biem.co – Ketika menerima semacam undangan dari redaksi biem.co untuk menulis sebuah artikel tentang refleksi Provinsi Banten dalam rangka menyambut pergantian tahun memasuki tahun 2017, penulis teringat sebuah kisah tentang tiga orang pemuda pada era peradaban Mesir Kuno sedang memindahkan batu dari suatu tempat ke tempat lain guna membangun sebuah piramid.
Ketika ditanyakan apa yang sedang mereka kerjakan? Ketiga pemuda tersebut menjawabnya secara berlainan. Pemuda A menjawab bahwa dia sedang bekerja memindahkan batu itu dari suatu tempat ke tempat yang lain. Pemuda B menjawab bahwa ia sedang mencari nafkah dengan bekerja mengangkut batu. Dan pemuda C menjawab bahwa dia sedang membangun sebuah peradaban besar yaitu peradaban Mesir.
Kisah diatas muncul dalam benak penulis ketika mengamati perjuangan pembentukan Provinsi Banten sejak bulan Juli 1999 hingga terbentuknya Provinsi Banten pada bulan Oktober tahun 2000.
Sepanjang masa ‘bergolaknya’ semangat perjuangan pembentukan Provinsi Banten, yang menggelegak hampir di seluruh lapisan dan unsur masyarakat Banten ketika itu. Secara garis besar penulis mencatat ada tiga motif berbeda yang mendasari keterlibatan banyak rakyat Banten dalam perjuangan tersebut.
Bagi mahasiswa non aktifis dan masyarakat awam yang terlibat, persis seperti jawaban pemuda A bahwa dia ikut berkumpul dan dimobilisasi karena ada yang mengajak tanpa tahu persis apa yang akan terjadi kelak pada saat Banten menjadi sebuah provinsi yang mandiri.
Sedangkan bagi aktifis, pengusaha, PNS dan politisi yang rela membiayai perjuangan provinsi tersebut, memiliki motif seperti pemuda B bahwa bila kelak menjadi provinsi yang mandiri akan banyak peluang untuk menjadi PNS atau legislatif atau jabatan penting lainnya baik di pemerintahan maupun di parpol dan ormas, serta proyek pembangunan yang bisa digarap secara mandiri oleh pengusaha lokal dan tidak perlu melibatkan pengusaha-pengusaha besar dari Jawa Barat.
Sedangkan sisanya yang sedikit dari kelompok masyarakat tersebut, yang bercita-cita sebagaimana pemuda C yaitu ingin membangun peradaban Banten, dengan cara mengembalikan kejayaan Banten, sebagaimana pada era kesultanan Banten abad lalu.
Kelompok ini yang penulis ketahui diantaranya adalah Prof. Dr. H. MA Tihami, MA (saat ini menjabat sebagai Ketua Dewan Riset Daerah Provinsi Banten) yang sangat giat membicarakan konsep budaya dan peradaban Banten masa depan, sehingga berharap kelak Banten akan menjadi suatu entitas tersendiri, berbeda dengan entitas Pasundan sebagai cikal bakal masyarakat sunda di Jawa Barat. Terlepas dari motif kejuangan tiga kelompok tersebut, yang pasti kekompakan dan saling bahu membahu antara elemen masyarakat tersebut yang berhasil meng’gol’kan pembentukan Provinsi Banten.
Bila merunut sejarah, keinginan untuk membentuk Provinsi Banten telah dimulai sejak tahun 1953 berkaitan dengan dibentuknya Daerah Istimewa Jogjakarta. Lalu baru pada tahun 1963 dibentuk panitia Pembentukan Provinsi Banten oleh Bupati Serang kala itu yaitu Gogo Sandjadirdja, hingga seharusnya tahun 1965 Banten menjadi provinsi namun karena meletus kejadian G-30-S PKI, rencana itu kembali tertunda.
Dan perjuangan kembali berkobar secara sistematis pada tahun 1970 dengan dilakukannya Sidang Pleno Musyawarah Besar Masyarakat Banten untuk mengesahkan Presidium Panitia Pusat Provinsi Banten, meskipun tidak mendapat respon positif dari DPR-GR kala itu. Dan menurut Supandri, 2002 beberapa nama yang terlibat diantaranya adalah Tb. Bachtiar Rifa’i, Ayip Abdurachman, Achmad Nurjani, Uwes Qorny, Ekky Syahrudin, Hasan Alaydrus.
Hingga akhirnya pada tahun 1997, Almarhum Uwes Qorny memberikan pernyataan dalam wawacara pada sebuah media bahwa “saatnya Banten menjadi Provinsi ke-28”, hingga bergulir menemukan momentum melalui kunjungan presiden Habibie ke salah satu pesantren di Pandeglang, Banten, dan dimatangkan pada saat seminar yang digagas oleh Gerakan Pemuda Reformasi Indonesia di Anyer pada tahun 1999.
Yang menarik, semua argumen yang dibangun sejak gagasan yang muncul pertama kali mengenai perlunya Banten menjadi sebuah provinsi adalah sama, yaitu adanya Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Manusia (SDM) yang cukup untuk mempertahankan kelangsungan hidup sebuah provinsi, sementara kondisi hasil pembangunan jauh tertinggal ketimbang daerah lain di Jawa Barat.
Sehingga ketika perjuangan pada tahun 1999, isu ketertinggalan dan ketimpangan selalu menempati prioritas pertama untuk diusung sebagai argumen, yang secara bersamaan kala itu tengah santer-santernya semangat otonomi daerah yang bertujuan mendekatkan pelayanan publik antara provider (pemerintah) dengan masyarakatnya.
Bahkan masih melekat dalam ingatan penulis ketika berkumpul di berbagai tempat, bagaimana isu ketertinggalan Banten Selatan selalu ‘dijual’, mengingat ketika itu Kabupaten Lebak merupakan kabupatan dengan jumlah IDT (Inpres Desa Tertinggal) yang terbanyak di wilayah Provinsi Jawa Barat. Bayangkan ada 190 desa tertinggal dari sekitar 300 desa di Lebak kala itu. Jadi isu itu merupakan isu seksi untuk meyakinkan para pemegang keputusan agar mengabulkan Banten untuk berdiri sendiri sebagai provinsi.
Asumsi yang dibangun sederhana saja, bila Provinsi Jawa Barat harus berbagi dana pembangunan dengan lebih dari 20 kabupaten/kota, maka jika Banten menjadi provinsi, dana pembangunan hanya berbagi dengan 5 kabupaten/kota lainnya.
Namun demikian setelah ditetapkan sebagi sebuah provinsi yang mandiri, alih-alih kondisi masyarakat segera berubah, tahun-tahun pertama perjalanan Provinsi Banten lebih diwarnai dengan dinamika kesibukan pengisian anggota DPRD dan saling sikut pengisian jabatan-jabatan strategis serta pawai dukungan terhadap pejabat yang mengincar posisi-posisi empuk dan basah.
Kondisi ini berjalan sampai dengan tahun kedua dan ketiga. Dan bahkan pada tahun kedua sejak berdiri resmi, Kota Tangerang berteriak tentang kecilnya dana pembagian yang diterima ketimbang ketika masih bergabung dengan Provinsi Jawa Barat dulu.
Pokoknya 5 tahun pertama berdirinya provinsi, pembangunan yang dijanjikan tidak terbukti. Pembangunan masih menggeliat hanya di perkotaaan, namun di wilayah peloksok tetap saja belum mendapat perhatian yang proporsional. Seorang tokoh kala itu, H. Tryana Syam’un sempat berteriak bahwa jajaran kepemerintahan Banten (Pemprov dan DPRD) tidak memiliki ‘kereteg hate’ dalam mengurus wilayah yang menjadi tanggung jawabnya.
Terbukti ketika itu Kabupaten/Kota di Banten banyak mempertanyakan kinerja provinsi yang lebih mirip kabupaten ketujuh dalam melaksanakan proyek pembangunan di wilayahnya. Seharusnya pemprov memposisikan diri sebagai koordinator yang mensinkronkan pembangunan antar kabupaten/kota agar harmonis, pemprov jangan sibuk bikin proyek sendiri tanpa berkordinasi dengan kabupaten/kota dibawahnya.
Seiring berjalannya waktu ternyata semakin jauh ‘kareteg hate’ dari para penyelenggara kepemerintahan Provinsi Banten. Hal ini terjadi karena semakin banyak aktor yang a-historis terhadap sejarah pembentukan Provinsi Banten.
Semakin banyak pelaku kepemerintahan yang tidak terlibat secara langsung dalam perjuangan pembentukan Provinsi Banten. Sehingga mereka tidak bisa membaca semangat kebatinan atau keinginan masyarakat atas dibentuknya Provinsi Banten kalaupun ada pihak yang terkait langsung pembentukan Provinsi Banten, dan hari ini menjadi petinggi di kepemerintahan, namun nampaknya kepentingan jangka-imah-nya lebih besar dari ‘kereteg hate’ yang dimiliki untuk membaca kondisi penderitaan masyarakat Banten.
Jikapun hingga akhir tahun 2014 pihak provinsi mengklaim keberhasilan mengangkat derajat pembangunan di wilayah Kabupaten Lebak, sebetulnya itu sekedar klaim belaka, sebagaimana tergambar pada beberapa pemberitaan di media massa pada kasus ‘jembatan indiana jones’ yang sempat mendunia. Ditambah dengan terkuaknya fakta bahwa sistem kepemerintahan ‘kekeluargaan’ yang sejak awal dipaksakan secara sistematis dan terstruktur di wilayah Banten, ternyata membawa dampak yang dahsyat terhadap dugaan penyalahgunaan wewenang, sebagaimana tuduhan Ketua KPK ketika itu, Abraham Samad bahwa korupsi di Banten merupakan kejahatan keluarga seperti termuat dalam media cetak nasional antara tanggal 4 hingga 8 Desember 2013.
Sejak ditahannya Gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah sejak bulan Desember 2013, kepemimpinan di Banten otomatis dipegang oleh Wakil Gubernur yakni Rano Karno hingga ditetapkan sebagai gubernur definitif pada tanggal 12 Agustus 2015. Waktu tunggu untuk menjadi gubernur definitif selama kurang lebih 1,5 tahun tentunya menghambat laju pemerintahan Provinsi Banten karena tidak sedikit keputusan strategis yang tidak bisa dieksekusi oleh seorang wakil gubernur.
Menyimak hal tersebut, praktis dinamika pembangunan di Provinsi Banten tersendat sendat sejak pendiriannya. Padahal masyarakat masih menanti perubahan besar yang diimpikan sejak Provinsi Banten berdiri. Meskipun berbagai kemajuan dapat dirasakan, namun masih lebih rendah dari harapan masyarakatnya.
Padahal hasil evaluasi pembangunan yang dilakukan oleh banyak pihak selalu menunjukkan indikator yang positif, sekalipun tampak kontras jika dibandingkan dengan hasil pembangunan yang dirasakan oleh sebagian masyarakat Banten, terutama yang berada di wilayah selatan Banten yakni Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang.
Bahkan penulis sering disindir oleh beberapa pemerhati pembangunan dari pusat (Jakarta) yang meyayangkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh perguruan tinggi ternyata tidak dapat memotret ‘perkeliruan’ yang terjadi di pemerintahan Provinsi Banten. Bahkan laporan yang disampaikan dalam evaluasi selalu menunjukkan hasil yang menggembirakan sehingga membuat para aparatur kepemerintahan merasa bahwa apa yang dilakukannya sudah berhasil, sekalipun hal ini nampak bertentangan dengan isu besar yang muncul di beberapa media massa mainstream. Sinyalemen tersebut dapat dibuktikan dengan dimasukkannya Provinsi Banten kedalam provinsi yang masuk radar KPK bersama 5 provinsi lainnya di Indonesia.
Dengan demikian, salah satu tugas besar yang menanti agar Provinsi Banten dapat mencapai tujuan yang dicita-citakan adalah adanya kejujuran dari berbagai pihak untuk mengakui kelemahan yang dimilikinya. Sehingga semua pihak menyadari dan segera memperbaiki berbagai kelemahan tersebut.
Terlebih di awal tahun 2017 akan dilaksanakan pemilihan gubernur sebagai pucuk kepemimpinan tertinggi eksekutif di Provinsi Banten, maka perlu kiranya masyarakat selaku pemegang saham terbesar di Provinsi Banten memiliki kehati-hatian dalam menentukan pilihan, agar tidak terjerumus kedalam lubang yang sama yakni perilaku koruptif yang lebih memusatkan perhatian kepada pemenuhan keinginan diri pribadi dan golongan, ketimbang mengutamakan kepentingan masyarakat Banten secara umum.
Kita berharap, siapapun pemimpin yang terpilih akan menyadari betapa berat tugas dan amanah yang dipikul, mengingat anugerah geografis Banten yang sebagian besarnya dikelilingi oleh laut dapat menjadi peluang yang memberikan harapan untuk kehidupan yang lebih baik, namun sekaligus bisa berubah menjadi sebuah tantangan dan ancaman dari serbuan para predator yang hanya mengeruk kekayaan sumber daya alam di Banten tanpa menyisakan kebaikan pada para penduduknya.
Selain itu, sudah saatnya kepemimpinan di Banten bukan sekedar di atur oleh kepemimpinan politik, namun sesuai dengan ciri khas Banten sebagai sebuah daerah yang religius, maka kepemerintahan di Provinsi Banten sebaiknya dipandu oleh sifat Iman dan Taqwa secara nyata dalam setiap langkah perjalanannya… Semoga!
Boyke Pribadi, lahir di Bandung, 25 Juli 1968, Dosen di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Banten yang aktif menulis artikel tentang politik, ekonomi, dan pelayanan publik. Beliau adalah Penggagas Scenario Planning Banten 2045 dan tercatat sebagai Ketua Ikatan Alumni Lemhanas Taplai Banten.