Oleh Alfian Dippahatang
Membunuh Malas
Buat: Ibunda Sitti Nurhaedah
Engkau benang yang terentang tipis dan menolak digulung.
Berulang kali, engkau dapati aku melintas di hadapan
toko bangunan milik seseorang yang membencimu.
Engkau menolak kata-kata dijadikan belas kasih dan ratap.
Engkau ingin atap rumah yang bocor segera diperbaiki Ayah,
tapi katamu, menunggu tanggal baru yang selalu berlalu.
Lalu, Engkau tahu, aku nangis melihatmu kuat menahan air mata.
Bahaya engkau jadikan cahaya di mataku
melalui hari-hari tersulit yang lebat di kepala anakmu.
Engkau tahu menjinakkan ledakan yang tertampung
di kepalaku yang penuh angan-angan dan kenangan.
Engkau guru yang selalu mengingatkanku rindu
harus dikatakan di saat waktu tak menjadi pisau melukai jari.
Tak cukup untuk menatap saja. Jika terkumpul,
engkau mesti menyentuh dan memilikinya.
Engkau tepati janji, kendati pergelangan tanganmu
kosong dan sesuatu itu lubang di dadaku.
Engkau ada di pikiranku memasukkan bahasa asing
agar aku tak mudah tumbang di saat orang-orang bekerja keras.
Sri Asih atau Wonder Woman mungkin dua nama
yang belum cukup tegar mengukur jalan-jalan berkelok,
sementara hidup ini kadang memaksaku
mesti jadi tokoh komik dan tokoh film yang dipuja-puji.
Engkau bukan jarak yang dilalui pelari memenangkan perlombaan.
Engkau ingin 17 Mei tak ada perayaan, sekali pun ulangtahunmu.
Engkau tak ingin berlebihan tertawa, sebab usiamu kian menguning dan kering.
Engkau cantik dan selalu pahlawan.
Engkau suara jauh yang rutin hadir di sepasang kupingku
yang tuli mengingat ucapan semangat pagi
sudah datang dijangkau tangan matahari meninggi.
Engkau bukan lapangan tempatku bermain
dan jadi anak cengeng yang jatuh sedikit nangis.
Engkau lapang membuka suasana sedapatnya tenang.
Engkau menyukaiku paham hal teliti yang engkau kerjakan
di dapur penuh hati-hati dan sepenuh hati.
Engkau percaya dan membuang segala kemungkinan
tentang kebohonganku, padahal kejujuran sesungguhnya
saat aku tak menanggapi kata-katamu dan diam.
Tapi, aku yakin, segala yang ada di diriku teralami di dirimu.
Engkau bukan pejam yang berupaya memahami kesepian
sesuatu yang membunuh, seperti memilih berada di perpustakaan
ketimbang di pusat perbelanjaan.
Engkau biarkan aku berusaha membunuh malas
tanpa tekanan dan kemarahan yang melampaui batas
atau api yang melahap bangunan tertinggi kota ini.
Engkau ingin aku air yang meluap melahap diri sendiri
sebelum banyak menerka murka.
Engkau tak membiarkanku jadi luka di kulit orang lain.
Bulukumba, 2016
Sejak Kecil
“Jangan jadikan dinginnya air
yang jatuh di mulut bambu pada subuh hari
alasan bermalas-malasan membersihkan badan,”
tuntunmu demi menyentuh letak rohaniku.
Sejak kecil, terutama bulan bersih yang dinanti umat.
Engkau terus menunjuk jalan menuju kokohnya kubah
dan tegaknya menara, agar akrab kukunjungi.
Ketika engkau menjumpaiku berkecil hati,
engkau datang mengembara pada air mataku.
Kendati, tempat paling nyaman
telah kukunjungi di lenganmu,
sungguh kesedihan kujangkau begitu cepat.
Engkau pamit dengan sesak sebelum imsak.
Ingatanku selalu tajam pada tatapanmu
yang pantang kulawan, segera menunduk.
Aku percaya perkataan Guru Agamaku,
di matamu ada laut yang maha tenang.
Dapat menuntunku berlayar menuju langit jauh
yang ternyata lebih dulu menyambut
kedatanganmu dengan pelangi.
Kukenang seluruh yang tak pernah luruh
dari caramu meninggalkan jejak seperti tabah.
Ampuh membuat kakiku ringan melangkah.
Tanpa menimbang sedikit-banyaknya
yang kuperoleh, biarlah dijadikan rahasia
yang tak akan kuanggap sia-sia.
Katamu, seusai memberi salam kepada Tuhan.
Aku tak boleh beranjak dulu. Duduk bersila.
Menengadahkan kedua tangan sejurus dada.
Lalu, merasakan hati meresap bicara
seperti air mata ingin meredam bala.
Sejak kecil, engkau tak membiarkanku
melepasmu dalam doaku.
Makassar, 2016
Doa Tak Pernah Menolak Kapanpun Aku Ingin Mengungkap Rahasia
Marah karena permintaan dijadikan pendam dan berdiam.
Tanpa ingin menggerakkan tangan menjangkau luasnya harapan.
Engkau tak ingin aku menjauhi dan bahkan membenci doa
yang kadang membuat seseorang ingin melakukannya.
Kulipat kedua tangan di tepi ranjang seraya menatapmu.
Ingin segera engkau akhiri tanpa merasa kalah.
Alangkah terkejutnya aku ketika engkau menyuruhku
mendekatkan telingaku di mulutmu.
Belakangan baru kusadari, di situlah letak dirimu
paling intim engkau bukakan padaku tanpa duka.
Di bulan suci tanpamu lagi. Sepi ini kulawan di sini.
Kendati, masih ada tangis mengenangmu
yang tak lagi menuntunku membaca ayat.
Menatap jam demi jam yang kuanggap lamban bergerak.
Masih kuingat bentuk senyummu sambil berkata
: Bulan bersih adalah bulan berolahraga.
Bulan yang membuat kita jadi peraga
di hadapan raga kita sendiri.
Akhirnya, yang benar-benar engkau simpan di benakku
dan menyuruhku mendekatinya adalah doa tak pernah
menolak kapanpun aku ingin mengungkap rahasia.
Makassar, 2016
Rencana Naik Pesawat
Sejak bulan lalu, ibu mengajakku bepergian naik pesawat.
Sejenak sesat aku membayangkan jika itu benar-benar kualami.
Yang kupersiapkan jauh hari sebelum merasakan itu
hanya satu; gemetar. Lalu ibu tertawa
dan aku menganggap memang menggelikan.
Segalanya penuh persiapan.
Terlebih, jika yang akan dikerjakan
mesti dijelaskan orang lain yang lebih paham
ketimbang berusaha mengatakan tahu
di hadapan kenyataan.
Ayahku seorang yang cerewet jika sesuatu
yang bakal kukerjakan pernah dialaminya.
Pengetahuan ayah adalah pengalaman.
Menuju jauh, maut membesar.
Ketakutan makin mengembang di jantung.
Makassar, 2016
Belajar Berdoa
Semata-mata perayaan yang tak ingin
mengubah seluruh kesedihan menjadi nyala
dan tak semua tiupan memadamkan harapan,
kendati sehari saja, seterusnya butuh hidup.
Mata yang melihat senyum merekah
tak terbatas mengangankan perasaan
yang tak pernah dihantui jarak.
Kepada cintalah, membuatnya memiliki nyali
sebelum puisi ini merampasnya.
Di mana lagi kulabuhkan ketabahan ini
jika tak di tanganku menghamba
bersemangat selamat menghadap
sepenuh hati dan sepenuh merendah.
Bulukumba, 2016
Alfian Dippahatang, lahir di Bulukumba, 3 Desember 1994. Keluar dari Sastra Indonesia Universitas Negeri Makassar dan memutuskan lanjut lagi kuliah di Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin. Tergabung dalam buku antologi bersama: Jejak Sajak di Mahakam (Yayasan Lanjong Kutai Kartanegara, 2013), Orang-Orang Dalam Menggelar Upacara (Asasupi, 2015), Gelombang Puisi Maritim (Dewan Kesenian Banten, 2016), Rumah Pohon (Interlude, 2016), Benang Ingatan (Indie Book Corner, 2016), Pasie Karam (Dewan Kesenian Aceh Barat, 2016) Tentang Yang (Garis Khatulistiwa, 2017). Buku tunggalnya yang telah terbit, Dapur Ajaib (Basabasi, 2017). Twitter: @dippahatang.
Rubrik ini diasuh oleh Muhammad Rois Rinaldi.