CerpenInspirasi

Cerpen Desny Putri Sunjaya: Depok, Bandung, dan Pulosari

 

LIBURAN SEMESTER GENAP tahun ini akan segera berakhir, namun bagiku ini adalah waktu untuk melanjutkan cerita yang sempat tertunda dengannya. Usahaku untuk melupakannya menjadi sia-sia.

 

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

“Cha, besok aku jemput kamu, ya…” suara yang sudah tak asing itu menawari di telepon.

 

“Iya,” jawabku singkat. Namun menyimpan rasa rindu yang teramat pada sosok di seberang sana.

 

Keeseokan paginya, Dylan datang menjemputku tepat waktu. Selama perjalanan tak ada percakapan menyenangkan, hanya basa-basi sekadar menanyakan kabar. Apakah Dylan tidak merasa bersalah selama ini?

 

Seenaknya saja dia mengajakku mendaki gunung hari ini setelah hilang sekian lama. Bodohnya aku, yang tak bisa menolaknya.

 

“Kenapa kamu mau jemput aku?”

 

“Selagi bisa,” jawabnya enteng.

 

 “Kalau nggak aku jemput, nanti kamu nggak jadi ikut, hahaha…” tawanya pecah. Padahal, menurutku, tak ada yang lucu.

 

“Mau dijemput, kek, mau enggak, kek, aku bakalan ikut, kok. Dasar nyebelin!” gerutuku.

 

Aku rasa Dylan tak menghiraukan perkataanku, karena ia tengah sibuk mengecek kehadiran peserta yang lain. Dylan menjadi panitia dalam acara pendakian ini.

 

Perjalanan dimulai setelah semua peserta hadir. Ini adalah kali pertamaku mendaki gunung, tentu aku sangat bersemangat dan bahagia, tentunya juga karena ada Dylan. Selama perjalanan Dylan selalu berada di belakangku.

 

“Maju duluan, deh, aku di belakang juga nggak apa-apa, kok,” protesku padanya yang selalu mengekor di belakangku.

 

“Enggak, ah. Aku bakalan terus di belakang kamu. Kalau aku di depan, nanti kamu ilang…” balasnya santai sembari merangkul pundakku sesaat.

 

“Masih semangat, kan? Bentar lagi curug, kok.”

 

Aku hanya mengangguk dan terus melanjutkan perjalanan. Kukira mendaki gunung itu hal yang mudah, ternyata tidak sama sekali. Perjalanan ini sangat melelahkan, ditambah kalimat-kalimat yang memberikan harapan palsu seperti “5 menit lagi” atau “di depan sudah kawah”. Semua orang juga tahu, baik curug, kawah, maupun puncak ada di depan kalau kita terus jalan.

 

Dylan akan mendahului langkahku apabila medan di depan lebih sulit.

 

“Lemparin tasnya, pegang tongkat ini, terus injak akar yang itu!” katanya sambil mengulurkan tongkat yang ditemukannya di tengah perjalanan. Apabila tongkat dirasa sulit dan tak membantu, Dylan mengulurkan tangan kasarnya. Ingin rasanya aku terus menggenggam tangan itu tanpa memedulikan anggapan orang tentang kami.

 

Perlu waktu dua jam untuk tiba di kawah Pulosari, karena aku sering meminta istirahat dalam perjalanan. Bau belerang menusuk hidungku, mengurungkan niat untuk memasak mi instan yang sudah kusiapkan dari rumah. Aku hanya memperhatikan Dylan yang tengah sibuk bercengkrama dengan teman yang lain.

 

Aku mengenal Dylan sejak pertama masuk SMA. Duduk satu meja, bersaing dalam semua pelajaran, mengikuti kepengurusan OSIS yang diketuainya, dan menghabiskan waktu berdua dengannya. Semua tampak menyenangkan sebelum kami berpisah karena universitas yang kami pilih berbeda. Ia masuk Teknik Industri ITB dan aku masuk Ilmu Kesehatan Masyarakat UI. Semenjak kuliah, kami jarang bertemu karena ia memiliki pacar di Bandung, sesama mahasiswa ITB. Aku tak ingat sejak kapan aku mulai menyukainya, tentu tanpa sepengetahuannya. Entah ketika Dylan memboncengku di depan dengan sepedanya, atau ketika ia memayungiku dengan jaketnya menuju sekolah sehingga membuat perempuan lain tampak iri, ataukah ketika ia memarahiku setiap rapat OSIS, aku tak tahu.

 

“Hei, Nyonya! Ngelamunin aku, ya?” goda Dylan tepat di telingaku. Aku mendongakkan wajah dan mendapati kharismatiknya dari jarak yang begitu dekat. Secepat mungkin aku menjauh untuk menutupi rasa gugup.

 

“Ayo lanjutin perjalanan lagi, Cha! Medan yang akan dilalui lebih curam, karena kemiringannya nyaris 90 derajat!”

 

“Demi apa?”

 

Aku tak mampu membayangkan betapa melelahkannya perjalanan yang akan kulalui. Aku memaksakan diri terlihat mampu menaklukan puncak Pulosari, meskipun kurasa Dylan mengetahui aku hampir putus asa.

 

Benar yang dikatakannya, perjalanan menuju puncak lebih curam dan sangat melelahkan. Tak banyak suara yang kukeluarkan, tentu itu pilihan untuk menghemat energi, kecuali keluhan-keluhan yang tak dapat kutahan lagi.

 

“Kok jauh banget, sih, kapan nyampenya?” tanyaku tak menghiraukan siapa yang mendengarnya. Aku tak ingin mengacuhkan pendaki lain yang bertegur sapa dengan Dylan dan teman-temannya. Berbagai pohon tumbang, jalanan menanjak, akar-akar pepohonan yang kuat menjadi santapan bagi pendakian kami. Sesekali aku meminta Dylan berhenti hingga akhirnya kami tiba di puncak gunung, dengan keringat membanjiri tubuhku.

 

“Tuhaaaan, akhirnya aku tiba juga di puncak Pulosari….” Aku berteriak semampuku untuk mengungkapkan kebahagiaanku yang membah. Kurasa Dylan tersenyum bangga padaku ketika aku memergokinya yang sedang memperhatikanku.

 

Thanks, ya Dyl, akhirnya aku bisa ke sini juga…” bisikku, lirih. Ah, ingin rasanya aku memeluk tubuh tinggi kurus Dylan saat itu juga.

 

“Iya sama-sama, Cha. Sorry ya, aku baru bisa ajak kamu ke sini sekarang,” balasnya dengan senyum mengambang di bibirnya.

 

Aku terus memandangi pemandangan di bawah. Hamparan hijau muda yang sepertinya persawahan, titik titik cokelat yang menunjukkan rumah-rumah penduduk dan hamparan hijau tua dedauanan pohon di hutan yang telah kami lalui.

 

“Cha, aku pengin kita terus deket kaya gini,” lanjut Dylan. Suaranya tertelan oleh suara terompet kerang yang ditiupkan para pemburu di puncak Pulosari, diikuti gonggongan anjing sehingga mengganggu pendengaranku. Benarkah kalimat itu keluar dari sosok yang kukagumi ini? Ah, barangkali hanya khayalanku saja.

 

“Ayo, Cha, makan dulu, gabung sama yang lain!”

 

Sepertinya aku sudah kembali di dunia nyata. Kuikuti langkah Dylan menuju teman-temannya, dengan terus mengingat-ingat kalimat Dylan yang kudengar setengah mengkhayal dan setengah nyata tadi.

 

“Pasangan ter-so sweet kita baru nyampe, nih!” sambut salah satu di antara yang lain, diikuti siulan anak-anak lainnya. Hampir tiga jam kami habiskan waktu untuk makan, bercerita, bermain games, dan tertawa. Bahagianya berada di samping Dylan dan teman-temannya puncak Pulosari. Setelah puas bercengkrama, akhirnya kami memutuskan turun, karena langit menunjukkan akan datangnya hujan.

 

Perjalanan pulang dibumbui dengan obrolan ngalor ngidul, membuat perjalanan pulang terasa lebih mudah. Posisi Dylan di depanku memperburuk keadaan karena ia selalu membuatku tertawa dengan ulahnya. Jaket parasut kukenakan sesuai saran Dylan. Hujan pun turun melengkapi perjalanan Pulosari-ku kali ini. Air mulai masuk ke dalam sepatu kesayanganku. Di depan Dylan, sepasang kekasih tengah bergandengan tangan menikmati hujan yang turun.

 

“Sepanjang jalan kenangaaan….”

 

“kita selalu bergandeng tangaaaan…” Dylan melanjutkan lirik lagu yang kunyanyikan. Aku kira ia akan menegurku karena nyanyianku ini akan menyinggung pasangan kekasih di depan kami. Kudengar anak yang lain ikut menyanyikan lagu yang sama.

***

Dylan kembali mengantarku pulang dengan motornya. Demi keselamatan di bawah rintiknya hujan, tanpa izin, kupeluk tubuh Dylan hingga kehangatan merasuki tubuhku. Sepertinya Dylan pun menikmati perjalanan kami malam itu, karena sesekali tangan kirinya menggenggam kedua tanganku yang terlilit pada perut rampingnya. Satu hari penuh kuhabiskan waktu bersamanya, sebelum akhirnya kami harus kembali melanjutkan kesibukan masing-masing di kota berbeda, Depok—Bandung.

 

“Aku mencintaimu, Dyl…” bisikku dalam hati sambil meletakkan daguku pada bahu kirinya. Tak peduli hujan  sesekali mambasahi wajahku. Kuhirup wangi tubuhnya yang bercampur aroma hujan. Ingin kubisikkan kalimat itu tepat di telinganya saat itu juga, berharap aku akan mendengar kalimat serupa, aku juga mencintaimu, Cha….

***

“Annisaaa! Cepat masukkan barang-barangmu!” Teriakan Rani menghancurkan lamunanku. Aku segera mengemas seluruh perlengkapanku, dimulai dari baju ganti yang kutaruh paling bawah, kemudian air minum di tengah, dan paling atas adalah barang-barang penting yang sekiranya sangat diperlukan dalam kondisi mendadak, seperti jas hujan. Pagi ini aku akan kembali mendaki gunung Pulosari dengan teman-teman komunitasku. Menyusuri kenangan yang pernah kulalui bersama Dylan waktu itu.

 

Dylan, andai kau masih ada….

 

Dalam penuh kerinduan, Pandeglang, 28 Juli 2015


Desny Putri Sunjaya, mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.

Editor:

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button