Opini

Media Sucahya: Kapitalisme Covid-19

biem.coMarx is back. Begitulah halaman utama The Times of London edisi 21 Oktober 2008. Saat itu, dunia sedang mengalami krisis ekonomi global yang berkepanjangan, dengan bangkrutnya berbagai lembaga keuangan.

Pemerintah Amerika menyuntikkan dana murah untuk menyelamatkan lembaga keuangan terbesar Lehman Brothers dan perusahaan asuransi AIG Insurance. Tak hanya di negeri Paman Sam, negara-negara besar lainya juga sibuk menolong korporasi swasta.

Krisis ekonomi 2008 menggambarkan sistem kapitalisme yang dianggap gagal dalam menopang mekanisme pasar. Sehingga negara campur tangan menolong swasta—dengan memberikan pinjaman—yang sebenarnya bertolak belakang dengan sistem kapitalisme, dimana negara tidak boleh ikut campur dalam mekanisme pasar.

Menurut Karl Marx dalam tesis dialektika historis materialistis, sistem kapitalisme yang gagal it akan berubah menjadi sosialisme dan komunisme. Namun realitasnya, olengnya sistem kapitalisme tidak melahirkan sistem sosialisme. Berbagai negara, termasuk Indonesia tetap menganut sistem kapitalisme.

Pertanyaannya, kenapa tesis dialektika historis materialistis yang menjelaskan akan datangnya era sosialisme, dengan didahului runtuhnya kapitalisme tidak terjadi? Jawabannya sederhana, kapitalisme mampu beradaptasi dengan perubahan yang ada.

Wabah PHK. Begitulah cover utama Majalah Tempo edisi 11 April 2020. Menurut Tempo, ratusan ribu pekerja terseret gelombang pemecatan akibat lesunya industri di masa pandemi Covid-19. Angkanya berpotensi melonjak hingga jutaan, menambah banyak pengangguran baru akibat terbatasnya lapangan pekerjaan.

Serangan Covid-19 menyebabkan roda ekonomi melambat, sektor informal mati suri, perusahaan melakukan PHK, dan terjadilah wabah pengangguran yang jumlahnya jutaan orang. Realitas tersebut menunjukkan kepada kita semua bahwa perusahaan bermodal besar tidak imun terhadap Covid-19. Pertanyaannya, mampukah kapitalisme di Indonesia bertahan menghadapi Covid-19?

Pola bertahan kapitalisme saat ini tidak jauh berbeda dengan resesi global 2008. Dengan caranya sendiri, mengutip konsep ‘tangan tak terlihat’ (invisible hand) dari tokoh aliran ekonomi klasik Adam Smith, liberalisme akan menemui titik keseimbangan dalam menciptakan mekanisme pasar baru.

Pemerintah menolong pengangguran dengan mengeluarkan Kartu Prakerja. Anggarannya Rp20 triliun, dimana Rp5,6 triliun di antaranya untuk jasa pelatihan peserta yang dilakukan 8 mitra platform digital: Bukalapak, MauBelajarApa, Pintaria, Pijar Mahir, Tokopedia, Ruangguru, Sekolahmu, dan Kemnaker.

Nama-nama vendor tersebut merupakan perusahaan besar dan tidak asing lagi di tanah air. Adapun juru bayar yang disebut mitra pembayaran adalah Ovo, Gopay, Linkaja, dan BNI. Keempatnya merupakan korporasi besar di tanah air.

Ovo dimiliki Lippo Grup dan Gopay milik Gojek yang didirikan Nadiem Makarim. Linkaja dan BNI merupakan BUMN yang kaya raya.

Penunjukan mitra belajar dan juru bayar menggambarkan begitulah invisible hand bekerja. Kapitalisme akan mencari jalannya sendiri, dengan logika ekonomi yang menyusup pada ketiak emaknya, yaitu negara, agar pasar tidak jatuh.

Alih-alih menolong, sebenarnya menggunakan uang jatah rakyat. Para vendor yang kaya raya, jasa konsultasinya dibayar APBN, yang merupakan uang rakyat.

Tesis Marx yang menyebutkan kerusuhan akibat pengangguran akan terselamatkan dengan sosialisme tidak terjadi. Kaum kapitalis, sejatinya anak buah Eduard Bernstien yang mengoreksi Marx. Menurut Bernstien (Poespowardojo, 2016) kapitalisme memang tidak boleh mati. Karena lewat kapitalisme, sosialisme akan tumbuh. (*)


Media Sucahya adalah Dosen Komunikasi Unsera.

Editor: Yulia

Tulisan yang Tak Kalah Menarik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button