CerpenInspirasi

Cerpen Agus Hiplunudin: Filosofi Cinta Kakek

 

Cerita Pendek Agus Hiplunudin

 

Dan aku percaya bahwa cinta itu ada, sebagaimana Tuhan itu ada – Agus Hiplunudin

 

Kakek tak lagi muda, itu terlihat dari tampilan raganya yang terlihat semakin renta. Jika ia berjalan tubuhnya tak lagi tegak, ia bergerak terbungkuk-bungkuk sedangkan sebuah tongkat bambu yang tak lebih tinggi dari tubuhnya selalu tergenggam di tangan kanannya, ia begitu akrab dengan tongkatnya tersebut, seakan tongkat itu telah menjadi karibnya sendiri.

 

Begitu pula dengan Nenek, ia pun telah tua renta namun ketika ia berjalan tubuhnya tidak ditopang oleh tongkat, tidak seperti Kakek.

 

Di usianya yang senja Kakek dan Nenek nampak selalu romantis, kala mereka berdua-duaan di rumah panggung gedeg bambu milik mereka, mereka suka ocon—bercanda dan ketawa bersamaan begitu intim, layaknya muda mudi yang sedang berpacaran.

 

Kakek sehari-harinya ngaweulit—merajut helai-helai daun kelapa dijadikannya sebuah atap. Dan kemudian atap-atap tersebut ia letakkan di kolong rumahnya yang panggung itu, para tetangga suka datang pada Kakek untuk membeli atap-atap hasil cipta, rasa, dan karsanya. Uang dari penjualan atap tersebut separuhnya Kakek berikan pada Nenek untuk biaya keperluan sehari-hari, dan separuhnya lagi dibagikan pada kami, cucucunya.

 

Adapun Nenek ia seorang paraji atau dukun beranak, ia bagai seorang bidan; jika ada perempuan yang hamil di kampungku dan sekitarnya dialah yang akan membantu kelahiran, merawat bayi yang baru saja dilahirkan. Dari apa yang dikerjakannya tersebut ia suka dikasi uang oleh keluarga yang dibantu proses kelahirannya. Berapapun jumlahnya, Nenek selalu menerimanya dengan tersenyum. Nenek tak pernah memasang harga, bahkan seringkali Nenek hanya dapat upah berupa senyum manis belaka dari keluarga yang ditolongnya. Bagi Nenek, kelahiran seorang bayi dan keselamatan ibunya adalah kebahagiaan tertinggi. Kata Nenek; kebahagiaan itu tak dapat diuangkan, dengan berapapun jumlahnya. Demikianlah Nenek. Terkadang aku suka berkhayal, aku kelak ingin menjadi seperti Nenek, namun sayang aku seorang laki-laki, dan belum ada sejarahnya seorang laki-laki menjadi paraji. Karenanya khayalanku berpindah pada Kakek, di mana kelak aku ingin menjadi seperti dirinya, menjadi seorang pembuat atap, atap yang membuat semua orang terlindung dari teriknya sinar matahari dan terlindung dari gigil kecutnya hujan deras yang turun dari langit. Kakek dan nenekku adalah sekelumit orang yang tulus dalam mejalani hidup ini, mereka seakan hanya tahu; bahwa hidup ini harus bermanfaat, dan manusia mulia adalah manusia yang bermanfaat bagi kehidupan orang lain. Sungguh, seringkali aku saksikan, bahkan Nenek tak mempedulikan kesehatannya sendiri, jika ia sedang sakit dan ada orang yang hendak melahirkan ia dengan tulus mendatangi orang tersebut—membantu proses kelahiran. Juga dengan Kakek, jika ia sedang demam namun ia tetap membuat atap-atap itu, katanya; atap ini sangat dibutuhkan oleh seseorang untuk rumahnya, dan kau tahu sendiri rumah tanpa atap, sama saja tak memiliki sebuah rumah.

 

Banyak filosofi hidup yang dapat aku ambil dari kisah perjalanan hidup kakek dan nenekku itu. Hingga kelak; filosofi hidup tersebut akan aku ajarkan pada segenap anak dan keturunanku. Demikian janjiku, dan jika aku mampu akan aku ceritakan filosofi hidup kakek dan nenekku pada semua orang. Itu juga janjiku. Entah terwujud atau tidak? Biar waktu yang akan menjawabnya!

 

Suatu hari Kakek sakit keras, itu terlihat sebab dirinya berhenti membuat atap-atap itu. Tampak tubuh Kakek tergolek lemas terlentang di atas sehelai kasur lepet tanpa ranjang. Dadanya yang tinggal tulang terbungkus kulit kembang-kempis tak beraturan. Nenek dengan penuh perhatian dan kesetiaan penuh menunggu Kakek, melayaninya tanpa keluh; bila Kakek ingin buang air besar Nenek yang memapahnya ke belakang rumah, waktu itu jumlah WC belum sebanyak seperti sekarang. Jika Kakek tak mau makan Nenek yang memaksa dan menyuapinya. Seorang mantri datang ke rumah Kakek, menyuntik pantat Kakek yang sudah gempos. Namun, kesehatan Kakek tak juga pulih, terkesan semakin memburuk, tetapi Nenek tak putus asa menemani suaminya yang tak berdaya itu.

 

Akhirnya anak-anak Kakek dan Nenek termasuk ibuku, memanggil seorang dukun, pada tahun 1995 kampungku masih diliputi takhayul, sains atau ilmu pengetahuan belum menyentuhnya. Aku juga heran kenapa mereka memanggil dukun padahal Nenek sendiri adalah seorang dukun juga? Dukun beranak. Namun, benar adanya, kendati dukun Nenek tak pernah kulihat berurusan dengan dunia tak kasat mata atau dunia gaib. Mungkin, Nenek dalam praktik perdukunannya telah menggunakan metode saintis medis ketika dirinya mengeluarkan bayi-bayi dari rahim para perempuan. Dan, kata dukun itu; sakit Kakek akan sembuh jika Kakek pindah rumah.

 

Mulanya Kakek tak mau mengikuti vonis sang dukun, namun sakitnya dirasakannya semakin menjadi-jadi, akhirnya dengan sangat terpaksa Kakek meninggalkan rumahnya, pindah ke rumah ibuku. Di rumahku dengan dirawat Ibu, kesehatan Kakek berangsur-angsur membaik, dan Kakek kembali ke rumahnya.

 

Seminggu kemudian Kakek kembali sakit. Dukun itu kembali didatangkan, sebab terbukti dengan menuruti perkataannya Kakek agak sembuh. Setelah membakar kemenyan dan memanjatkan mantera, dukun itu menghela napas panjang, rupanya ia telah mendapatkan sebuah wangsit, lalu berujar; “Kakek bisa sembuh, jika ia menceraikan Nenek.” Mungkin, vonis sang dukun terdengar oleh Kakek bagaikan suara guntur di siang bolong ketika posisi matahari berada tepat di atas ubun-ubun. Nenek memeluk tubuh ringkih Kakek, juga Kakek menggunakan sisa-sisa tenaganya ia mencoba memeluk Nenek, tak ada tangisan di antara keduanya, hanya mata mereka saja yang nampak berkaca-kaca.

 

Kakek kembali dibawa ke rumahku. Demi kesehatannya, Kakek pun bercerai dengan Nenek. Menjelang perpisahan, mereka saling peluk, bahkan Kakek dengan segala keuzurannya mencium pipi Nenek yang sudah mengkeriput. Tak ada tangisan di antara keduanya, hanya pasang mata mereka jelas terlihat berkaca-kaca.

 

Setelah bercerai dengan Kakek, Nenek tak tinggal di rumahnya, namun ia tinggal di rumah anak perempuannya, hasil pernikahannya dengan suami pertamanya yang telah meninggal. Kakek sewaktu bertemu Nenek ia seorang duda karena ditinggal mati oleh istrinya. Pula dengan Nenek ketika ia bertemu dengan Kakek ia seorang janda sebab ditinggal mati oleh suaminya. Menikahlah mereka, hingga beranak cucu.

 

Selekas sekolah, aku sering menjaga Kakek yang tergolek sakit di atas sebuah kasur beranjang dalam kamar. Kakek tak pernah menggumamkan bahwa dirinya rindu pada Nenek. Tapi siang itu, Kakek bangkit dari ranjangnya, ia berbisik padaku; “Cucuku, antarkan ini pada Nenek.” Sambil menyodorkan sebuah pelastik jernih, terlihat olehku berisi uang. “Bilang pada Nenek jika ia sehat datang ke sini,” Kakek kembali terbaring.

 

Aku pun bergegas menemui Nenek, kebetulan Nenek lagi berada di rumah anak sulungnya itu. Kuserahkan bungkusan pelastik tersebut. Nenek menerimanya, namun ia tak terlihat gembira, pasang matanya yang kelabu terlihat sedih dan berkaca-kaca. “Nek, Kakek bilang; jika Nenek sehat Kakek ingin bertemu.” “Ya, nanti Nenek ke sana,” tukasnya, matanya yang tadi redup terlihat semakin terang benderang, wajahnya yang keriput nampak bersinar, dan kulihat Nenek menjadi sepuluh tahun lebih muda, dari umur yang sesungguhnya.

 

Aku bergegas pulang, mengatakan pada Kakek bahwa tugasku sudah selesai, Kakek menyunggingkan bibirnya memperlihatkan gusi-gusinya yang tak lagi bergigi. Kakek bangkit dari tempat baringnya, ia duduk di bibir ranjang. Aku gembira sebab aku kira kesehatan Kakek semakin membaik. “Ada cermin nggak?” lirih suara Kakek. Aku pun bergegas ke kamarku mengambil cermin yang biasa aku pakai di situ, dan diberikan pada Kakek. Terlihat Kakek memandangi wajahnya sendiri yang terpantul dalam cermin tersebut, ia mematut-matut rambutnya yang telah hampir rontok semua dan telah putih semua, mungkin Kakek hanya ingin terlihat sedikit tampan oleh Nenek.

 

Pintu masuk ada yang mengetuk dari luar, Kakek menyodorkan cermin yang dipegangnya padaku, cermin itu segera kuambil, dan Kakek kembali merebahkan diri, pasang matanya kembali terpejam.

 

Kubukakan pintu, kulihat Nenek bergaun kebaya Sunda rambutnya yang putih disanggul dengan konde, dan tersampir di pundaknya sebuah selendang ungu, mungkin gaun yang dikenakannya adalah gaun terindah yang dimilikinya.

 

Kusilakan Nenek masuk, kukawal ia masuk kedalam kamar di mana tempat Kakek terbaring.

 

Di atas ranjang Kakek masih belum bergeming, pasang matanya pun masih tertutup, Nenek duduk di bibir ranjang di samping Kakek. Perlahan pasang mata Kakek terbuka, hal pertama yang dilihatnya adalah Nenek, mereka beradu pandang, saling lempar senyum. Aku keluar kamar. Malu, serasa diri memelototi orang yang sedang berpacaran, apa lagi ini adalah pasangan yang tak biasa.

 

Tak lama berselang kulihat Nenek keluar kamar, namun langkahnya terhenti setelah beberapa langkah dari pintu.

 

“Nek,” suara Kakek serak dan berat.

 

Kakek berdiri bungkuk di mulut pintu, bahkan tanpa bantuan sebuah tongkat, aku nyaris tak percaya dengan apa yang aku lihat, sebab telah seminggu Kakek tak bisa berjalan, kakinya lumpuh. Nenek membalikkan tubuhnya memburu Kakek dan meraih tangannya, ia begitu khawatir mantan suaminya itu terjatuh.

 

Kedua telapak tangan Kakek menggenggam erat telapak tangan kanan Nenek. Aku merundukkan wajah, aku mengerti, Kakek dan Nenek secara hukum memang telah berpisah, bercerai. Namun, hati mereka tidak, hati mereka tetap bersatu, jauh dari kata perceraian itu. Tatapanku kembali diarahkan pada Kakek dan Nenek, dan telapak tangan mereka masih saling genggam; sebuah filosofi cinta kudapat dari mereka, dengan bunyi;

 

“Kau jangan pernah melepas telapak tangan orang yang kau cinta.”

 

Nenek memapah Kakek masuk kembali ke kamar, Kakek kembali terbaring, pasang matanya kembali terpejam, namun tidak dengan telapak tangannya yang mengenggam erat telapak tangan kanan Nenek.

 

Seperginya Nenek, Kakek bergumam; “Cucuku kebaya yang Nenek pakai, adalah pemberianku, saat menjelang kami menikah di depan penghulu.”

 

Seminggu kemudian Kakek meninggal, ditangisiku, ditangis segenap anak dan cicitnya dan juga ditangisi Nenek. Seratus hari setelah kematian Kakek, Nenek menginggal, ditangisiku, juga segenap anak cicitnya.

 

Namun, Nenek dikuburkan tidak bersampingan dengan kuburan Kakek. Kakek dimakamkan di kampungku tempat asal kelahirannya, dan Nenek dimakamkan di kampung sebelah tempat asal kelahirannya. Namun, aku yakin kendati kuburan mereka berpisah namun mereka tetap akan bersatu di alam baka, sebagaimana mereka yang bercerai selagi mereka hidup di dunia, namun hati mereka tetap bersatu dalam naungan cinta di antara keduanya.

 

Banten, 24 Juni 2016


Agus Hiplunudin pria kelahiran 1986 di Lebak-Banten, adalah lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, Serang-Banten, pada April 2016 telah menyelesaikan studi di sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pernah menulis artikel di Radar Banten penempatan Serang, berkantor di Serang, Pedoman News berkantor di Jakarta, penempatan di Kota Probolinggo, Jawa Timur. Pernah menjadi pembimbing ekstrakulikuler jurnalistik di Aliah Al Ishlah, Pandeglang-Banten. Kini bergiat sebagai staf pengajar Filsafat Ilmu di STISIP Stiabudhi-Rangkasbitung.

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button