Film & MusikHiburan

Nonton Bareng dan Ngamen Puisi ‘Istirahatlah Kata-kata’

JAKARTA, biem.co — Pada 24 Januari, kawan-kawan Wiji Thukul serta para penggarap film Wiji Thukul—Istirahatlah Kata-Kata—berinisiatif mengadakan nonton bareng dan ngamen puisi Istirahatlah Kata-Kata. Untuk nonton bareng film Istirahatlah Kata-Kata, diadakan di TIM XXI pukul 17.00. Sedangkan ngamen puisi, diadakan di teras GBB, Taman Ismail Marzuki pukul 19.00-selesai. Acara ini dihadiri oleh keluarga dari pihak Wiji Thukul, beberapa korban penghilangan paksa, serta para pemain film Istirahatlah Kata-Kata. Acara ini bertujuan untuk memperkenalkan sosok Wiji Thukul yang dihilangkan oleh negara pada 1997/1998 dan juga memperkenalkan anak-anak dari Wiji Thukul yang sekarang pun telah menjadi seniman.

Tamu yang hadir, selain dari para aktivis 90’an, juga ada anak-anak muda yang bukan dari kalangan aktivis ikut serta dalam acara ngamen puisi tersebut. Sekitar 200 orang lebih yang menghadiri acara ngamen puisi, beberapa orang berasal dari Cinere, Ciputat, Tangerang, Bekasi, Bangka bahkan Malang.

“Senang karena yang berpartisipasi banyak banget, banyak yang tidak kebagian tiket nonton bareng, tapi mereka tetap datang untuk ngamen puisinya. Sempat gerimis, tapi peserta tetap fokus dengan puisi-puisinya. Persiapan juga sangat pendek, alat, dan fasilitas seadanya,” ujar Pheo selaku panitia acara.

Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah—selaku anak-anak dari Wiji Thukul—juga membacakan puisi-puisi karya ayahnya. Acara ngamen puisi ini tidak dipungut biaya apapun atau tidak sedang menggalang dana apapun, hanya membayar tiket masuk nonton film Istirahatlah Kata-Kata seharga Rp30 ribu..

Apresiasi dari kalangan anak muda untuk sosok Wiji Thukul kali ini sangat tinggi, ditambah misteri kehilangan dari Wiji Thukul pun belum jelas nasibnya. Tidak hanya untuk Wiji Thukul, acara ini juga untuk mengingatkan bahwa masih ada 12 aktivis korban penghilangan paksa yang hingga kini belum tahu nasibnya. Apalagi untuk keluarga Wiji Thukul, mereka masih selalu menunggu keberadaan nasib ayahnya tersebut.

Baca juga: Film Istirahatlah Kata-kata, Kisah Perjuangan Wiji Thukul

Pheo berharap, negara segera melakukan sesuatu untuk para korban penghilangan paksa dan berharap rekomendasi dari DPR mengenai Hak Asasi Manusia dijalankan, “jika mereka sudah meninggal, tapi negara tidak pernah mengeluarkan surat kematian mereka, tidak mungkin mereka hilang begitu saja dan tidak tahu nasibnya,” pungkasnya.

Rekomendasi DPR berbunyi:

  1. Merekomendasikan kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan Ham Ad Hoc;
  2. Merekomendasikan kepada Presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak-pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 orang yang oleh Komnas HAM masih dinyatakan hilang;
  3. Merekomendasikan kepada Pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi terhadap keluarga korban yang hilang;
  4. Merekomendasikan kepada pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik Penghilangan Paksa di Indonesia

Acara ini pun bertujuan untuk membangun anak muda dari segi kreativitas dalam perpuisian, tidak hanya untuk galau-galauan melainkan mampu meneriakkan perasaan khawatir, ketakutan atau perlawanan mereka atas apa yang terjadi pada mereka, agar puisi dapat menjadi suara yang memerdekakan, jangan justru jadi belenggu dan ketakutan.

“saya berharap anak muda terus berkarya, jangan terpaku pada kepuasan dan aktualisasi diri tapi konstribusi pada rakyat, walaupun dari jaman ke jaman model puisi semakin berubah. Pokoknya, semoga semakin banyak orang yang berpuisi atau menulis suatu hal entah itu dari perasaan, kejadian bahkan sejarah,” tutup Pheo. [uti]

Editor: Andri Firmansyah

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button