PANDEGLANG, biem.co – Kemarin, 12 Maret 2024 umat Islam telah memulai Ramadan di tengah keprihatinan bangsa.
Ramadan memang baru berjalan beberapa hari. Namun, banyak kebutuhan pokok yang telah mengalami kenaikan harga. Mulai dari bawang putih, cabai merah keriting, yang santer diberitakan hingga yang terbaru adalah kenaikan harga sayuran.
Meroketnya harga beras yang sedang dirasakan oleh masyarakat Indonesia saat ini merupakan suatu fenomena yang menggelikan sekaligus meninggalkan banyak pertanyaan.
Kondisi ini menjadi tekanan bagi banyak kelompok masyarakat tidak mampu yang sangat sensitif terhadap perubahan harga.
Ibu-ibu rela mengikuti antrean panjang untuk mendapatkan beras yang harganya lebih terjangkau karena mendapatkan subsidi daripada membeli beras dalam kemasan dengan harga relatif mahal.
Di satu sisi, Ramadan menjadi praktik untuk belajar sabar dan menahan diri untuk dapat merasakan empati kepada orang-orang miskin yang hidup serba terbatas.
Namun bukan berarti masyarakat dibiarkan menghadapi kenaikan berbagai kebutuhan pokok atas nama belajar bersabar. Apalagi bagi kelompok miskin dan miskin ekstrem, kehidupan mereka menjadi semakin sulit.
Indonesia yang digadang-gadang sebagai negara agraris justru gagal menyediakan kebutuhan pangan bagi warganya.
Harga beras yang melambung tinggi saat ini juga tercatat sebagai rekor tertinggi sepanjang sejarah Indonesia.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan harga beras di Indonesia pada Februari 2024 mengalami kenaikan sebanyak 19,28 persen dibanding tahun sebelumnya. Kenaikan harga beras saat ini pun tersebar merata di berbagai kabupaten/kota di Indonesia.
Selain mahal, kelangkaan stok beras juga dirasakan oleh masyarakat. Hal ini membuat masyarakat ikut terdampak, apalagi mereka yang berada pada golongan menengah dan bawah. Meskipun mahal, masyarakat terpaksa untuk tetap membeli karena beras merupakan kebutuhan pokok. Sehingga ketika bantuan pemerintah datang seperti dalam operasi pasar yang dilakukan pemerintah daerah mereka rela untuk antre berjam-jam demi mendapatkan beras dengan harga murah.
Data menunjukkan, 98,35 persen rumah tangga di Indonesia mengonsumsi beras, yang menjadikan Indonesia di posisi keempat sebagai negara penikmat nasi terbesar di dunia.
Kelangkaan dan mahalnya harga beras tentu membuat kita bertanya-tanya, mengapa hal tersebut dapat terjadi?
Indonesia, bangsa yang dijuluki sebagai negara agraris justru gagal menyediakan pangan yang cukup dan terjangkau untuk masyarakat.
Pemerintah selalu mengatakan bahwa kenaikan harga beras diakibatkan oleh pengaruh El Nino.
Kita tidak boleh hanya menyalahkan dampak El Nino, sebagai penyebab dari kelangkaan dan kenaikan harga beras saat ini.
Menurut penulis, setidaknya ada 4 (Empat) catatan kritis dalam tulisan ‘Ramadan di Tengah Beras Mahal’:
Pertama, Presiden Jokowi yang melontarkan gagasan kedaulatan pangan sebagai buah Nawacita, misalnya, sampai sekarang belum terlihat jelas arahnya.
Persoalan mahalnya harga beras ini menunjukkan buruknya tata kelola pangan. Tidak ada kemauan dari pemerintah untuk mengatasi problem pangan, terutama beras.
Faktanya memang pemerintah lebih fokus pada agenda industri berat dan infrastruktur.
Ini sebagai kegagalan pemerintah dalam produksi beras dan buruknya tata kelola beras mulai dari hulu sampai ke hilir. Kita menyayangkan pernyataan Presiden Jokowi yang tidak bisa memberi solusi atas kenaikan harga beras bahkan hanya menyalahkan perubahan cuaca, sehingga produksi berkurang dan harga beras menjadi naik. Saya tegaskan persoalan beras tidak sesederhana itu.
Kedua, impor beras yang selama ini merugikan petani dan masyarakat menjadi penyebab rusaknya kemandirian pangan nasional. Salah satu penyebab turunnya produksi padi yang berimbas pada anjloknya produksi beras, adalah menyusutnya lahan untuk menanam tanaman ini.
Karena kebijakan pemerintah yang tidak pernah membela petani padi. Pemerintah selalu berat sebelah. Ketika harga tinggi, pemerintah mengimpor beras hingga harga turun. Namun ketika harga rendah, pemerintah tidak memberikan subsidi bagi petani.
Ketiga, berkurangnya lahan pertanian produktif di Indonesia merupakan fakta yang tidak dapat ditampikkan. Pernyataan ini didukung dengan data BPS, bahwa pada kurun waktu 2018–2023, telah terjadi pengurangan lahan sawah dari 7,7 juta hektar menjadi 7,1 juta hektar. Data tersebut juga menunjukkan di tiap tahun terjadi pengurangan lahan sawah rata-rata sebanyak 13.000 hektar yang beralih fungsi menjadi jalan tol, perumahan, industri, dan lainnya. Alih fungsi lahan ini menjadi salah satu momok terbesar yang dihadapi Indonesia dalam upaya untuk terus menggenjot produksi padi nasional. Apabila dilakukan simulasi konversi dengan mengacu pada data produktivitas padi di tahun 2023, didapatkan data rata-rata produksi gabah kering giling/hektar yakni 5,3 ton. Maka, dalam lima tahun lahan sawah yang beralih fungsi berkisar di angka 65.000 hektar dengan kehilangan hasil padi mencapai 344.500 ton GKG.
Di tambah persoalan degradasi lahan sawah digadang-gadang turut menjadi penyebab stok padi saat ini mengalami kelangkaan. Praktik-praktik tidak sehat di lahan sawah, seperti pemberian pupuk kimia, pestisida, atau bahan kimia lainnya secara berlebihan berpotensi menurunkan kesuburan tanah.
Tanah yang kurang subur membuat produktivitas hasil panen yang dihasilkan menurun.
Keempat, permasalahan tata kelola yang awur-awuran. Beberapa waktu lalu, penyaluran bansos yang dinilai jor-joran disinyalir turut berpengaruh pada stok beras dalam negeri. Perebutan stok antara pengusaha ritel modern dengan pemerintah untuk pemenuhan program yang sudah dijanjikan, yakni bansos, membuat terjadinya kelangkaan beras. Selain bansos, terdapat dugaan bahwa mafia beras turut menjadi biang keladi operasi pasar beras yang dilakukan Bulog tak efektif turunkan harga. Para pedagang nakal yang biasa membeli beras Bulog dalam jumlah besar dan menjadi penyalur ke pedagang eceran menjual beras dengan harga tinggi. Namun, efektivitas Bulog dalam menjaga stok beras dalam negeri juga perlu mendapatkan catatan. Sebab, Bulog tidak dapat mengoptimalkan penyerapan beras untuk memperkuat cadangan.
Jika Harga Beras Dibiarkan Naik
Penulis menilai, jika harga beras dibiarkan naik tak terkendali, maka biaya produksi makanan juga cenderung meningkat. Pasalnya, beras menjadi bahan baku dalam banyak produk makanan yang dikonsumsi rakyat. Lihatlah pengusaha warteg, lihatlah mereka yang berjualan nasi uduk, bubur ayam, nasi goreng setiap hari. Kenaikan harga beras akan mendorong naiknya biaya produksi ini dan akan mendorong naiknya harga-harga lainnya. Mau tidak mau produsen akan menaikkan harga untuk menutupi biaya tambahan, dampaknya rakyat lagi yang jadi korban.
Indonesia, merupakan negara dengan konsumsi beras global terbesar keempat di dunia dengan kebutuhan 35,3 juta metrik ton sepanjang tahun lalu.
Sementara produksi beras pada 2023 di Indonesia untuk konsumsi pangan penduduk diperkirakan sekitar 30,90 juta ton, mengalami penurunan sebanyak 645,09 ribu ton atau 2,05 persen dibandingkan produksi beras pada 2022 sebesar 31,54 juta ton.
Persoalan kronis rantai pangan nasional di tengah konsumsi yang membumbung dan produksi yang terganggu, pemerintah gencar melakukan impor beras. Tahun lalu, pemerintah juga mendatangkan beras impor mencapai 3,06 juta ton.
Namun, kakunya proses impor juga menyebabkan impor pangan tidak tepat waktu dan tak bisa segera menurunkan harga beras yang sudah kadung melambung.
Sebagai contoh, harga pangan dan kebutuhan pokok yang terkendali, yang menghasilkan keuntungan bagi para petani sebagai produsen dan terjangkau bagi para konsumen.
Jangan sampai rakyat antre beras di negeri dengan pesawahan terluas di dunia. Jangan sampai ayam mati di lumbung padi.
Pasti ada yang salah dalam situasi seperti ini; tinggal mau berefleksi atau tidak; tinggal mau mengakui atau tidak; tinggal mau memperbaiki atau tidak.
Pemerintah harus segera mengambil langkah sigap dan cepat dalam mengendalikan harga beras di pasaran. Kita tidak menutup mata bahwa sejumlah faktor membuat harga beras makin mahal. Sebut saja karena adanya faktor El Nino dan perubahan iklim yang menyebabkan gagal panen. Juga faktor global yang disebabkan oleh pelarangan impor beras di India. Tapi setidaknya pemerintah harus bergerak lebih sigap.
Pada akhirnya, perbaikan kebijakan dan tata kelola sistem pangan sangat dibutuhkan untuk menciptakan ketahanan dan kemandirian pangan Indonesia. Sistem buruk yang ada dan terus dilestarikan hanya akan menimbulkan petaka bagi Indonesia di masa depan.
Sekali lagi, Ramadan yang sesungguhnya bukan hanya menahan lapar dan dahaga, diharapkan dapat memunculkan empati terhadap penderitaan rakyat, menghasilkan niat yang baik.
Inilah yang sangat kita harapkan muncul dari para pejabat. Jangan sampai Ramadan sekadar menjadi seremoni buka Ramadan bersama yang penuh dengan makanan mewah.
Bukti konkret dari keberhasilan Ramadan para pejabat adalah munculnya kebijakan-kebijakan yang pro rakyat. (Red)
Eko Supriatno, penulis adalah Intelektual Entrepreneur, Pengurus ICMI Orwil Banten, Pengurus IDRI Provinsi Banten, Dosen Fakultas Hukum dan Sosial UNMA Banten.