Opini

Di Masa Depan, Cebong dan Kampret Lebih Cerdas atau Sebaliknya?

biem.co — Tentu saja, pertemuan Banteng Merah dengan Elang Emas beberapa waktu lalu sempat dianggap memanaskan isu politik setelah usainya pesta pemilihan Ketua Erte Kampung Endonesa tahun 2019.

Tak ayal, sejumlah spekulasi sok tahu muncul di balik pertemuan itu. Ada Philips J Vermonte—yang saat tulisan ini Anda baca, mungkin masih—sebagai Direktur Eksekutif CSIS. Ia memberikan penilaian bahwa pertemuan itu mampu mencairkan ketegangan politik pasca-pilpres.

Namun pemerhati lain yang tentu saja bukan terus-terang-terang-terus juga menganggap hal ini belum tentu mampu mencairkan puncak Everest.

Untuk Cebong dan Kampret, dalam kesempatan ini, dan dalam konteks upaya stabilitas politik nasional baik dalam negeri—atau negeri di dalamnya—seperti pada lembaga Taman Kanak-kanak (meminjam istilah GusDur) dan perkumpulan Serigala (ngutang ucapan Kahil Gibran), menurut saya pertemuan dua gender yang sudah tua tak lagi muda itu adalah bagian dari proses politik biasa. Tak ada yang istimewa. Soalnya yang istimewa itu cuma kamu. Uhuy.

Tapi beberapa pakar yang juga sok tahu memberikan penilaian berbeda, mereka menganggap pertemuan Banteng Merah dan Elang Emas tersebut seperti puncak gunung es politik bangsa kita, Endonesa.

Sufi dari kubu ini bilang: “Bisa jadi Elang Emas sedang memesan kursi empuk untuk Menteri—pada orang yang dituakan tukang meubel—atau paling tidak mereka hanya memesan kue untuk merayakan ulang tahun tukang meubelnya.” Oh, andai ku mampu cairkan gunung es hanya dengan lilin di tanganku.

Spekulasi lain juga bilang, kalau perguruan elang emas dan ketuanya kurang diterima oleh partai anggota KIK (Partai Kaipang – angkatan 80-90 pasti tahu), karena akan mengurangi jatah kursi yang sudah lebih dulu mereka pesan. Or maybe karena elang emas sedang mengincar kursi Ketua Majelis Taman Kanak-kanak Rakyat Endonesah.

Secara, kan, banteng dan elang itu memiliki hubungan historis yang dekat. Elang dibawa pulang oleh suami banteng (dari keluarga Teuku Umar). Bahkan mereka pernah melanggar kode etik yang dibuat Tarzan dengan menjadi pasangan pada pemilihan erte Endonesa dua dekade lalu. Intinya, banteng dan tukang meubel sedang menarik Elang ke kandang besar nasionalisme.

Masih ingat jelang pemilihan erte Endonesa 2019, muncul sebutan bagi kelompok pendukung karakter tertentu di Sanhok dan itu menguat di tengah masyarakat kita. Kedua kelompok itu membangun sinisme yang-sangat-sinis di medsos dan beberapa akun PUB-G Mobile.

Muncul sebutan bagi pendukung erte nol-satu yang menyebut dirinya Kecebong. Sementara pendukung erte nol-dua kerap menyebut dirinya Kampret. Saat ini dan beberapa saat sebelum ini, pemilihan erte sudah usai, tapi saya rasa sinisme-yang-sinis-namanya-juga-sinisme itu masih berlanjut hingga kini. Mereka battle di manapun. Ahhh… seandainya dua karakter itu battle terbuka di Miramar. Pasti sudah ada squad yang berusaha membuat knock keduanya.

Kembali ke sinisme tadi. Pasalnya, belum selesai marahnya Perguruan 212 yang kecewa karena pertemuan di gerbong kereta, pertemuan kali ini membuat suasana malah makin panas, sepanas nasi goreng yang disajikan di pertemuan itu. Tidak sedikit pendukung erte nol-dua kecewa dengan pertemuan di gerbong dan politik nasi goreng. Mereka merasa tidak dianggap dan dikhianati.

Penghianatan selalu menyakitkan. Sebagian pihak bilang, “makanya cerdas mendukung”. Kalau sudah begini namanya bukan cerdas, tapi teeeeettt.

Jadi tulisan ini sebenarnya tentang apa? Sesuai niat yang sudah Malaikat catat sejak tadi, tentu saja, tulisan ini tentang Cebong dan Kampret yang dianggap oleh beberapa orang telah mencapai puncak evolusi kecerdasannya (IQ).

Dua squad yang dianggap sebagai karakter yang kurang memiliki pemahaman sosial ini telah menjadi aib bagi perhelatan politik nasional. Karena aib, hal inilah kemudian membuat beberapa orang merasa malu mengakui diri sebagai Cebong atau mengklaim diri sebagai Kampret, padahal bagi leluhur kita dahulu, soal malu adalah soal hidup dan mati. Saya tidak tahu mereka masih hidup atau mati, saat ini.

Pilpres Nanti, Yuk Cerdas Mendukung!

Sejak tes kecerdasan ditemukan lebih dari 100 tahun yang lalu, konon skor IQ manusia biasa seperti kita terus meningkat. Bahkan rata-rata orang saat ini akan dianggap jenius dibandingkan dengan seseorang yang lahir pada tahun 1919–efek ini dikenal dengan istilah Flynn Effect.

Akan tetapi, teori yang susah-susah dibuat oleh para ahli ini dipatahkan oleh segerombolan orang yang mengklaim dirinya Kampret Squad dan Kecebong Squad. Ternyata, saat dua squad ini battle di Vikendi, kecerdasan rata-rata orang akan menurun. Itu terjadi di Endonesa beberapa waktu lalu.

Eh, benarkah mereka membuat IQ nasional turun? Para pakar meng-iya-kan. Lah, bagaimana lagi, pendidikan dan suri tauladan selalu menjadi stimulus utama kecerdasan setiap orang.

Setelah Banteng Merah dan Elang Emas bertemu, saya tidak tahu, kedepan, apakah kecerdasan mereka akan bertambah atau malah sebaliknya. (ej)

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button