KabarTerkini

Eko Supriatno: HUT ke-77 RI masih Merdeka Diatas Kertas

biem.co – Pengamat Politik Universitas Mathla’ul Anwar Banten Eko Supriatno menilai peringatan HUT ke-77 RI hanya di atas kertas. Sebab, kata dia, kemerdekaan saat ini harusnya adalah bebas dari pengangguran, kemiskinan, dan korupsi.

“Dari tahun 1945, kita merdeka di atas kertas. Soalnya secara kekulturan kita tidak merdeka apa-apa. Saya kira peringatan HUT RI itu hanya ulang tahun di atas kertas atau kemerdekaan kertas,” kata Eko, Rabu (17/8).

Menurut Eko, pemerintah seharusnya mengevaluasi total apa yang menjadi persoalan di tengah masyarakat, bukan narasi pidato HUT ke-77 RI yang tidak memiliki makna secara nyata “Pemerintah harus mengevaluasi total apa yang menjadi permasalahan di tengah masyarakat, bukan narasi pidato yang tidak ada maknanya secara nyata,” ujar Eko.

Pengamat politik ini juga berpendapat, setahun ini pemerintah menunjukkan banyak sisi negatif. Salah satu sisi negatif yang menurutnya amat penting adalah soal demokrasi.

“Demokrasi Indonesia indeksnya turun, ini perlu dievaluasi,”kata Eko.

Direktur Banten Religion and Culture Center ini menyarankan Presiden Joko Widodo harus menjadikan perbaikan demokrasi sebagai salah satu fokus utama.

Eko menyebut berdasarkan rilis dari The Economist Intelligence Unit (EIU), indeks demokrasi Indonesia berada di peringkat 52 dunia dengan skor 6,71.

Dalam rilis tersebut, Eko mengatakan EIU mengelompokkan Indonesia sebagai negara dengan demokrasi yang cacat. “Faktor cacat demokrasi ini harus menjadi prioritas pemerintah Jokowi. Bila Jokowi tidak menjadikan prioritas faktor catat demokrasi ini, akan berdampak negatif pada Pemilu 2024”.

Masih merujuk pada hasil penelitian EIU, negara dengan demokrasi cacat umumnya sudah memiliki sistem pemilu yang bebas dan adil, serta menghormati kebebasan sipil dasar. Namun, negara dalam kelompok ‘cacat’ ini masih memiliki masalah fundamental seperti rendahnya kebebasan pers, budaya politik yang anti kritik, partisipasi politik warga yang lemah, serta kinerja pemerintah yang belum optimal.

Indeks Demokrasi EIU dihitung berdasarkan lima indikator, yaitu proses pemilu dan pluralisme, fungsi pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil.

Indeks ini berupaya memberi gambaran tentang keadaan demokrasi di 165 negara, yang mencakup hampir seluruh populasi global dan sebagian besar negara bagian di dunia.

Tiga Kelemahan Penerapan Demokrasi

Ketua Departemen Riset dan Kebijakan Publik ICMI Banten ini pun mengatakan bahwa ada tiga kelemahan penerapan demokrasi di Indonesia.

“Masih terdapat budaya politik feodalistik dan komunalisme, demokrasi kita juga mengarah pada otoritarianisme mayoritas, dan kelemahan terakhir demokrasi kita adalah absennya ideologi dari partai politik”.

Kelemahan demokrasi Indonesia yang pertama, yaitu masih terdapatnya budaya politik feodal dan komunalistik, menurut Eko, bisa dilihat dari berbagai macam idiom-idiom yang digunakan partai politik dan tokohnya dalam berkampanye. Akibatnya, usaha partai politik untuk memperjuangkan kepentingan konstituennya didasarkan pada penilaian yang subjektif ketimbang objektif, kata dia.

Kelemahan kedua menurut Eko adalah munculnya otoritarianisme mayoritas akibat terlalu liberalnya demokrasi Indonesia. Hal ini, menurut dia, membuat sulitnya sebuah keputusan politik diambil secara mufakat.

Karena begitu sulitnya musyawarah dilakukan, maka setiap pembuatan keputusan diserahkan ke mekanisme pasar politik, ini tentu saja mencederai sila keempat Pancasila yang menyatakan bahwa demokrasi Indonesia berdasar pada permusyawaratan perwakilan kata dia.

Kelemahan demokrasi yang ketiga dalam pandangan Eko adalah dikesampingkannya ideologi dalam partai-partai di Indonesia karena partai politik lebih mengutamakan pertimbangan pragmatis dan jangka pendek, yaitu memenangkan kontes politik.

Kepentingan jangka pendek dan pragmatis inilah yang memunculkan politik uang, hanya karena ingin memenangkan pemilu suatu partai atau calon kepala daerah harus membayar rakyat untuk memilih gambar tertentu dalam lembar pencontrengan saat pemilu Jika tujuan partai hanya memenangkan pemilu dan mengumpulkan dana, maka kita sulit berharap partai menjadi lembaga demokrasi yang bisa diandalkan, kata Eko.

“Problem serius pejabat negara kita adalah soal etos melayani. Birokrasi tunduknya hanya pada atasan. Sementara mereka tidak sadar bahwa pemilik saham terbesar berdirinya republik ini adalah rakyat. Soal penegakkan hukum juga masih banyak ketidak adilan. Hukum masih belum mencerminkan keadilan, Misal Kasus Gurita Sambo” tandasnya.

Eko menuturkan dan mengibaratkan Kasus Irjen Ferdy Sambo layaknya seekor gurita. Untuk itu, dia mengungkapkan kasus ini bisa menjadi momentum Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo untuk membersihkan oknum anggotanya yang mencoreng institusi.

Eko menilai Polri saat ini sudah mulai profesional dalam bekerja. Namun adanya kasus ini menimbulkan persepsi negatif karena penanganannya terlalu lambat dan bertele-tele.

“Ada orang sekitar situ banyak saksi kok bisa lambat, inilah saatnya kalau mau political will ini waktu yang tepat untuk melakukan the right job,” tegasnya

Merdeka dari Pengangguran

Dosen Fakultas Hukum dan Sosial ini juga mengatakan bahwa pengangguran adalah bentuk keterjajahan.

“Persoalan pengangguran masih menghantui bangsa Indonesia yang saat ini memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) ke-77 kemerdekaan. Itu artinya Indonesia belum merdeka dari masalah pengangguran dan ketersediaan lapangan kerja, ujarnya

Apalagi dengan munculnya industri 4.0 saat ini, akan menambah panjang pengangguran usia produktif akibat tergantikan oleh mesin.

“awas bonus demografi berubah menjadi bencana demografi,” tandas Eko.

Menurut Eko, ada beberapa solusi untuk mengatasi masalah pengangguran di Indonesia. Misal, peningkatan serapan tenaga kerja produktif di sektor pertanian. Di tengah ancaman krisis pangan, sektor pertanian justru memberikan potensi bagi angkatan kerja usia produktif.

Menurut Eko, saat ini demokrasi ekonomi belum berjalan sesuai dengan harapan atau dalam bahasa lain, sistem ekonomi kita masih terjajah oleh asing. Bahkan, liberalisasi dan privatisasi sektor ekonomi strategis telah semakin mengukuhkan ketimpangan struktur ekonomi di Indonesia. peran sentral ekonomi sebagai motor penggerak semua lini kehidupan masyarakat harus lebih dulu menjadi perhatian khusus pemerintah. Baik pemerintah pusat, daerah sampai tingkat desa Kelurahan atau Kecamatan. Sebab ekonomi yang baik, akan mampu menghadapi pelbagai persolan lainnya. Pendidikan, kesehatan, sosial, keamanan akan tetap terjaga selama ekonomi dari suatu bangsa masih baik-baik saja.

Pembina Future Leader For Anti Corruption Wilayah Banten ini juga mengatakan berbagai krisis yang menimpa dunia harusnya menjadi pemacu bagi Indonesia untuk bangkit lebih kuat tahun-tahun ke depan.

“Kondisi itu membuat kita semangat untuk memperbaiki dan menata diri untuk menghadapi masa depan yang lebih baik,” tutup Eko. (Red)

Editor: Irvan Hq

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button