Opini

Sutia Budi: Membumikan “Sabda Langit”, Tanggapan atas “Jiwa Kota” Yudi Latif

biem.co – Analisis politik Yudi Latif berjudul “Jiwa Kota” yang dipublikasikan Harian Kompas pada Kamis, 25 Februari 2021 cukup menghentak kesadaran publik. Bagaimana tidak, secara tegas dan lugas ia mengkritik wajah Jakarta sebagai ibu kota negara, juga kota-kota lain yang ada di Indonesia. Dalam imaji Belanda, Jakarta sebagai “the Queen of the East” telah berubah dengan cepat menjadi “the dreadful city” (kota kengerian) seperti yang dilukiskan Rudyard Kipling.

Kang Yudi –demikian sapaan akrab Yudi Latif- membuka opininya dengan gambaran “Kota Ideal” menurut Plato, yaitu kota yang berjiwa kepemimpinan filosofis yang mendenyuti tiga karakteristik utama, yaitu: jiwa penalaran, semangat kompetitif, dan kenikmatan. Jiwa Penalaran dalam kepemimpinan filosofis  dapat merangsang kesehatan berfikir dan kreativitas warga. Jiwa itulah yang mendorong kota berkembang dengan perencanaan dan kebijakan yang sehat. Kepemimpinan filosofis memiliki semangat kompetitif  yang sanggup mengarahkan daya guna untuk; mengatasi berbagai masalah, mengejar ketertinggalan, meraih prestasi, tabah dalam mempertahankan prinsip, kebijakan, dan integritas. Nah, kepemimpinan sebagai resultante dari kedua jiwa tersebut harus menghasilkan kekuatan pengungkit kenikmatan hidup warga melalui produktivitas ekonomi, kesejahteraan, dan wahana rekreasi.

Menurut Kang Yudi, dari kehadiran jiwa kota seperti itu muncul istilah “politik”, berasal dari kata “polis” (kota) yang dalam tradisi Athena merupakan tempat segala hal diputuskan secara rasional dan berkeadaban. Pada akhir tulisan Kang Yudi mengutif Clifford Geertz, bahwa kota tanpa karakter ibarat kota mati (hollow city), yaitu kota yang mengembang tanpa nilai, visi, dan hati. Terakhir, Kang Yudi mengutip Al-Qur’an Surat Ar-Rum Ayat 41.

Penulis menduga, para pembaca tentu banyak yang setuju dengan analisis politik tersebut, karena memang tulisan Kang Yudi cukup sulit untuk dibantah. Dengan tidak bermaksud menggarami lautan, hemat penulis, analisis politik Kang Yudi tidaklah bisa bebas begitu saja dari kritik atau setidaknya tanggapan. Membangun kota (wilayah), tidaklah cukup hanya dengan membangunkan jiwanya. Ibarat tubuh manusia, selain jiwa, juga memiliki jasad, ruh, dan nyawa. Bagaimana dengan kota? Nampaknya tidak jauh berbeda.

Pengembangan kota (wilayah) mesti ada keterpaduan antara “jiwa dan raga” suatu kota. Kepemimpinan filosofis yang disodorkan Kang Yudi, nampaknya belumlah cukup. Hal itu mesti dibarengi dengan hadirnya model kepemimpinan transformasional. Bass dan Steidmeier (1998) menegaskan bahwa kepemimpinan transformasional yang sesungguhnya harus dibangun dari dasar/fondasi moral. Burn (1978) dalam Bass dan Steidmeier (1998), menyatakan bahwa kepemimpinan transformasional yang otentik harus bersandar pada dasar nilai yang sah (legitimate value).  Luthans dalam Safaria (2004) menyatakan bahwa karakteristik pemimpin transformasional, yaitu: pemimpin mengidentifikasikan dirinya sendiri sebagai agen perubahan, mendorong keberanian dan pengambilan resiko, percaya pada orang-orang, dilandasi oleh nilai-nilai, seorang pembelajar sepanjang hidup (lifelongs learners), memiliki kemampuan (untuk mengatasi kompleksitas, ambiguitas, dan ketidakpastian), dan visioner.

Pemimpin suatu kota dituntut untuk mampu membumikan berbagai ide-gagasan yang biasanya “melangit’. Ide dan rencana baik itu tidak boleh berhenti hanya pada tataran kata-kata, namun harus mampu ditransformasikan ke dalam tataran praksis-operasional. Jadi, kepemimpinan filosofis-transformasional itu tidak berhenti pada tataran “mimpi” pembangunan kota, dan tidak sibuk membuat daftar keinginan belaka. Seyogyanya pula, kepemimpinan filosofis itu mampu mempertemukan  Ilmu Pengetahuan dan Filsafat. Damayanti Buchori (2020) menyatakan empat bidang pertemuan Ilmu Pengetahuan dan Filsafat, yaitu pada tataran ontology  (realitas yang dinyatakan oleh teori), epistemology (menyangkut corak pengetahuan ilmiah), methodology (bagaimana ilmu pengetahuan didapat), dan aksiologi (dampak penemuan dan penerapan ilmu terhadap dunia kehidupan).

Kang Yudi juga tidak sempat memasukan kata dan makna “gotong-royong” dalam analisisnya. Padahal nilai-nilai gotong-royong merupakan “saripati” Pancasila, yang menjadi landasan pembangunan dalam perwujudan tujuan nasional Indonesia. Bahwa membangun jiwa dan raga suatu kota (semisal DKI Jakarta), mestinya mengedepankan gotong-royong,  baik antar-warganya, antara warga dan pemerintahnya, maupun antar-pemerintah. Kerjasama antara pemerintah daerah dan pusat, dan juga antar-pemerintah daerah, menjadi mutlak diperlukan. Sebuah kota tidak bisa berdiri sendiri, ia hadir dan disokong oleh daerah sekitarnya. Bahkan suatu kota bisa menjadi “kota mati”, jika tidak mendapat pasokan berbagai sumber daya dari sekitarnya (pangan dan tenaga kerja dari desa misalnya). Demikian juga, suatu bencana yang melanda suatu kota, bisa jadi karena tidak ada keterpaduan dan tidak ada kerjasama yang baik  dengan wilayah sekitarnya.

Pengembangan kota juga memerlukan manajemen kolaborasi (partnership/kemitraan) atau tata-kelola (governance) multi-pihak yang kuat. Penataan dan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung misalnya, Pemda DKI Jakarta tidak bisa berjalan sendirian atau dibiarkan bekerja sendirian. Pemda DKI Jakarta harus “gotong rotong” dengan Pemda Jawa Barat, Pemda Bogor, Pemkot Depok, dan juga tentunya Pemerintah Pusat. Kolaborasi harus menjadi jalan kebijakan dan kebajikan bersama. Wondolleck dan Yaffee (2000) dalam Suporaharjo (2005) menyatakan bahwa jika dilihat dari sejarahnya, perkembangan pendekatan kolaborasi mulai muncul sebagai respon atas tuntutan kebutuhan akan manajemen pengelolaan sumber daya yang baru, yang demokratis, yang lebih mengakui perluasan yang lebih besar atas dimensi manusia dalam mengelola pilihan-pilihan, mengelola ketidakpastian, mengelola kerumitan dari potensi keputusan dan membangun kesepahaman, dukungan, kepemilihan atas pilihan-pilihan bersama. Pendekatan kolaborasi ini sering disebut sebagai “jembatan” (bridges) untuk meningkatkan pengelolaan sumber daya. Sebagai jembatan penyeberangan yang berfungsi mengintegrasikan batas-batas yang dibatasi oleh geografi, kepentingan dan persepsi.

Walau diwarnai penuh kompetisi dalam pembangunan wilayah dan aspek lainnya, namun sesungguhnya saat ini dan ke depan adalah era-nya kolaborasi, era-nya gotong royong. Semestinya pula, tidak boleh ada yang tertinggal (no one left behind) dalam pembangunan (pengembangan) wilayah. Firman Allah dalam Al-Quran Surat Al-Ma’idah Ayat 2: “…Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.

Akhirul kalam, “sabda langit” Jiwa Kota Yudi Latif jangan dibiarkan melangit, ia harus segera dibumikan.

Tentang Penulis

Penulis adalah Mahasiswa Program Doktor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor | Wakil Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta.

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button