Cerita Bersambung Kholi Abas
Baca kisah sebelumnya: Pesan Cinta Dandelion (Bagian 4)
Bolehkah aku memilih untuk bertahan?
Pagi ini, di saat matahari mulai naik ke singgasananya, aku sudah siap dengan ransel cokelat usangku. Aku lirik lagi jam tangan untuk kesekian kalinya. Sudah menunjukkan pukul 07.30 WIB. Aku mulai gelisah, bus Arimbi jurusan Bogor yang menjadi satu-satunya alternatif Serang-Bogor itu tak kunjung terlihat. Dari pukul 07.00 aku menunggu datangnya bus di halte teramai di Kota Serang, halte Untirta. Aku datang sepagi mungkin agar bisa mendapatkan bus terpagi, tapi nyatanya sampai saat ini aku masih berada di tempat yang sama dengan 30 menit yang lalu. Halte Untirta yang dari awal kedatanganku masih sepi, kini sudah dipenuhi dengan lalu-lalang orang yang sekadar lewat atau turut menunggu sepertiku. Lagi dan lagi, aku terus melirik jam tanganku. Mondar-mandir melihat ke arah pintu keluar terminal Pakupatan, berharap Arimbi jurusan Bogor itu muncul.
”Lion, mau sampai kapan kamu berdiri terus di situ? Duduklah dulu, Nak. Seenggaknya ranselmu itu taruh di sini. Ayah melihatnya saja sudah berat,” Ayah mulai bersuara melihat tingkahku yang sangat gelisah dari tadi.
Aku menatap ke arah Ayah. Kupikir, ada benarnya juga yang dikatakan Ayah. Akhirnya aku memutuskan untuk duduk dan meletakkan ransel di sampingku. Ternyata ransel ini memang terasa berat, sakitnya aku rasakan ketika melepaskannya dari punggungku.
“Nggak usah manyun gitu atuh, Lion. Duduk yang tenang dan makan dulu ini rotinya. Jangan gelisah, nanti juga datang busnya,” ucap Ayah lagi seolah mengerti apa yang aku rasakan.
“Hmmh… habisnya udah jam segini busnya belum muncul juga, Yah. Padahal keberangkatan terpagi itu dari terminal Pakupatan pukul 07.00. Lion kan nggak mau ketinggalan momen di wisudanya Alin sama Gandis, Yah. Pokoknya Lion harus sampai kampus jam 11.00 WIB.”
Satu bungkus roti rasa cokelat dan satu susu kotak rasa stroberi telah habis aku lahap. Ayah juga telah menghabiskan satu mangkuk bubur ayam ditambah lima bala-bala. Jam tanganku pun telah menunjukkan pukul 08.30, sudah 90 menit aku menunggu datangnya bus. Di saat aku mulai jenuh dan harapku sudah mulai habis, akhirnya aku melihat Arimbi jurusan Bogor itu keluar dari terminal Pakupatan. Sepertinya, wajahku kini berubah dari berwajah masam menjadi sumringah.
“Yah, busnya sudah datang,” aku berucap dengan senangnya seperti anak kecil yang mendapatkan kado istimewa. Segera kuambil ransel dan bersiap untuk menaiki bus.
“Salim dulu, Yah,” aku menjulurkan tangan untuk bersalaman sekaligus berpamitan dengan Ayah.
“Hati-hati ya, Lion, jaga kesehatan, jangan kelelahan, dan jangan…” perkataan Ayah terputus. Ada jeda di sana. Namun itu tidak lama. Ayah melanjutkan kalimatnya, kalimat yang sudah aku duga.
“Dan jangan sakit lagi karena Dani ya, Nak,” ucap Ayah sambil mengulas senyumnya.
Aku menatap dalam ke mata Ayah, kuberikan senyuman terbaikku, aku tidak ingin membuatnya khawatir. “Insya Allah, Ayah. Terima kasih ya, Ayah udah nganterin Lion sampai terminal.”
Aku tinggalkan Ayah dan juga Kota Serang, menjemput rindu yang tertinggal di kota hujan penuh kenangan. Rindu kepada sahabat-sahabatku, Alin, Gandis, Nayla, dan juga Syifa. Rindu akan suasana kampus hijau yang begitu sejuk dan damai. Rindu masjid kampusku yang katanya menjadi masjid kampus terbesar di Indonesia. Aku juga merindukan danau di samping perpustakaan juga suasana di sekelilingnya. Airnya, tamannya, burung-burungnya, semuanya yang ada di kampus itu aku rindukan. Begitu juga dengan Dani, aku masih menyimpan rindu ini untuknya. Tapi, kunjunganku kali ini tidak berharap untuk bertemu Dani. Aku terlalu takut jika harus bertemu dengannya dalam kondisi hatiku yang masih kacau seperti saat ini. Pesan terkahirmu di WhatsApp saat itu membuatku harus meneteskan air mata lagi karenamu, Dani.
Untuk kesekian kali harus kukatakan, terbanglah!
Meski aku harus berderai menyampaikannya,
Pergilah!
Aku tidak mau dosa ini terus berkelanjutan
Dosa atas canda tawa bersamamu
Dosa atas kerinduan
Dosa atas segala interaksi yg tak halal ini
Kita nggak halal.
Biarlah air mata itu tumpah, setidaknya bukan untuk menggolakkan pedihnya neraka
Pergilah!
***
Perjalanan kali ini terasa sangat lama, pukul sebelas aku baru sampai terminal Baranangsiang, Bogor. Ini belum berakhir, aku masih harus menempuh perjalanan satu jam lagi untuk sampai di kampusku yang terletak di Dramaga. Bogor masih sama seperti dua bulan lalu saat terakhir kali aku mengunjunginya, macet terjadi di mana-mana. Tepat pukul 12.00 akhirnya aku sampai di gedug Grawida kampus rakyat ini. Aku langsung menuju yellow corner, tempat aku dan keempat sahabatku berjanji untuk bertemu. Rupanya aku yang paling ditunggu, semua sahabatku sudah ada di sana. Keterlambatanku tidak membuat mereka bosan dan kalah oleh waktu. Mereka masih di sana, menungguku. Tidak lama memang, hanya kurang lebih 15 menit kami bertemu. Setelah berfoto-foto, Alin dan Gandis tidak bisa berkumpul lebih lama. Mereka harus menyelesaikan rangkaian graduation di fakultasnya masing-masing. Begitu juga dengan Nayla, ia harus kembali ke laboratorium untuk melanjutkan penelitiannya yang tertunda. Kini, yang tersisa hanyalah aku dan Syifa. Di antara kami berlima memang aku dan Syifa yang sudah lulus terlebih dulu.
“Huft… tinggal kita berdua nih, Li. Sekarang, kita mau ke mana?” tanya Syifa yang sepertinya sudah terlihat bosan.
“Sepedahan, yuk, muterin kampus,” jawabku sekenanya.
“Dasar bocah. Ngasal mah jawabnya. Ya kali Lioooon kita sepedahan siang-siang gini. Puanas, Neng,” jawab Syifa kesal dan aku hanya bisa tertawa.
“Yaudah yuk, kalau gitu kita beli es krim cone aja, yuk,” ujarku sambil sedikit menggoda Syifa yang masih terlihat kesal. Merajuk.
Syifa tertawa melihat tingkahku yang seperti anak kecil, tidak berubah dari dulu. Ia pun mengiyakan ajakanku untuk beli es krim. Kita berbincang banyak hal, terutama merencanakan agenda yang akan dilakukan bersama esok hari. Rencana liburanku di Bogor selama tiga hari sudah terisi penuh tiap harinya dengan agenda bersama keempat sahabatku. Tidak ada yang lain, apalagi untuk mengagendakan hadir di pertemuan silaturahim ketua dan sekretaris divisi organisasi kemanusiaan yang diadakan esok hari. Aku tidak ingin hadir, karena di pertemuan itu ada Dani sang ketua. Untungnya, agenda bersama dengan keempat sahabatku ini bisa aku jadikan alasan untuk tidak hadir.
Keesokan harinya, aku larut bersama canda tawa dan kebahagiaan bersama sahabat-sahabatku. Aku matikan ponselku, agar tidak merasa terganggu dengan pesan-pesan di dalamnya. Aku benar-benar merasa hari ini aku bisa sejenak untuk tidak memikirkan Dani dan tidak bersedih lagi. Hari ini dilalui dengan sangat indah. Menaiki bebek-bebekan dan berlomba dalam mengayuhnya di danau CIFOR, meminum es kelapa, piknik, dan foto bersama. Aaaah… betapa aku menginginkan suasana seperti ini terus berlanjut dan jangan berakhir. Hari kedua liburanku telah berlalu, dan di hari ketiga ini aku masih melaluinya bersama sahabatku, Syifa. Yah, hanya Syifa. Alin dan Gandis disibukkan dengan agenda keluarganya. Sedangkan Nayla masih harus berkutat dengan penelitiannya. Akhirnya, aku dan Syifa memutuskan untuk melanjutkan agenda kami yang tertunda yaitu sepedahan mengelilingi kampus seperti yang dulu sering kami lakukan.
Dua sepeda kami pinjam dari shelter sepeda kampusku. Asrama putri menjadi titik awal aku dan Syifa mengayuh sepeda ini. Perjalanan kami lanjutkan menuju Fakultas Kehutanan tempatku menuntut ilmu. Suasananya rindang, sisi-sisi jalannya dipenuhi dengan pohon-pohon. Kenangan-kenangan masa kuliah dulu satu persatu muncul di kepalaku, seperti memutar kembali memori yang telah lalu. Setelah keluar dari fakultas yang paling kompak ini, mataku disambut oleh bangunan masjid kampus yang begitu megah. Menara masjidnya menjulang tingggi dan gagah. Piramida terbalik yang menjadi ciri khas bangunan atap masjid ini terlihat begitu cantik. Aku dan Syifa berhenti beberapa menit, menunaikan salat dhuha dan mengambil foto di beberapa sudut masjid ini. Masjid ini, menjadi tempat paling penuh kenangan bagiku selama aku kuliah.
Perjalanan tidak berhenti sampai masjid, kami melanjutkannya lagi menyusuri jalan-jalan yang mempunyai kenangannya tersendiri. Kami melewati Fakultas Perikanan, Peternakan, Kedokteran Hewan, dan juga jalan berkelok dan curam di belakang kampus. Saat melalui jalan berkelok ini, seperti biasanya aku memilih untuk tidak menaiki sepedaku. Aku menuntunnya, jalan ini terlalu menyeramkan. Biarlah Syifa menertawakanku, yang penting aku selamat. Toh aku dan Syifa memang begitu, saling menertawakan kekonyolan masing-masing.
Kelokan curam sudah terlewati, kini kami sampai di tempat yang paling disukai ketiga setelah masjid kampus dan danau perpustakaan, taman dan lapangan rektorat. Kami memarkir sepeda di samping lapangan. Seperti kebiasaanku dulu, aku selalu menuju pohon pinus yang berada di ujung lapangan untuk berdiam lama di bawah tegakannya.
"Kenapa harus di bawah pohon pinus terus sih, Li?” tanya Syifa yang sudah mengetahui kebiasaanku ini.
"Karena aku suka, hahaha,” jawabku disertai tawa yang terdengar puas.
"Hish… ya maksudnya kenapa kamu suka pinus?" nada bicara Syifa kali ini mulai meninggi, sepertinya ia mulai kesal.
"Karena pinus mengingatkan aku pada wangi wipol, hahaha."
Aku masih menghiraukan rasa kesalnya Syifa dan kembali tertawa puas.
"Terus kalau ingat wangi wipol kamu merasakan kemenangan atas terbunuhnya kecoa-kecoa gitu!" tukas Syifa kesal.
"Hahaha, bisa jadi bisa jadi,” ucapku sambil meledeknya. Sebelum aku melanjutkan kalimatku, kutarik napas dalam-dalam, menikmati udara segar pagi ini.
"Karena pinus, aku masih bisa menatap langit dengan jelas tanpa harus merasakan silaunya," aku mengulas senyum menikmati pemandangan taman yang hijau. Aku merebahkan tubuhku di atas rumput hijau ini, menatap daun-daun pinus dari bawah. Menatap langit di balik kanopi pinus, hingga akhirnya aku memutuskan untuk memejamkan mata ini.
Syifa sudah tahu betul kebiasaanku satu ini, ia sama sekali tak berkomentar saat aku mulai merebahkan diri. Ia masih menyibukan diri dengan gambar-gambarnya yang absurd dan hanya dimengerti olehnya. Mataku memang terpejam, tapi aku tidak berniat untuk tidur. Sekadar menikmati suasana pagi ini. Tapi, persis saat mataku mulai terpejam, bayangan Dani kembali hadir di pikiranku. Aku membiarkannya, membiarkan Dani kembali hadir. Bahkan aku sama sekali tidak ingin mengusir bayangnya. Aku biarkan Dani bermain di pikiranku. Sesak, sangat menyesakan. Allah, sesungguhnya aku merindukannya. Aku ingin bertemu dengannya. Hatiku bergejolak, ingin rasanya menumpahkan semua kata yang tertahan di dalamnya. Akhirnya, aku hanya bsa berdialog dengan diriku sendiri.
Dani, aku ingin menyapamu lagi melalui pesan ini. Walaupun tidak tertulis, semoga kamu bisa mendengar atau paling tidak merasakannya. Melalui telepati, seperti yang sering kamu ucapkan dulu.
“Semuanya gara-gara kamu, Lion!”
Kamu masih ingat kalimat itu, Dan? Kalimat yang kamu kirimkan melalui pesan singkatmu. Itu pertama kalinya aku merasa sakit karenamu. Bukan karena pribadimu, Dan. Tapi karena kata-katamu. Itu menyakitkan karena aku merasa bersalah. Aku bersalah atas sebab berubahnya sikapmu. Kalimatmu itu seolah-olah mengatakan jika akulah yang menyebabkan kamu tidak seperti dulu lagi. Mungkin kamu benar, Dan. Memang benar. Akulah penyebab kekacauanmu saat itu. Kacaunya hati dan pikiranmu. Tapi, aku sama sekali tidak berniat seperti itu. Rasa yang semakin tumbuh seiring dengan intensnya komunikasi di antara kita membuat kita semakin dekat. Saling mengetahui satu sama lain, dan rasa itu semakin menjadi.
Perlu kamu tahu, Dan. Bukan hanya kamu yang merasa terusik dengan adanya rasa ini. Walaupun di awal aku merasa senang bisa mengetahui banyak hal tentang kamu, tapi rasa ini meresahkan. Aku merasakan apa yang kamu rasakan. Kita sama-sama saling merasakan rasa indah titipan tuhan, tapi saat itu kita belum boleh merasakannya. Waktu kita tidak tepat. Kita berdua sama-sama paham, dan kita belum siap menerima rasa itu.
Rasa ini benar-benar mengganggu, dan sepertinya gejolak di hati akan berhenti ketika diungkapkan. Mungkin itu juga yang kamu rasakan saat itu, Dani. Hingga akhirnya, kamu pun memberikan pengakuan itu kepadaku. Tidak secara langsung memang, hanya disampaikan melalui pesan singkat. Seharusnya kamu tahu, Dan, memberikan pengakuan itu sama dengan memberikan pertanggungjawaban atas apa yang diucapkan. Aku pun tahu itu, kamu bukanlah tipe orang yang tidak bertanggung jawab. Hingga tiba di suatu kondisi, kamu memberikan sebuah pilihan untukku. Pilihan yang akhirnya kita sepakati bersama.
Saya nggak tahu apakah takdirnya memang harus seperti ini atau ini memang dampak dari kesalahan kita? Memang susah kalau sudah seperti ini. Ada dua pilihan yang bisa jadi solusi. Pertama, Lion bisa menikah dengan lelaki lain yang lebih siap. Kedua, kita bisa lanjutkan ini dengan menikah. Tapi, pilihan kedua ini butuh waktu. Setidaknya sampai aku siap dengan segala syarat yang diminta Ayahku.
Pilihan itu, kamu sudah mengetahui jawabannya kan, Dan? Mungkin ini terdengar sedikit egois, aku ingin memiliki calon imam yang bisa aku taati. Lalu, bagaimana bisa taat jika hati saja masih berkhianat?
Jadi, saat itu kita memutuskan untuk memilih pilihan yang kedua dan mendiskusikannya dengan ayah dan ibu kita masing-masing. Dari hasil diskusi inilah babak baru kisah kita dimulai, Dan. Episode paling menyedihkan yang pernah aku rasakan.
Mataku terasa hangat, buliran air mata sudah memenuhi kelopak mataku. Buliran bening itu perlahan mengaliri pipiku. Maaf, Ayah, Lion harus kembali sakit karena Dani. Napasku terasa berat, hingga aku memutuskan bangun dan duduk bersandar di batang pinus. Aku berusaha menghapus air mata itu, tapi rupanya Syifa sudah melihatnya.
“Lion, kamu kenapa nangis?” Syifa mulai mendekatkan duduknya. Lutut kami saling mengadu. Tangannya mengusap bahuku, lembut.
Aku masih membisu.
Entah, aku sendiri bingung untuk menjelaskan ini semua. Biarlah ini hanya aku yang rasa. Aku semakin terisak. Menutup wajahku dengan kedua tangan, tak ingin Syifa melihat air mataku yang semakin berderai.
“Ya Allah, Lioooon, kamu kenapa? Jangan buat aku khawatir gini, Li. Apa yang membuat kamu menangis seperti ini? Apa yang kamu pikirkan?” Syifa terus menerus bertanya, sepertinya ia sangat khawatir.
Syifa membuka kedua tangan yang menutupi wajahku. Mata kita saling bertemu. Ada tatapan heran di matanya. Mungkin dia heran melihatku yang dari kemarin selalu terlihat ceria tiba-tiba saja kini menangis terisak di hadapannya tanpa sebab yang jelas. Syifa tak bertanya lagi. Ia memelukku dengan erat. Mengusap bahuku dengan lembut, dan mendekapku. Aku masih tak bisa bersuara, hanya bisa menangis di bahunya. Syifa mungkin tak mengerti apa yang terjadi padaku, tapi aku yakin dia dapat memahami apa yang aku rasa.
“Lion, apa pun yang kamu rasakan sekarang, bagaimana pun kondisi hatimu saat ini, apa pun yang membuatmu menangis seperti ini, mungkin kamu tak bisa menceritakannya kepadaku. Tapi, percayalah, Li. Kamu nggak sendiri, ada Allah yang selalu menjagamu. Ada ayah dan ibu yang selalu sayang sama kamu. Ada aku, sahabatmu yang siap mendengar segala ocehanmu. Jangan sedih lagi ya, Li.”
Pagi ini, di saat matahari mulai meninggi dan bersinar cerah, hatiku kembali mendung. Hari ini, akhirnya aku memperlihatkan sisi yang lain di hadapan Syifa. Sisi yang rapuh, sangat rapuh. Mungkin benar kata Ayah, baiknya aku tak usah mengunjungi kota hujan ini lagi sampai lukaku benar-benar sembuh.
Dani, saat itu aku memilih untuk menunggumu. Sekarang, bolehkah aku memilih untuk tetap bertahan? Bertahan pada pilihanku untuk menunggumu yang kini melepaskanku.
Kholi Abas adalah nama pena dari Kholiyah. Kelahiran 18 Oktober 1993 ini gemar menulis. Cerita-ceritanya terangkum dalam antologi Gilalova 2, Gilalova 3, dan Toga di Tepi Jendela. Cerpen-cerpennya pernah dimuat di koran Radar Banten. Saat ini bergiat di lembaga kemanusiaan Dompet Dhuafa cabang Banten.