InspirasiOpini

Konsumen di Indonesia, Nyeri Tak Berkesudahan Kasus DP 0 Rupiah: Catatan Kritis Anies-Sandi

Oleh Sumantri Hasan*

biem.co — Tanggal 20 April, adalah hari Konsumen Nasional. Setiap tanggal dan bulan tersebut memang masih ada korporasi yang  memperingatinya, begitu pun penggiat Lembaga Swadaya Masyarakat serta pemerintahnya. Namun memperingati saja tidak menyelesaikan masalah yang berlarut, ibarat luka nyeri yang tak berkesudahan.

Pemerintahan di suatu negara berdaulat harusnya tidak perlu terjadi konsumen seperti dibayangkan penulis. Namun faktanya berbicara lain, konsumen masih harus mencari bahkan merebut hati sendiri sekadar untuk mendapatkan kepuasan pelayanan. Ya sekadar mendapatkan kepuasan pelayanan dari birokrasi dan atau perusahaan di negara ini.

Kasus DP 0 Rupiah: Kebijakan Anies-Sandi

Begitu banyak kasus yang mengarah ke akut tidak lagi nyeri, maka penulis membawakan satu kasus yang masih keras dalam diskusi publik yaitu, program politik DP Nol Rupiah dari salah satu pasangan calon pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta Anies R Baswedan dan Sandiaga S. Uno.

Adalah Erica Soeroto yang mengingatkan kita bahwa yang diperlukan adalah bukan pada kebijakan parsial jika kita bicara kebijakan rumah untuk rakyat. Hasil penelitian disertasinya patut menjadi renungan dan aksi bersama bahwa dalam hal kebijakan rumah rakyat, pemerintah terlalu ikut “bermain” sehingga tidak menjadi efisien dalam pelaksanaannya. Penelitian Erica menarik karena ini hasil pengalaman pribadi nasional dan internasionalnya baik sebagai bankir dan pejabat eksekutif di salah satu perusahaan khusus pembiayaan perumahan ssebelum akhirnya memutuskan meneliti benang kusut kebijakan pembiayaan perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah alih-alih menyebutnya MBR.

Banyak temuan yang menarik jika dikaitkan dengan international best practice negara-negara lain jika membedah kebijakan Anies-Sandi. Sampai saat ini Sandiaga sang maestro bisnis, boleh jadi konseptor DP nol rupiah belum membuka referensi yang dimaksudkan serta dewan pakar yang dimilikinya. Sambil menunggu sandi membuka referensinya, ijinkan penulis membuka referensi hasil disertasi Erica bahwa pemerintah sejak reformasi sejatinya sudah tidak ada political will kepada MBR dalam hal mengakses KPR. Mengapa?

Karena Indonesia di era reformasi melakukan satu tindakan yang boleh penulis katakan ceroboh menghapus satu badan khusus pembiayaan untuk hajat orang banyak yang tidak tertampung semua dengan skema perbankan. Badan khusus yang diistilahkan Specialized Non Bank Financial Institution. Dalam hal pembiayaan perumahan contoh, PT Papan Sejahtera yang sahamnya mayoritas dimiliki Bank Indonesia.

Hal yang spektakuler dilakukan pemerintah sebelum reformasi seperti kebijakan perumnas akan sulit dibiayai dengan melulu mengandalkan pada sektor perbankan. Sekali lagi perumahan adalah kebutuhan, tidak sekadar itungan-itungan bisnis! Dipercayakan kepada pengembang dengan program pemasarannya dan bahkan harga jual sebuah properti pemerintah didikte pengembang.

Kembali ke DP nol rupiah (sengaja penulis tidak menulis DP 0 Rupiah atau DP 0 %) karena memang sudah banyak dilakukan pengembang. Yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa kita akan sangat kecewa bahwa kebijakan Anies-Sandi hanya akan merembes ke kelas menengah saja tidak ke Masyarakat Berpenghasilan Rendah. Hanya beda gimmick kampanye politik namun bukan pada substansi masalah jika kebijakan DP nol rupiah ini bukan menyasar ke MBR.

Karena dengan pola yang sama sudah berjalan program marketting perusahaan pengembang. Bukan salah Anies-Sandi semata, semua karena sistem pembiayaan perumahan didominasi perbankan. Ada pun yang dilakukan pemerintah dengan konsep Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang sayangnya dikelola langsung oleh Pemerintah menjadi menyulitkan sendiri peran pemerintah. Kita tahu, pemerintah pusat membuat satu badan khusus pembiayaan perumahan dalam rangka mengais dana lewat Pusat Pengelolaan Dana Pembiayaan Perumahan (PPDPP) di bawah naungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan dengan produk FLPP. Apakah ini berjalan efisien tidak pernah digugat publik.

Dalam situs resminya PPDPP sejak berdiri September  2016 tercatat Secara nasional backlog Indonesia mencapai 11,4 juta unit hunian rumah. Jakarta adalah kontributor terbesar kedua dengan hampir 1,3 juta unit hunian per tahun. Sedangkan terkait dana subsidi yang dikucurkan telah mengelola dana FLPP sebesar Rp 23,1 T dengan total jumlah rumah yang dibiayai sebanyak 443.688 unit rumah.

Sedangkan PT SMF menurut situs resminya sejak awal berdirinya medio September 2008, SMF telah mengalirkan dana jangka menengah / panjang dari pasar modal ke sektor pembiayaan primer perumahan sampai dengan Oktober 2016 kumulatif mencapai Rp26,45 triliun. Sedangkan, untuk pendanaan Program Pembiayaan SMF telah menerbitkan surat utang sebesar Rp15,042triliun. Selain sekuritisasi dan penerbitan surat utang SMF juga melakukan penyaluran pinjaman hingga saat ini sebesar Rp19,29 triliun dengan NPL 0%. Aksi korporasi telah melakukan sekuritisasi aset sebanyak  10 kali transaksi sekuritisasi dimana sekuritisasi tersebut 9 kali dilakukan bekerjasama dengan Bank BTN dan 1 kali bersama Bank Mandiri.(lihat tabel I: Jumlah Backlog Nasional).

Tabel I: Jumlah Backlog Nasional


Sumber: website PPDPP 

Kini kita lihat Dewan Pakar yang dibuat Team Anies Sandi dengan mengharapkan satu bentukan badan baru, Badan Layanan Umum (BLU) dengan bekerja sama dengan Bank DKI. Untuk kebijakan subsidi uang muka pemerintahan Anies-Sandi menggelontorkan di tahun pertama 2-3 triliun rupiah suatu kebijakan yang terbilang progresif namun abai pada catatan kritis yang di awal penulis ilustrasikan nyeri tak berkesudahan bahwa pada prakteknya kebijakan ini hanya terhenti pada kelas menengah. Karena kita masih abai mencari sumber pendanaan lain serta ambigunya pemerintah antara regulator sekaligus operator.

Apa pasal? Pola pikir dan tindaknya pada perputaran uang jangka pendek dalam hal ini perbankan yang ada keterbatasan untuk pembiayaan jangka panjang dan tekanan inflasi.  Bukan dilihat pada masa angsuran namun pada kemampuan angsuran konsumennya kelak. Dan yang paling apes subsidi teman sepeminuman teh korupsi.

Terkait dengan sistem pembiayaan perumahan, yang diperlukan adalah kesesuaian antara sistem pembiayaan pasar primer dengan sistem pembiayaan sekundernya. Yang memang masih terseok seok pasar sekundernya karena tidak ada satu pun regulasi yang sesuai dengan aturan main internasional dalam hal ini mencari solusi praktis lewat pendanaan.

Konsep mengajak masyarakat menabung baik adanya namun akan lebih baik jika masyarakat dipercaya mengelola aset yang paling dinanti yaitu rumah. Caranya sudah banyak dilakukan negara-negara tetangga  contoh tetangga serumpun Malaysia yang sudah melampaui jauh rasio Produk Domestik Bruto (PDB) negaranya dengan pembiayaan perumahan sudah di atas 30 persen sedangkan Indonesia sangat tidak efisien mendekati 5,5%. (Erica,2017). Indonesia memang sudah membentuk kelembagaan pasar sekunder namun keberadaannya dibiarkan tanpa regulasi yang jelas sehingga hanya bermain pada transaksi minimal yang dilakukan investasi Bank Tabungan Negara (BTN). Regulasi yang mencolok tanpa pegangan keberadaannya dan tanpa jaminan dari pemerintah sehingga pasar sekunder tidak menarik investor domestik dan internasional beda dengan Cagamas di Malaysia sejak awal di inisiasi oleh pemerintah di sana.

Praktek International sekuritisasi sepertinya dihindari karena sempat hadir dalam prolegnas DPR RI RUU SEKURITISASI lalu di-drop out dan digiring opini pada risiko yang akan ditanggung jika sistem keuangan nasional akan masuk percaturan global. Namun kesalahan sebetulnya adalah pada regulasi yang tidak nyambung dan tanpa pijakan hukum yang jelas akan berisiko juga. Mengapa kita yang sama dengan negara negara ASEAN yang sama dilanda krisis lebih sulit bergerak? Kita tidak pernah menggugat perlakuan kredit apa pun itu di Indonesia selalu lebih mahal? Inilah nyeri bak sembilu apa pun mahal di negeri yang sudah lebih 70 tahun merdeka! Bahkan di negara yang sistem politiknya komunis sekaligus ambil contoh Vietnam kebijakan KPR pada rakyatnya lebih mahal kita? Jawabnya pada regulasi yang jelas dan tegas.


*Penulis, adalah Direktur Hubungan dan Kerjasama Antar Lembaga – Bekasi Institute


Rubrik ini diasuh oleh Fikri Habibi.

Editor: Redaksi

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Ragam Tulisan Lainnya
Close
Back to top button