biem.co – Semula, tulisan ini saya beri judul tanpa “hanya”. Namun, setelah berdiskusi dengan rekan saya satu angkatan dan satu jurusan waktu kuliah di Aqidah Filsafat IAIN SGD (sekarang UIN Sunan Gunung Djati) Bandung, dia menyarankan agar judul tulisan agak diperhalus, untuk mengantisipasi kesalah-pahaman pembaca yang bisa menuai kontroversi.
Saya bilang, bukankah kajian seperti ini telah menjadi kebiasaaan dan rutinitas kita selama kuliah dan setelahnya? Dia sampaikan, bahwa pembaca itu beragam, baik latar-belakangnya, lingkungannya, pemikirannya, gurunya, bahan bacaannya, dan tingkat pemahamannya. Heterogenitas pembaca mesti dipertimbangkan. Demikian katanya.
Andai tanpa “hanya” yang saya selipkan dalam tanda kurung, bisa jadi anda pun sebagai pembaca merasa “terganggu” dan tak setuju dengan statement diatas kan? Tapi sabar dulu ya! Baca dulu penjelasannya hingga tuntas. Hanya saja, sebelum kebenaran statement itu terpatahkan, saya sodorkan beberapa fakta yang menjadi pembenar atas benarnya statement (sementara) itu.
Begini. Kebenaran agama itu kadang datangnya terlambat. Malah telat. Dalil agama kerap muncul hanya sebagai jawaban atas sebuah persoalan. Padahal, model begitu itu hanya terjadi dulu, ketika Nabi SAW menerima wahyu.
Islam, sebagai pembawa rahmat bagi semesta alam, diturunkan secara temurun sejak Nabi Adam AS turun ke bumi. Prinsip dasar ajaran Islam diturunkan oleh Allah SWT secara berkelanjutan oleh para nabi; dari nabi pertama hingga nabi terakhir. Mulai Nabi Adam AS, Nabi Ibrahim AS, Nabi Musa AS, Nabi Isa AS, dan Nabi Muhammad SAW. Bagi pembaca yang sudah khatam baca sirah nabawiyah pasti paham, mengapa saya hanya menukil beberapa nama nabi tersebut.
Sama seperti para nabi sebelumnya, Muhammad SAW sebagai nabi terakhir, mendapat wahyu dari Allah SWT lewat Malaikat Jibril. Sebagai seorang yang “ummi”, beliau selalu menunggu wahyu dari Allah SWT atas jawaban bagi setiap persoalan dan permasalahan yang dihadapi oleh umat.
Bila ketika lama tak ada kabar yang dibawa oleh Malaikat Jibril, Nabi SAW kadang langsung “berijtihad” sendiri. Tentu ikhtiarnya ini senantiasa berada dalam bingkai bimbingan langsung Allah SWT. “Akhlak Nabi SAW adalah Al-Quran”, demikian menurut Aisyah RA saat ditanya oleh Hisyam bin Amir.
Hampir 23 tahun lamanya Nabi SAW senantiasa memberikan jawaban atas setiap persoalan yang dihadapi oleh umat Islam saat itu. Hingga kemudian pada suatu hari di akhir kenabian beliau, Allah SWT menegaskan bahwa “pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu”.
Baca Juga
Dengan demikian, Islam hadir ditengah umat sebagai solusi atas problematika keumatan. Prinsip, norma, dan nilai Islam senantiasa menjadi pegangan dan pedoman bagi umat Islam dalam berpikir, bertutur, dan bertindak.
Sudah lebih dari 1400 tahun konsep sempurna ini diterapkan secara turun-temurun oleh kita sebagai penganutnya. Pada masa keemasannya bahkan mampu menguasai dua per tiga dunia. Mulai dari Jazirah Arab hingga daratan Afrika, Eropa, dan Asia. Islam menguasai dunia.
Dalam rentang waktu yang demikian panjang, kini mestinya Islam bukan hanya menjadi dan berada pada posisi pemberi solusi. Bukan hanya menjadi pemberi jawaban, bukan hanya menjadi pembenar atas penemuan dan penelitian yang dilakukan oleh manusia.
Kerap kali norma agama, khususnya dalil agama, atau kutipan kitab suci, datang belakangan dan sekedar menjadi pembenar atas penemuan manusia dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Orang lain yang menemukan, mereka yang susah payah melakukan penelitian, mereka yang berkeringat, lalu dengan entengnya kita mengatakan “itu semua sudah ada dalam kitab suci”.
Agama hanya jadi pembenar belaka. Padahal, Islam sudah berumur lebih dari 14 abad. Rentang yang sudah amat lama. Mestinya, Islam bukan hanya menjadi solusi. Bukan menjadi pahlawan yang kesiangan. Bukan hanya jago mengklaim. Mestinya, Islam menjadi inspirasi.
Baca Juga
Dengan ajaran yang terkandung dalam kitab suci, yang telah kita yakini kebenarannya, mestinya kita bisa melakukan penelitian dan penemuan lewat ilmu pengetahuan dan teknologi. Bayangkan, Galileo dengan fisika dasarnya, Newton dengan gravitasinya, Copernicus dengan heliosentrisnya. Lalu, untuk tidak ingin dikatakan bahwa Islam datang terlambat, dengan mudahnya kita mengklaim bahwa semua teori itu sudah ada dalam kitab suci.
Itu beberapa contoh magnum-opusnya para ilmuwan dunia. Pada contoh yang lebih sederhana dan dekat dengan keseharian kita, maka fenomena cocoklogi yang kerap kita lakukan adalah bentuk lain dari fenomena “pahlawan kesiangan” itu.
Cocoklogi yang saya maksud adalah perilaku kita yang kerap menyocok-cocokkan sebuah kejadian faktual dan mutakhir dengan kutipan kitab suci. Gejala ini marak terjadi dan mencapai puncaknya ketika agama dijadikan dan diseret sebagai media bagi kepentingan politik.
Demo atas nama agama yang dilakukan secara berjilid, tanggal dengan nomor cantik yang dipilih sebagai waktu yang pas dan tepat untuk melakukan aksi, makna yang dipaksakan atas nomor urut pasangan calon yang didukung, yang kemudian seolah mendapat legitimasi dari angka-angka pada ayat dan surat dalam kitab suci, adalah sebagian kecil dari beberapa contoh gejala cocoklogi. Seolah mendapat pembenaran dari kitab suci.
Yang terbaru, memaksakan untuk menyocokkan antara wabah corona dengan kalimat “waqorna” pada awal Ayat 33 Surat Al-Ahzab dengan cara memotongnya menjadi “qorna” yang dipahami sebagai “corona”. Cocok kan? Iya cocok, karena dipaksa untuk cocok.
“Subhanallah, astaghfirullah, tidak ada kebetulan di dunia ini”, adalah beberapa contoh diksi yang kerap dipakai sebagai gambaran ungkapan benarnya ajaran agama atas apa yang terjadi. Kalimat mulia itu seolah menjadi justifikasi atas cocoknya ayat dengan fakta. Mengapa kita tidak melakukan sebaliknya; kitab suci menjadi inspirasi, bukan hanya dijadikan sebagai solusi.
Akhirnya, agama, kitab suci, dalil naqli, hanya menjadi justifikasi. Datang belakangan. Telat. Padahal, bila kita menempatkan agama, kitab suci, dan dalil naqli sebagai inspirasi, maka kebenaran yang dibawa agama akan semakin teruji. Norma dan nilai islami menginternalisasi pada seluruh aspek kehidupan.
Mari kita hadirkan agama sebagai pembawa inspirasi. Bukan hadir dan datang hanya sebagai pemberi solusi. Mari kita sajikan kebenaran agama secara argumentatif. Karena menyajikan dan membela agama dengan cara konyol –dan kebiasaan cocoklogi adalah salah satu bentuk kekonyolan- hanya akan membuatnya sebagai bahan olokan belaka. Wallahualam.
Cocokologi…hehe
Sebagian diantara “mereka”yang kerap menyocok-cocokkan sebuah kejadian faktual dan mutakhir dengan kutipan kitab suci yang terjadi saat ini, bukan “hanya” ketika agama dijadikan dan diseret sebagai media bagi kepentingan politik, tetapi kepentingan sebuah “ideologi” untuk sebuah prestise belaka.