Opini

Uday Suhada: Mengembalikan Kesakralan Upacara Adat Seba

biem.co — Tak akan lama lagi, Masyarakat Adat Kanekes (lebih populer Baduy) akan segera memiliki agenda akhir tahun dalam perhitungan waktu mereka melalui Kolenjer. Agenda rutin itu adalah upacara adat Seba. Ritual ini harus dilaksanakan apapun kondisinya. Tahun lalu saat pandemi Covid-19 mulai merebak misalnya, mereka tetap melaksanakannya dalam keterbatasan; pesertanya hanya selusin; menggunakan masker dan menjalankan protokol kesehatan, diterimanya juga bukan oleh Kepala Daerah, (tak apa). Demikian pula dengan agenda tahun ini, mereka akan tetap melaksanakannya.

Hingga kini ada dua pandangan yang berbeda dalam memaknai Seba. Pertama, pandangan dari luar yang menganggap upacara itu adalah sebagai bentuk ketundukan terhadap penguasa. Kedua, versi orang Kanekes sendiri. Di mana Seba adalah rangkaian ritual dari tugas hidup mereka. Seba adalah ritual untuk menjaga ikatan silaturahmi antara masyarakat Adat Kanekes dengan Pemerintah.

Perlu diingat bahwa tugas hidup mereka yang terkenal dengan prinsip hidup “lojor teu beunang dipotong, pondok teu beunang disambung” ini adalah tapa di Wiwitan, kemudian “ngabaratapeun ngabaratanghikeun titipan ti Adam Tunggal” untuk menjaga harmoni, hidup antara manusia dengan alam. Mereka mendapatkan tugas berat untuk bertapa, mengurus yang bhatin dan kasat mata untuk keselamatan umat manusia serta alam dan segala isinya.

Tugas lain yang sering terabaikan oleh kita adalah “ngasuh ratu ngajayak menak”. Jadi, bagaimana Seba bisa dimaknai sebagai ketundukan mereka terhadap penguasa? Sementara salah satu tangung jawab Tanggungan Jaro Duabelas dalam struktur adat adalah mengingatkan para pemimpin negara. Misalnya kepada Presiden, amanatnya adalah bagaimana “Presiden memimpin harus kebawa negara, harus kebawa bangsa dan harus kebawa agama”. Pesan yang sangan mendalam. Bagaimana pula “dangiang dan guriang” harus dipelihara.

Ada pula yang mengibaratkan Seba sebagai sikap seharusnya antara seorang anak terhadap orang tua. Yaitu kunjungan kepada pemerintah daerah (Kabupaten Lebak, Kabupaten Pandeglang, Kabupaten Serang dan Propinsi Banten – dulu Keresidenan Banten). Sementara yang mereka bawa sebagai ‘buah tangan’ biasanya antara lain terdiri dari padi yang masih lengkap dengan tangkainya (ranggeongan); gula merah (aren); buah pisang serta buah-buahan lainnya yang dihasilkan dari ladang mereka, serta laksa-penganan dari tepung beras. Seba ini juga disebut Seba Tahun, Tutup Tahun / Seren Tahun.

Setiap Seba sebenarnya selalu disampaikan berbagai pesan “ulah puhpul karatuan, ulah tambur kamenakan, kudu maju nagara na, kudu jaya perang na”. Dalam pesan lengkapnya “ulah gedug kalinduan, ulah rigrig kaanginan, ulah limpas kacaahan. Mun henteu, matak puhpul kapangaruhan, matak teu awet juritan, matak tambur kamenakan, matak sangar ka nagara, matak leutik pangarahna, leutik pangaruhna kana ngabangun nagara”.

Jika hendak bicara wawasan kebangsaan, kedaulatan pangan, keteraturan sosial, kesejahteraan, kemanusiaan, hidup menyatu dengan alam, maka belajarlah ke Urang Kanekes.

PESAN YANG BERULANG

Delegasi yang dipimpin oleh Jaro Tangungan Duabelas (bukan Jaro Pamarentah atau siapapun) senantiasa membawa amanah dari lembaga adat; diantaranya pesan agar seluruh komponen bangsa senantiasa menjaga dan melestarikan alam; menegakkan hukum dan senantiasa menjalin tali persaudaraan, memanusiakan manusia dan memuliakan kehidupan. Pesan ini disampaikan berulang kali, setiap Seba. Tapi yang terjadi justru sering kali “didenge teu diceulian”.

Memang, saat upacara adat Seba berlangsung, kelemahannya, apa yang disampaikan oleh Jaro Tangungan Duabelas, sulit diikuti dan dicerna. Di samping diucapkan dengan cepat, hampir tak ada jeda, juga bahasa yang dipakai adalah Sunda Buhun (Sunda Kuno). Jangankan warga luar, warga Kanekes sendiri, sedikit saja yang mampu memahami seutuhnya.

Gumam doa dan berbagai pesan moral yang disampaikan, terucap begitu saja oleh yang mendapat kuasa (Jaro Tanggungan Duabelas) siapa pun orang yang menjabatnya. Gaib memang, kalimat itu tak bisa dipelajari seperti kita menghafal Al-Qur’an, hadits, kitab-kitab suci, Undang-undang atau puisi dan syair lagu. Sebab di Baduy tak ada kitab atau bukunya. Misalnya saat menjelaskan asal usul “numatak kami aya garapan lojor teu beunang dipotong, lojor teu beunang disambung, kusabab kami meunang Titipan ti Adam Tungal. Nu dititipeun nyaeta tilu puluh tilu nagara, pancer salawe bagara, kawan sawidak lima…” dan seterusnya.

Persoalan yang sangat penting untuk diketahui publik sekarang, bahwa jangan sampai terulang lagi peristiwa yang tidak semestinya. Memperlakukan delegasi Seba dengan hal yang tidak semestinya. Misalnya menghibur mereka dengan dangdutan. Atau mengarahkan mereka untuk melakukan Seba ke tempat selain Gedung Keresidenan yang kelak menjadi kantor Gubernur dan kini menjadi Museum. Jangan menjadikan event itu sebagai ajang tontonan yang dieksploitasi (bukan eksplorasi) secara ekonimi dan kepariwisataan. Sebab mereka bukan obyek wisata, bukan tontonan, tapi tuntunan.

Usai Seba, sila lakukan Saba Budaya Baduy, bukan Wisata Baduy! (*)


*Disampaikan di acara Seminar Sejarah Banten yang digelar UPTD Taman Budaya dan Museum Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Banten, Rabu 10 Maret 2021.

*Penulis, Pemerhati Masyarakat Adat Baduy.

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button