KolomRois Rinaldi

Muhammad Rois Rinaldi: Pemimpin yang Salah Sejak dalam Pikiran

biem.co — Belakangan ini saya menditeksi pemahaman yang menarik ihwal kepemimpinan. Sebagian orang dengan sadar atau tidak, berdasarkan ketidaktahuan atau berdasarkan pengetahuan, menganggap menjadi pemimpin itu seperti main raja-rajaan seperti ketika kanak-kanak. Saya tidak tahu, anak-anak zaman sarang merasakannya atau tidak, yang pasti saya dan orang-orang seangkatan saya yang hidup di kampung, rata-rata merasakannya. Di mana seseorang di antara kumpulannya didaulat menjadi raja, diberi mahkota daun, diminta duduk tempat yang lebih tinggi, kemudian dilayani oleh teman-temannya sampai permainan raja-rajaan itu selesai.

Jarak seseorang dari kenyataan dan hayalan pada momen raja-rajaan itu hanyalah “prasangka” terhadap dirinya sendiri sebagai apa. Jika itu yang menjadi gambaran pemahaman sebagian orang tentang kepemipinan, bukan saja pemahaman tersebut telah bergeser, melainkan sudah terjerembab jauh ke jurang hitam yang gelap. Sialnya, di jurang hitam dan gelap itu, para pemimpin yang tidak tahu apakah mereka masih dapat melihat atau mata mereka tidak berfungsi karena ketiadaan cahaya, terus menerus berseru: “Ikutilah saya! Ikutilah saya! Hanya di sisi saya kalian akan menemukan nilai hidup dan kemuliaan. Hanya di sisi saya kalian akan mendapatkannya.”

Dari kesesatan itu, yang berpusar di kalangan masyarakat kita, baik di OKP, kalangan organisasi mahasiswa internal kampus, Ormas, organisasi kesenian berbentuk komunitas dan badan publik, lahir orang-orang yang begitu gandrung ingin menempati tampuk kepemimpinan dengan gairah yang semacam anak-anak main raja-rajaan itu. Sebuah gairah yang jika disadari betul akan membuat kita merinding disko, karena antarmereka bukan tidak mungkin saling hantam dan menyingkirkan. Sebab kepemimpinan bagi mereka adalah kekuasaan, nama besar, dan kebanggaan-kebanggaan, tidak boleh ada satupun pembangkang. Pilihannya hanya dua, tunduk atau disingkirkan.

Karenanya, tabiat pemimpin yang tampak di muka adalah pemimpin-pemimpin yang senantiasa minta diberi hormat, dilayani, dan selalu mau didengar. Orang-orang yang dipimpin oleh pemimpin yang memiliki prasangka raja-rajaan, semata para pesuruh, para budak. Bahkan mereka sendiri dengan kerelaan penuh membentuk kelompok juru sorak yang senantiasa memberi sorakan bergemuruh yang membangkitkan “birahi” pemimpin mereka. Sebab raja-rajaan memerlukan sorakan agar tidak bangkit dari ketidaksadaran dan tetap merasa menjadi raja betulan dan orang-orang yang berada di dalam kepemimpinannya tetap aman.

Di masa kini memang sudah tidak ada perbudakan, sudah tidak relevan menghadirkan kembali perbudakan yang telah ditolak zaman ke dalam wacana kekinian. Tetapi di tengah kepemimpinan dengan gaya itu secara diam-diam budak terus lahir. Sebab mereka hanya diajarkan cara mengangguk dan dilarang menggeleng. Mereka hanya memiliki kesempatan menyetujui tanpa diberi hak untuk menyatakan sikap yang lain dan memberi ide yang dianggap lebih baik agar lebih baik pula capaian-capaian yang dicita-citakan bersama. Dan lagi, telah hilang dari kepala mereka soal-soal cita-cita, sebab cita-cita telah menjadi pengkultusan seutuhnya.

Memang pada kenyataan yang kasat mata tidak sepenuhnya tampak sedemikian mengerikan, sebab, secara formal, rapat atau jajak pendapat senantiasa dilakukan. Tetapi persoalannya adalah bagaimana rapat atau jajak pendapat itu berlangsung. Jika orang-orang diminta berkumpul hanya untuk mendengarkan pandangan pemimpin mereka untuk kemudian mengangguk, makan-makan, dan pulang dengan membawa tugas tanpa dapat dibantah, itulah bentuk eufisme gaya kepemimpinan yang salah sejak di dalam pikiran semacam itu. Eufisme yang membuat orang-orang berpikir bahwa mereka telah berpikir sebelum berpikir.

Tidak heran, kemudian banyak orang berorganisasi seperti bebek. Berjalan di mana ada makanan dan bersuara ketika diberi makan atau tidak dapat makan. Sebab begitulah tabiat lanjutan dari orang-orang yang dipimpin dengan cara yang salah. Lebih lanjutnya lagi, karena semua nilai telah menjadi milik pemimpin mereka, orang-orang merasa aman dan nyaman berorganisasi dengan cara melawan nilai-nilai keorganisasian. Mereka mudah marah bahkan dapat berubah menjadi binatang jika pemimpin mereka dikritik dengan dalil, pemimpin adalah simbol organisasi, sementara mereka lupa bahwa sesungguhnya setiap hela napas, mereka meludahi, mengentuti, dan memberaki organisasi tempat mereka bernaung. Lebih tidak mereka sadari, mereka telah menghinakan organisasi dan semua orang yang berada di dalamnya secara keseluruhan.

Tetapi setiap manusia berhak menentukan cara untuk berbahagia. Jika dengan cara seperti itu dapat membuat bahagia, kiranya tidak ada perlu dipersoalkan. Persoalan masing-masing pribadi akan menemui penderitaan karenanya atau menjadi sumber penderitaan untuk generasi setelah mereka, tidak perlu terlalu dipikirkan. Seperti sekumpulan anak-anak yang sedang main raja-rajaan. Asyik-asyik saja, sebelum permainan usai dan mereka pulang ke rumah masing-masing, lapar dan merengek minta makan. (rois)

8 Mei, 2018


Penulis adalah pendiri Ikatan Keluarga Besar Badan Eksekutif Mahasiswa Cilegon (2012), pengurus Persatuan Badan Eksekutif Mahasiswa se-Banten (2011/2012), dan Sekretaris Jenderal Dewan Kesenian Cilegon (2012/2014)

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Back to top button