JATUKRAMI
Tapaktapak kembara telah genap
aku suguhkan pada setangkup harap
dari episode rintih sungai
sampai interval amuk badai
Telah beratus hari aku gadaikan
kesangsian ini, melawan jemu cuaca
membelah ombak di samodra jiwa
memerankan nahkoda bagi ganas lautan
Seperti merpati atas pasangan yang mati
aku ketakutan menemui diri sendiri
hingga datang teja yang kulihat di pantai Utara
seorang Penyair Pesisir berkata:
“Mencintai adalah kerelaan rongga
dijejakjejali arus ke muara.”
lalu musim bermekaran bersama
bunga di dada.
Banten, 2016
AMANAT
Demi segala yang nampak
sedialah dirimu jadi jejak
Rangkumlah segala kembara
leburkan pada kata-kata
Banten, 2015
MEMANEN SENJA
:Tineung Arum Purnamasari
Duduk kita di antara bebatu
dengan dua gelas kopi
dan senja yang ditunggu
Di sana kapal-kapal melaju
melabuh ke tempat yang dituju
“Bisakah kita seperti kapal itu,
yang memiliki kepastian tujuan?”
Diam aku menyaru kepiting hitam
yang berlumut itu—
diam-diam merekam percakapan kita
Memang kelikatan kita belum sebanding
dengan kekang kapal
juga karang-karang yang menjulang
menantang ombak
Tapi senja itu akan kekal
di kepala kita.
Banten, 2016
SAJEN
Akulah ringkik di pusar malam
seribu suara jangkrik kukalahkan
telah kulimbung bebisu gunung
memahat kekar urat
agar segala yang mengikat
makin mengejat makin melikat
ini tubuh untukMu
biar terbayar
biar ambyar
segeralah lekas genapkan
degupku
degup yang meronta
memacu resah kuda
memagut nyeri cemeti
rasuki ini diri
karena aku tak tahan
lagi.
Banten, 2012-2015
DI CAFÉ MALAM
Malam yang larut di gelas kopi
telah meyita kita pada tamsil:
percakapan seekor keledai dan gembala
Kita pun hanya bertukar kelakar
gurau yang tak dimengerti
kenapa kita bisa berbagi
juga waktu ikut menanti
“Akan ada, katamu, pada buih yang kau hirup,
waktu di mana kita bertanya
dan tercenung pada yang sia-sia”
Dan kita kembali berpura-pura
ikut larut diputar jarum waktu
menyerap kesunyian di ruang lain
dan menggaris remuk kata pada luka
Dan malam menutup pintu:
“Tak ada pagi sehangat birahi
tak ada kopi dan selai roti.”
Banten, 2014-2016
Yudi Damanhuri, dilahirkan di Jakarta. Alumni Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Sultan Agen Tirtayasa. Ia hijrah ke Banten ketika kerusuhan Mei ’98. Beberapa karyanya terangkum dalam antologi bersama. Saat ini ia bermukim di Anyer dan mengajar di sekolah swasta juga bergiat di Kubah Budaya.
Rubrik ini diasuh oleh M. Rois Rinaldi.