Opini

Emyr Mochammad Noor: Indonesia Rapuh Sekuritas Siber; Menguak “Maling” di Balik Kebocoran Big Data?

biem.co — Perubahan dan perkembangan sistem transaksi ekonomi merupakan sebuah keniscayaan di tengan pesatnya perkembangan teknologi. Profresivitas teknologi yang dapat menjadi road map mengarah pada adanya pergolakan dan peluang kejahatan siber. Dengan terus bertambahnya jumlah laporan insiden sekuritas siber yang terus meningkat, ancaman tersebut bukan hanya saja membahayakan infrastruktur informasi penting yang ada, namun juga bisa mengancam kerahasiaan, keutuhan, dan ketersediaan informasi yang secara sensitif umumnya bis akita proses, kirim dan simpan secara online.

Fenomena bocornya data privasi baru saja terjadi seperti yang dilansir dalam detikNews pada Jumat, 21 Mei 2021 tentang data pribadi WNI yang bocor identik data BPJS kesehatan (lihat: https://news.detik.com/berita/d-5577462/kominfo-data-pribadi-wni-yang-bocor-identik-data-bpjs-kesehatan), yang berujung pada kerugian privasi atas NIK. Padahal hal ini secara yuridis dilindungi sesuai amanat PP Nomor 71 Tahun 2019 dan secara tersirat hak atas privasi diatur dalam Pasal 31 tentang Peraturan OJK Nomor 13/Pojk.02/2018 Tentang Inovasi Keuangan Digital.

Data sebanyak 279 juta penduduk yang telah beredar sejak 20 Mei 2021 tersebut menurut juru bicara Kominfo RI berkenaan dengan pada struktur data yang terdiri dari noka (nomor kartu), kode kantor, data keluarga/data tanggungan, dan status pembayaran BPJS.

Hal ini mengindikasikan bahwa pertahanan dan keamanan, dan perlindungan data pribadi tidak dapat dijangkau oleh pemerintah dengan yakni dalam mendeteksi kerentanan pada cyber risk. Kemudian dengan adanya fenomena ini akan menjadi pekerjaan besar bagi pemerintah untuk membenahi benteng cyber security untutk mengembalikan kepercayaan publik yang hari ini kecewa dengan adanya kebocoran data tersebut.

Sungguh ironis di tengah eskalasi politik global, Indonesia tidak mampu memaksimalkan pengelolaan sumber daya sistem informasi. Secara komprehensif tentunya kebocoran pada data tersebut harus segera diatasi dan dibentengi dengan cyber law sebagai jaminan utuh atas kerugian besar yang dialami WNI.

Mungkin sebagai rekomendasi pada kejadian ini, pihak pemerintah memerlukan stabilitas sekuritas pada perangkat yang terhubung pada komputasi, personil, infrastruktur aplikasi dan kekuatan perangkat sistem yang dijadikan tempat untuk menyimpan data tersebut.

Stabilisasi juga perlu dilakukan oleh pemerintah untuk memulihkan ketidakseimbangan sistem. Kini pemerintah harus mengklarifikasi atas kebocoran data 279 juta WNI dengan bertindak secara cepat memperbaiki kondisi ketidakseimbangan aplikasi, mengatur, dan merancang ulang software dan Hardware penyimpanan data. Jangan sampai hal ini menjadi asumsi publik yang menaruh kecurigaan besar pada pemerintah dalam memperjualbelikan data sebagai rangkaian bisnis pemerintah.

Penataan keamanan siber  menjadi relevan, terutama bila dikaitkan dengan kebijakan pemerintah dalam mengembangkan e-government terutama di wilayah pemerintah daerah. Tata Kelola keamanan siber sangat dibutuhkan untuk menjaga kepercayaan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan publik dan layanan berbasis online.

Dalam hal menerapkan kehidupan berdemokrasi konteks jaminan hak-hak privat perlu dijalankan secara adil. Mengingat bahwa hak tersebut merupakan amanat UUD 1945, maka sudah seyogyanya pemerintah memberikan pelayanan yang efektif dan maksimal kepada warga negara. Seperti hal yang kita ulas dalam tulisan ini pesatnya perkembangan teknologi sudah menjadi bagian integral yang tidak dapat dipisahkan.

Kedaulatan negara yang dipertaruhkan dalam politik siber seperti kejadian belakangan ini mendorong pilihan kebijakan menyangkut siber itu sendiri sebagai bagian strategis bagi kepentingan bangsa Indonesia. Juga perlu diketahui dan disadari bahwa keterikatan regional antar negara menyebabkan adanya keterbatasan peran negara dalam mengelola siber yang berjejaring di kawasan kedaulatannya. Hal ini biasanya menyangkut tingginya national interest sebuah negara untuk bersaing dalam konteks politik siber.

Adanya sebuah fenomena politik dalam sirkum internasional akan mempengaruhi kondisi maupun keadaan politik domestik. Permasalahannya adalah selama ini regulasi siber semakin lama semakin lemah. Pemerintah hampir kehabisan alternatif solusi yang dapat dijadikan kebijakan dalam mengatasi dampak besar dari fenomena siber.

Fenomena ruang siber menggambarkan sebuah realitas bahwa aktifitas kegiatan masyarakat saat ini sudah saling terkoneksi melalui teknologi. Dari perspektif keamanan siber, pemanfaatan kecanggihan teknologi informasi juga dimungkinkan untuk tujuan negatif atau destruktif seperti hal nya fenomena kebocoran data BPJS WNI yang tengah menggegerkan warga net bahwa pemerintah lengah atas pengelolaan dan pengawasan Sistem Informatika.

Setelah mencermati kejadian kebocoran data BPJS WNI, seharusnya Kominfo RI dalam bidang pengelolaan data center harus segera recovery system dan menganalisis ancaman-ancaman  terhadap data dan informasi yang dimilikinya. Penulis berasumsi bahwa kebocoran data tersebut mengarah pada ancaman yang dilakukan oleh state actor atau non state actor yang berdimensi transnasional dan interkoneksi secara global. Kita melihat kemungkinan-kemungkinan betapa “seksinya” data untuk keperluan bisnis digital yang kini sudah menjadi bagian yang terintegrasi pada kehidupan masyarakat Indonesia.

Tentang Penulis

Fungsionaris Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam Periode 2021-2023

Editor: Esih Yuliasari

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button