat santer kabar bahwa Tirta kerap mengunjungi tampat hiburan malam dengan alasan bertemu rekanan politik dan mitra lainnya. Pendek kata, gaya hidup Tirta semakin hedon.

 

Tiba-tiba tersiar kabar operasi tangkap tangan oleh Komisi Anti Rasuah yang menjaring Tirta saat menerima suap dari seorang pengusaha atas rekomendasi pembangunan gedung perkantoran di daerah jalur hijau yang dikeluarkan oleh Komisi di mana Tirta menjadi pimpinannya.

***

“Iya Bu, memang benar firman Allah bahwa kalau kita bersyukur maka nikmat Allah akan bertambah, dan bila kita ingkar maka kita akan mendapat azab,” ucap Adi memecah keheningan.

 

“Apa, Pak?” tanya Wardah, “kok tiba-tiba bicara tentang azab Allah?” Wardah terheran dengan kalimat suaminya yang terkesan tidak nyambung dengan pernyataan Wardah bahwa iya rajin ikut pengajian di majelis taklim.

 

“Hehehe, ya sudahlah, ayo kita siap-siap untuk menunggu adzan Zuhur,” ujar Adi sambil berdiri dari kursi dan melangkah memasuki rumah.

(Bersambung)


Penulis: Boyke Pribadi

Editor: Setiawan Chogah

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button