SkriptoriaTerkini

Selepas Hari Kesaktian Pancasila, Gas Airmata, dan Kematian Beratus Anak Indonesia di Kanjuruhan

biem.coKemarin, 1 Oktober 2022, Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Satu hari yang diperingati sebagai bentuk penegasan kembali falsafah Indonesia selepas tragedi Gerakan 30 September atau yang lebih sering disebut G30S-PKI atau G30S. Sebuah tragedi “upaya kudeta” yang membantai enam jenderal serta satu orang perwira pertama militer Indonesia. Jenazah Letnan Jenderal TNI Ahmad Yani, Mayor Jenderal TNI Raden Soeprapto, Mayor Jenderal TNI Mas Tirtodarmo Haryono, Mayor Jenderal TNI Siswondo Parman, Brigadir Jenderal TNI Donald Isaac Panjaitan, Brigadir Jenderal TNI Sutoyo Siswomiharjo, Letnan Satu Pierre Andreas Tendean dimasukkan di sumur di area Lubang Buaya. Sebuah tragedi  yang diredam oleh Tentara Nasional Indonesia sehari setelahnya. Hari yang diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila itu. Hari di mana setelahnya Indonesia belum terbebas dari sejarah berdarah yang digerakkan atas nama operasi terhadap orang-orang yang disebut simpatisan PKI.

Hari ini, 174 anak Indonesia atau jumlahnya akan bertambah setelah pendataan usai,  meregang nyawa di lapangan bola. Laga BRI Liga 1 pekan ke-11 yang mempertemukan Arema FC dan Persebaya FC berakhir dengan kekalahan Arema dengan skor 2-3 di Stadion Kanjuruhan Malang. Di saat itulah, tragedi dimulai. Selepas Pluit panjang dari bibir wasit melengking, seorang suporter dari arah tribun selatan masuk ke lapangan ke arah Bek Arema FC Sergio Silva dan Kiper, Adilson Aguero dos Santos. Beberapa suporter yang lain juga ikut masuk untuk meluapkan kekecewaan. Disusul oleh kedatangan suporter dari berbagai sisi stadion. Jumlahnya semakin banyak. Semakin banyak dan tidak terkendali. Para pemain segera diarahkan ke ruang ganti dikawal ketat oleh sepasukan polisi dan TNI. Seperti sekerumunan semut menuju tumpukan gula, suporter yang turun ke lapangan semakin banyak. Keadaan benar-benar kacau.

Menghadapi para suporter yang sedemikian, aparat yang bertugas bersikeras memukul mundur untuk mengendalikan keadan. Bahkan ada tindakan-tindakan yang terlampau keras semisal pemukulan dengan tongkat dan ada suporter yang dikeroyok aparat. Entah itu memang terlampau keras atau memang begitu tindakan yang semestinya, yang pasti upaya yang dilakukan aparat menyulut emosi para suporter. Dari sisi selatan dan utara berdatangan suporter ke arah aparat dan menyerang mereka. Keras sama keras, seperti dalam sebuah perang terbuka, antara para suporter dan aparat yang bertugas kadung dalam posisi saling serang. Gas airmata ditembakkan. Tidak hanya ke arah para suporter yang berada di lapangan, melainkan juga ke arah Tribun 10.

Para suporter yang tidak turun ke lapangan, tentu telah tahu di mana posisi mereka. Tidak dalam kerusuhan. Tidak ada potensi ikut menjadi korban. Tetapi ketika gas airmata itu ditembakkan kepada mereka, walau di salah satu tribun saja, pikiran mereka dengan segera berubah. Mereka mulai merasa berada dalam ancaman. Di saat itulah mereka panik dan berlarian ke arah pintu keluar. Tetapi sayang seribu sayang, di lorong menuju pintu keluar, orang sudah penuh sesak di sana. Banyak perempuan, orang tua, dan anak-anak yang turut berdesakan sambil menghidrup udara yang diaromai gas airmata. Sesak napas mereka dalam adegan saling dorong dan desak itu. Banyak yang jatuh dan terinjak-injak. Di situlah, mereka meregang nyawa. Ada sebagian dari beratus korban itu yang sempat dilarikan ke rumah sakit, tapi nyawa mereka tidak dapat diselamatkan.

Begitu kronologi yang saya baca dari Aremania (suporter Arema FC), Rezki Wahyu lewat akun Twitternya @RezqiWahyu. Saya paparkan kembali dengan cara saya. Kronologi itu dibagikan oleh Rezki sesaat setelah dia dapat menenangkan diri. Sesaat setelah dia selamat dari tragedi itu. Sebuah kronologi yang saling melengkapi dengan kronologi yang disampaikan oleh Kapolda Jawa Timur Irjen Pol Nico Afinta saat diwawancarai CNN Indonesia, Minggu, 02 Oktober 2022. Katanya, petugas pengamanan melakukan upaya pencegahan dengan melakukan pengalihan agar para suporter tersebut tidak turun ke lapangan dan mengejar pemain.

“Guna meredakan kemarahan suporter polisi melepaskan tembakan gas air mata ke arah suporter,” ujarnya.

Hari Kesaktian Pancasila adalah hari di mana kita kembali menatap Pancasila sebagai falsafah Bangsa Indonesia. Ketuhanan yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia itu adalah falsafah yang memastikan bahwa satu nyawa anak Indonesia itu sama dengan harga diri Indonesia. Tidak ada kematian anak Indonesia yang boleh direstui atas dasar apapun selain segala hal yang telah diatur konstitusi negara. Tidak ada kematian yang boleh begitu saja dilewatkan hanya dengan ungkapan bela sungkawa berpita hitam. Pancasila yang sakti, harus dipersilakan menggunakan kesaktiannya di depan segenap rakyat Indonesia.

Apakah saya berpikir seharusnya negara mencari siapa saja yang salah dan menyeret mereka di hadapan negara untuk diadili? Jika iya, siapa? Sebentar, saya tidak benar mengerti apa yang sesungguhnya  terjadi selain kejadian yang telah dijelaskan kronologinya itu. Maksud saya, beberapa pertanyaan menggantung di dalam kepala dan jawabannya adalah apa yang  sesungguhnya terjadi sehingga terjadi kejadian yang mengerikan di Kanjuruhan.

Mengapa para suporter harus turun ke lapangan saat klub kebanggaan mereka kalah? Tidakkah olah raga adalah wajah sportivitas terlepas begitu banyak kasus “penjudi olah raga” yang telah muncul di muka? Tidak bisakah menang dan kalah diterima dengan cara ksatria? Bukankah menang atau kalah bukan tolok ukur kesatriaan, melainkan sikap atas keduanya? Mengapa harus ada tindakan dari aparat yang semakin menyulut emosi suporter yang memang sudah emosi?  Mengapa harus ada tembakan gas airmata jika itu tidak diperkenankan oleh Federasi Sepak Bola Internasional atau Fédération Internationale de Football Association (FIFA)?

Tidakkah dalam Stadium Safety and Security Regulations tertulis “no firearms or crowd control gas’ shall be carried or used” yang secara tegas melarang penggunaan senjata api dan gas untuk mengontrol massa, mengapa ada gas airmata di area lapangan sepak bola?

Pertanyaan-pertanyaan itu entah penting untuk dijawab atau tidak, semua lahir sebagai pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang dapat mengarahkankan pikiran bukan semata pada kejadian hari ini, melainkan apa yang mengizinkan kejadian tersebut terjadi dan bagaimana cara agar tidak lagi terjadi. Dan masih ada pertanyaan lain. Apakah tindakan aparat telah sesuai dengan prosedur yang ada baik di kepolisian maupun di TNI? Jika yang sedemikian tidak sesuai prosedur, apa yang sesuai? Mengapa sikap PSSI berkenaan kejadian ini hanya tentang pemberian sanksi terhadap Arema FC, bukan tentang bagaimana ratusan nyawa yang hilang itu? Bukankah kejadian hilangnya nyawa di kalangan suporter bukan kali ini saja? Mengapa Ketua Komite Disiplin (Komdis) PSSI, Irjen Pol (Purn) Erwin Tobing sebagaimana saya baca di Tribun Jabar tidak berbicara tentang upaya agar tidak ada lagi korban dalam sepak bola Indonesia?

Satu hari selepas Hari Kesaktian Pancasila, lebih dari  mencari siapa yang salah dan menyeret mereka di hadapan negara untuk diadili, kejadian di Kanjuruhan, sebut saja Tragedi Kanjuruhan, melibatkan begitu banyak persoalan. Persoalan, bukan orang atau sekelompok orang. Persoalan yang masing-masing telah ada dibentuk oleh banyak pihak di masing-masing orang perorangan, kelompok, dan instansi-instansi. Tanpa perlu menyebutkan apa orang perorangan, kelompok, dan instansi-instansi yang dimaksud karena telah ada dalam rentetan pertanyaan yang dituturkan sedemikian cerewet di muka, semua pada akhirnya bertemu di Kanjuruhan dan membunuh beratus anak Indonesia. Pancasila terasa hilang kesaktiannya dalam hal ini. Bukan karena Pancasila benar tidak sakti, melainkan karena tidak dipersilakan benar-benar hadir di dalam hajat hidup seluruh rakyat Indonesia. Bahkan tidak diperkenankan hadir untuk tidak membiarkan rakyat berdesakan di pintu keluar stadiun, saling injak, kehabisan napas, lalu kehilangan nyawa.

Cilegon, 2 Oktober 2022

Penulis adalah sastrawan dan Pemred biem.co

Editor: admin

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button