CerpenInspirasi

Cerpen Hilal Ahmad: Jo Belum Bertemu Doh

JODOH itu rumit. Saat seseorang menginginkan orang lain untuk menjadi pendamping hidup, belum tentu sebaliknya. Saat seseorang ingin menjadikan orang lain sebagai teman hidup, belum tentu sebaliknya.

 

Jodoh memang rumit. Semakin seseorang berusaha mencari, justru semakin sulit ditemukan. Namun menunggu begitu saja, sampai lelah menanti pun tak kunjung menampakkan rupa. Lalu harus bagaimana? Oh ya perkenalkan namanya, Jo.

 

Matahari masih belum tinggi benar saat Jo melajukan matic-nya membelah Jalan Sudirman menuju Ahmad Yani. Serang, seperti biasa, masih setia dibakar matahari. Membuat makhluk-makhluk bernyawa di bawahnya mengumpat dan meradang melalui sosial media.

 

Matahari masih begitu, menari di ketinggian, tepat saat handphone yang Jo kantongi bergetar. Persimpangan Ciceri yang diapit restoran cepat saji penyedia ayam goreng dan supermarket waralaba asal Perancis, mengambil jeda. Lampu merah menyalak, memaksa Jo untuk menghentikan laju speedometer hingga level nol.

 

Jo merogoh perangkat canggih dari saku baju, satu nama tertera. Roo. Ahh, abaikan.

***

“Mau sampai kapan?” pertanyaan itu terulang. Entah untuk keberapa kali? Jo tak menghitungnya. Pelan dan menusuk.

 

“Menurutmu?” Jo mengembalikan lagi pertanyaan itu. Ya, itu cara efektif untuk menghindari pertanyaan yang Jo sendiri tak memiliki jawabannya.

 

“Kamu selalu mengelak?” kata wanita kurus yang dipanggil Roo lagi. Jo diam. Asyik menekuri ‘Rindu’-nya Tere Liye yang baru memasuki halaman 35.

 

“Dan kamu selalu mendesak,” jawab Jo tak berminat.

 

Hening. Jo tahu, setiap kali perbincangan ini terjadi, semakin menghadirkan pemisah antara Jo dan Roo, seseorang yang tak bosan-bosan mengingatkan Jo pada satu pertanyaan, yang

bermuara pada satu jawaban. Jawaban bodoh yang terlalu dipaksakan.

 

Lagi, Roo berdiri dan meninggalkan Jo sendiri yang asyik dengan buku setebal 544 halaman itu. Ini bukan yang pertama kali. Beberapa kali Jo dan Roo sempat bersitegang. Beberapa kali juga Jo lebih memilih diam dan tak menjawab. Bukan karena Jo tak memiliki jawaban, Jo memang tak pernah memiliki jawaban tentang ini. Beberapa kali selanjutnya, Jo lebih memilih menjawab sekenanya, jawaban yang tak diharapkan oleh Roo. Jawaban yang tak memuaskan Roo. Dan akhirnya Roo selalu berlalu pergi.

 

Ah, andai Roo tahu aku pun tak sabar menanti kapan jawaban itu akan  Jo miliki. Jo menghela napas dan mengembuskannya perlahan. Sesak itu masih bersarang di sini. Jo memegangi dada kirinya.

***

“Tak perlu resah, Jo,” Sarba menghibur. Restoran waralaba asal Amerika yang beroperasi 24 jam itu masih ramai. Padahal jam digital di ponsel Jo menunjukkan pukul lewat tengah malam, saat-saat di mana para Cinderella sudah seharusnya kembali ke rumah jika tak ingin kereta kencana mereka berubah menjadi labu.

 

Jo mengangguk dalam diam, sibuk mengaduk-aduk ice coffee yang ia pesan dan tersaji di depannya.

 

Meskipun Sarba memiliki nasib serupa Jo yang tak kunjung bertemu dengan jodohnya, namun setidaknya Sarba masih bisa bernapas dan terhindari dari tekanan pertanyaan tak berujung. Ya itulah hidup. Saat seseorang tak kunjung menemukan jodoh, selalu akan muncul pertanyaan, kapan menikah? Saat seseorang telah menikah dan tak kunjung memiliki buah hati, selalu akan muncul pertanyaan, kapan punya anak? Dan setelah memiliki satu anak, selalu akan ada pertanyaan kapan memiliki anak kedua. Dan setelah anak dewasa, selalu muncul pertanyaan kapan memiliki cucu? Dan saat tua, tidak mustahil muncul pertanyaan kapan akan mati?

 

Dan Sarba tahu, Jo berada di fase jawaban dari kapan menemukan jodoh semakin menggila. Bukan hanya dari keluarga dan tetangga, Roo bahkan lebih gencar. Ah wanita itu selalu menyalak. Memangnya apa pedulinya? Bukankah Roo pun sama seperti Jo, tak kunjung mendapatkan separuh hati masing-masing.

***

Restoran cepat saji asal Amerika selepas maghrib itu sedang padat-padatnya. Anak-anak kecil berseliweran, sesekali diteriaki para ibunya untuk duduk tenang dan melahap serpihan ayam dan segundu nasi di tangan ibunya. Di sudut ruang, Jo duduk berhadapan dengan Sarba. Roo ada di samping Sarba.

 

Jo menunduk. Roo nampak melemparkan pandang ke sana-kemari. Sarba membiarkan mereka asyik dengan aktivitas masing-masing.

 

“Baiklah, harus ada yang diselesaikan di sudut ini,” Sarba buka suara. Meja yang mereka tempati masih kosong. Sejak Sarba datang di meja itu lebih dahulu, disusul Jo lima menit kemudian dan Roo 10 menit kemudian, ia sengaja tak memesan menu apapun terlebih dahulu.

 

Jo mendongak.

 

“Apa yang harus diselesaikan?” Roo bersuara.

 

Sarba mendesah. “Kita bukan anak kecil lagi,” Sarba sedikit kesal. Ia melihat Jo, yang raut mukanya datar. Sejak beberapa hari ini lelaki berwajah tirus itu memang begitu. Terlalu banyak hal yang ia pikirkan, terutama pertanyaan-pertanyaan yang semakin menghimpit dan memburunya itu.

 

“Kamu mengatakannya pada Sarba, Jo?” Roo menyelidik. Jo diam. “Oh shit.” Perempuan kurus itu menoleh ke kiri dan kanan. “Sampai kapan kalian berhenti berbagi rahasia!”

 

Sarba mengerutkan dahi, tak habis pikir mengapa Roo sepanik itu. Apakah itu alasan mengapa Roo selama ini gencar mencecar Joo soal bertemu jodoh dan menyodorkan diri untuk menjadi pengganti Doh, wanita yang selama ini tak lepas dari benak Jo.

 

Keep calm, Roo,” Sarba tak sabar. “Kamu seharusnya malu,” Sarba tak kuasa, akhirnya menghardik. Ia tak habis pikir, seharusnya Roo malu. Sebagai wanita, harusnya ia punya malu untuk menawarkan diri menjadi pendamping hidup Jo, apalagi dengan cara mendesak Jo lebih dahulu. Sebagai manusia, harusnya Roo malu, memaksakan kehendak pada Jo. Tapi Roo adalah Roo, yang selalu bertindak semaunya dan terkadang memaksakan diri  untuk mewujudkan apa yang ia inginkan.

 

“Kamu tahu apa!” Roo membelalak. “Oh, sorry, aku salah, kamu memang tahu segalanya!”

 

Jo masih diam. Ia membiarkan Sarba dan Roo begitu.

 

“Kamu sadar, kamu justru membuat semuanya bertambah kacau. Bukankah kamu sama-sama ada di posisi Jo, bahkan juga aku. Tapi cara kamu nggak bijak. Childish!” hardik Sarba.

 

“Ooow, menurutmu cara yang bijak adalah mengenalkan Jo pada banyak wanita yang Jo tidak kenal dan suka. Begitu!” tantang Roo.

 

Jo menggidikkan bahu. “Ooow, menurutmu cara bijak adalah menyudutkan Jo untuk segera mencari pendamping hidup padahal kamu tahu Jo masih memikirkan Doh. Saat kamu tahu Jo nggak mampu meneukan kembali Doh-nya, kamu menawarkan diri. Iya, kan! Begitu!” Sarba meninggikan suara. Tak dipedulikannya kalimat-kalimat dramatis itu akan memancing perhatian para pengunjung.

 

Jo mendesah. Lelaki itu berdiri, dan meninggalkan keduanya tanpa pamit terlebih dahulu. Membiarkan Sarba dan Roo saling membuka rahasia yang ia beberkan tentang dirinya. Saling merasa paling tahu apa yang Jo inginkan. 

 

Angin segar langsung menyeruak dari pintu kaca yang dibukakan penjaga restoran. Jo sadar,  ia harus bersabar. Mungkin sarba benar, ia tak akan lagi bertemu Doh yang ia temui saat masih berseragam putih biru. Doh, adik kelasnya. Doh mantan kekasihnya yang memutuskan hubungan cinta monyetnya. Doh yang berurai air mata saat tahu Jo akan pergi meninggalkannya ke Pulau Jawa untuk melanjutkan sekolah. Doh yang memunculkan sumpah yang ia ikrarkan dalam diam. Ikrar tentang Jo takkan pernah menikah selain dengan Doh.

 

Tapi itu sudah belasan tahun lalu bukan? Jo sanksi, Tuhan mendengar sumpahnya. Namun setelah waktu-waktu berlalu dan Jo ada di fase seharusnya menemukan Doh yang lain, ia justru masih terkungkung dengan Doh-nya yang dahulu, yang tak kunjung ai ketahui di mana keberadannya.

 

Jo menghampiri matic-nya, siap membelah jalanan, tak tahu ke mana. Malam masih muda. Jo tetap bertekad mencari Doh-Doh lainnya. Meskipun Doh itu kemungkinan wanita yang masih berseteru dengan Sarba. Namun Jo tak ingin, menjadikan wanita lain sebagai Doh-nya atas dasar kasihan bukan cinta seutuhnya. Karena cinta adalah getaran yang muncul tiba-tiba dalam rentang lama, bukan iba pada nasib yang membuat seseorang menderita. (*)


Hilal Ahmad, pencinta buku-buku Tere Liye. Tinggal di Kota Serang. Cerpen-cerpen Hilal tersebar di sejumlah media lokal dan nasional serta dalam beberapa antologi. Follow Twitter-nya @Hilalova

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button