KOTA SERANG, biem.co — Toko buku belakangan ini semakin sulit ditemui. Beberapa waktu lalu, di daerah Cilegon, sebuah toko buku yang lumayan besar gulung tikar. Entah karena sepi pengunjung sehingga omset tak lekas menanjak, atau barangkali kontraknya sudah habis dan tidak lagi diperpanjang. Namun bila dicermati, rupanya di daerah lain pun banyak toko-toko buku yang juga tutup. Sebut saja seperti di Serang. Barangkali memang masih ada beberapa toko buku yang bertahan, tetapi lagi-lagi tak sebesar seperti yang ada di kota-kota lainnya di luar provinsi Banten. Koleksi bukunya pun tak begitu banyak, bahkan nyaris tidak update. Lantas, bagaimana nasibnya para pembaca yang haus akan buku-buku?
Untuk mengurai pertanyaan tersebut, bisa jadi cukup dengan menjawab, “beli saja via online, jangan repot”. Ya, saya sepakat. Hanya saja, ada nilai lebih yang tidak dimiliki toko online. Ada kepuasan tersendiri ketika bisa mengelilingi rak-rak buku di toko luring (luar jaringan) secara langsung; kebebasan memilih dan memilah buku pun tak melulu bisa dirasakan melalui pemesanan via daring (dalam jaringan), sebab kita hanya melihatnya melalui foto, kalau sepakat barulah buku dikirim. Belum lagi ada ongkos kirim yang mesti ditanggung pembeli, yang kadang biayanya nyaris sama dengan harga buku yang dipesan.
Kami, para pembaca buku sebenarnya tetap memperhitungkan soal banderol buku yang mahal itu. Lebih-lebih kantong mahasiswa yang masih kembang-kempis—dan nyaris lebih sering kempisnya ketimbang kembangnya. Akan tetapi, kami butuh bahan bacaan yang banyak, yang bermutu dan bukan hanya yang itu-itu melulu. Jangan sekali-kali bicara soal perpustakaan daerah di depan muka saya. Saya sungguh muak dengan isi perpustakaan di Banten. Baca baik-baik, kalau bisa dengan mengeluarkan suara lantang saat membacanya: “Perpustakaan daerah di seluruh kota di provinsi Banten sangat tidak layak disebut perpustakaan!”
Buku-buku yang lapuk, ngejengking, terjungkal, terbalik, yang sobek, belum lagi buku-buku keluaran terbaru tidak ada (bahkan saya cek sampai berulang-ulang tiap bulan); buku seks ada di rak buku anak, buku filsafat ada di rak ekonomi, buku komputer ada di rak sastra, buku sastra ada di keranjang sampah!
Beruntungnya, zaman telah berubah. Perpustakaan kemudian bertransformasi. Seperti yang terjadi pada Minggu, 26 Maret 2017 kemarin, hadirlah Motor Literasi, yang ingin dikenal dengan sebutan, “Gerakan Moli”. Digagas oleh Firman Hadiansyah, Ketua Umum PP Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) se-Indonesia, Moli untuk pertama kalinya beroperasi dengan melakukan gelaran buku di Alun-alun Kota Serang.
Masyarakat tak perlulah lagi bersusah-payah mengunjungi perpustakaan daerah atau mencari-cari toko buku yang keduanya sama-sama punya masalah yang kompleks itu. Melalui Moli kita bisa meminjam buku dan ikut nimbrung membaca tanpa perlu dibebani dengan biaya dan repotnya administrasi. Dan lagi, gerakan Moli ini tak lebih sebagai mediator untuk mendekatkan buku kepada masyarakat yang kesulitan mendapatkan akses buku yang layak, juga agar virus membaca terus-menerus menyebar ke seluruh warga Indonesia.
Rencananya, minggu depan, (02/04) Moli akan membuka lapak di Alun-Alun Rangkasbitung. Gelaran buku Moli ini akan diadakan setiap hari Minggu di tempat yang berbeda-beda. Minggu-minggu berikutnya di kabupaten/kota lainnya di Banten. Selain gelaran buku, Moli juga menerima sumbangan buku dari masyarakat umum atau siapa pun yang nantinya bakal diserahkan kepada TBM-TBM atau perpustakaan-perpustakaan di pelosok desa di sekitar Banten.
Seperti yang disampaikan oleh Firman, Gelaran buku Moli ini juga menjadi sebuah ajang silaturahmi para pegiat literasi di Banten, “kami diskusi tentang gerakan literasi di komunitas atau daerah masing-masing. Juga membicarakan program-program literasi yang bisa dilakukan bersama,” tambahnya.
Setelah mendapati hal demikian, barangkali boleh dibilang perlahan-lahan, kesadaran betapa pentingnya membaca dan menulis di provinsi Banten mulai tampak cerah. Tinggal bagaimana cara masyarakat merespons gerakan positif ini. Juga tentu saja pemerintah yang lambat dalam menangani setiap problema di masyarakat agar turut andil pula memberikan dukungannya secara penuh dan menyeluruh. Kecintaan kami pada ilmu pengetahuan menjadikan kami kritis. Bukan karena benci, melainkan karena betapa cinta dan pedulinya kami terhadap tanah sendiri. Ini adalah upaya kami untuk sama-sama menggerakkan hati. Kalau bukan kita yang bergerak, lalu kita menunggu siapa lagi? Tentu saja Moli, juga perpustakaan bergerak lainnya seperti perahu pustaka, kuda pustaka, sepeda pustaka, angkot pustaka dan segala macam jenisnya mesti selalu didukung. Ya, paling tidak selalu berikan ruang untuk mereka agar terus semangat menyebarkan hal-hal positif bagi masyarakat di lingkungan sekitarnya.
Di Banten, pegiat seni satu dan lainnya masih sering berbenturan. Baik secara ideologi maupun secara pelaksanaannya. Tentu saja saya berharap hal ini adalah salah. Karena mau bagaimanapun, sudah seharusnya kita bersinergi, bukan saling berkompetisi dalam artian yang berlawanan. Misal, ketika satu orang mendirikan taman baca, bukan berarti kita membangun taman baca lainnya tetapi ketika ada mediator yang berusaha menyatukan malah disalahartikan. Lebih mudahnya begini, Moli baru saja lahir di Banten, lantas bukan berarti pihak lain melahirkan Moli-Moli lainnya dalam wujud yang berbeda tetapi ketika ada upaya menyatukan justru malah menjauhi diri dan tidak ingin membaur. Padahal, jauh daripada itu, ada hal besar yang belum sepenuhnya kita taklukkan di luar Banten. (*)
Penulis, Ade Ubaidil, asal Cilegon. Pengelola Rumah Baca Garuda. Tulisannya bisa dibaca di: www.quadraterz.com. Alamat rumah: Jln.KH.Mabruk No.19 RT.07/RW.01 Gang 10 Cibeber, Cilegon, Banten. 42423. No. Hp: 0859 5984 5880, Email:[email protected].